Masuk EPSON Harus Bayar? Ketika Pekerjaan Dijual dengan Harga Jutaan

Masuk EPSON Harus Bayar? Ketika Pekerjaan Dijual dengan Harga Jutaan

Seorang buruh mendatangi kami, membawa kisah pahit yang seolah sudah akrab di telinga mereka yang berjuang dari bawah. Dengan sorot mata penuh keletihan namun tetap berani, ia berbicara dengan suara lirih tapi tegas

“Tahun lalu, keponakan saya, anak perempuan dari kakak istri, akhirnya diterima bekerja di PT. EPSON, di kawasan EJIP Cikarang. Perusahaan besar, ternama, yang banyak jadi incaran pencari kerja. Tetapi untuk masuk, ia harus bayar enam sampai tujuh juta rupiah. Jumlah yang tak kecil bagi kami, dan itu pun bukan untuk kontrak panjang—hanya enam bulan. Ketika kontraknya habis, jika ia ingin diperpanjang, kami harus siap bayar lagi, dengan nominal yang entah berapa lagi besarnya.”

Ia berhenti sejenak, menatap lantai, lalu melanjutkan, “Saya tahu ini bukan kisah baru, apalagi di sini, di Cikarang. Kawasan industri yang selalu ramai oleh pencari kerja dari berbagai daerah. Sudah jadi rahasia umum bahwa di balik gerbang pabrik-pabrik itu, ada harga yang harus dibayar untuk bisa diterima. Ironisnya, PT. EPSON bukan sembarang pabrik kecil; mereka perusahaan besar yang terkenal dengan standar tinggi. Namun, tetap saja ada calo yang memanfaatkan peluang, menghisap rupiah demi rupiah dari mereka yang hanya ingin menghidupi keluarganya.”

Sambil berusaha menahan emosi, ia menjelaskan betapa praktik percaloan ini sudah seperti hantu di kawasan industri, hal yang seolah tak bisa dihindari.

“Mereka yang datang mencari kerja kebanyakan bukan dari kalangan yang mapan. Mereka dari keluarga biasa, atau bahkan yang kurang mampu. Mereka datang dengan tekad besar dan impian sederhana: bekerja dan mengubah nasib. Namun, sebelum mereka bisa melangkah ke dalam, mereka sudah dihadang biaya tak masuk akal ini. Tak semua sanggup membayar, dan mereka yang tak punya modal, ya, pulang dengan tangan kosong. Ini bukan hanya masalah uang, tapi soal keadilan bagi orang-orang kecil yang ingin berusaha dengan cara yang benar.”

Ia menghela napas panjang, suaranya terdengar semakin berat. “Saya ingin ini diangkat, siapa saja yang peduli bisa mendorong pemerintah untuk membuat aturan yang lebih ketat, mungkin ini bisa jadi jalan keluar. Bayangkan, di satu sisi, kami berusaha untuk bekerja keras, menabung, dan membantu keluarga. Namun, sistem yang ada justru seolah mempersulit jalan kami. Ini tak adil. Yang kami inginkan adalah kesempatan yang adil, persaingan kerja yang sehat. Seperti dulu, sebelum percaloan ini begitu merajalela.”

Matanya menatap tajam ke arah kami, seakan menyampaikan pesan yang lebih dari sekadar keluhan. “Kami yang ingin bekerja dan membangun hidup layak tak ingin terus dibebani hal seperti ini. Kami ingin bekerja tanpa harus membayar harga tak masuk akal. Dan jika ini terus terjadi, kapan kami bisa benar-benar maju?”

Pengaduan dari buruh ini bukan yang pertama kami dengar, namun kisahnya menambah kepedihan yang menyadarkan kita betapa perlunya ketegasan dalam menangani praktik semacam ini. Ia mengakhiri cerita dengan ucapan penuh harapan,

“Tolong suarakan ini. Suarakan untuk kami, yang datang dengan cita-cita sederhana tapi dihadang tembok bernama ‘uang pelicin.’ Suarakan untuk mereka yang masih ingin memperjuangkan persaingan yang adil.”