Jakarta, KPonline – Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) menyatakan bahwa peringatan Hari Buruh Internasional tahun 2018 ini, masih diwarnai dengan keprihatinan atas kondisi ketenagakerjaan yang semakin memburuk.
Kebijakan pemerintahan Jokowi JK semakin menjauh dari tujuan memberikan perlindungan dan juga tidak mensejahterakan pekerja Indonesia. Janji politik Jokowi JK saat kampanye pemilihan Presiden tahun 2014 yang lalu, antara lain janji menciptakan 10 juta lapangan pekerjaan baru, janji Tri Layak (kerja layak, upah layak dan hidup layak) termasuk janji mempersulit investasi asing dan tidak akan membuat hutang luar negeri, ternyata hari ini terbukti cuma tinggal janji.
Keprihatinan ini disampaikan Mirah Sumirat, SE, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) dalam keterangan pers tertulis menyambut peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) 2018.
Inilah berbagai regulasi produk Jokowi JK yang merugikan pekerja Indonesia:
1. Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) atau cashless society, yang dicanangkan oleh Bank Indonesia (BI) sejak tahun 2014, yang melahirkan penerapan sistem non tunai atau elektronik secara penuh untuk pembayaran tol di seluruh Indonesia.
Kebijakan ini terbukti melahirkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai sektor usaha, antara lain di sektor jalan tol, perbankan, retail, otomotif dan lain sebagainya. Pemerintah dinilai hanya peduli pada kepentingan bisnis semata, dan melalaikan kewajiban Negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah juga telah menjadi pihak yang justru melahirkan pengangguran baru.
2. Peraturan Pemerintah No.78 tahun 2015 tentang Pengupahan, yang tidak pernah dibahas di forum Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional.
Bahkan PP 78/2015 tersebut juga menabrak Undang Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 karena telah menghilangkan survey kebutuhan hidup layak (KHL) dalam penentuan Upah Minimum di berbagai tingkatan baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Selain itu PP 78/2015 juga telah menghilangkan hak berunding upah dari serikat pekerja yang selama ini dimiliki oleh dewan pengupahan, karena upah minimum hanya ditetapkan berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tanpa melalui perundingan.
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2015 sebagai revisi Permenaker 12/2013, Pemerintah telah menghapus syarat kewajiban berbahasa Indonesia terhadap TKA yang ingin bekerja di Indonesia.
Kemudahan dalam berbahasa inilah yang menjadi salah satu sebab membanjirnya TKA, khususnya unskill workers dari China. Berbanding terbalik dengan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang akan bekerja di luar negeri, yang diwajibkan untuk belajar bahasa negara tujuan.
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 35/2015 yang menghilangkan rasio 1:10 dimana setiap 1 orang TKA harus ada 10 orang tenaga kerja lokal atau Indonesia sebagai pendamping yang bertujuan transfer ilmu dan tekhnologi.
Penghapusan rasio ini semakin memperkuat kesimpulan bahwa keberadaan TKA di Indonesia ternyata semakin tidak memberi keuntungannya bagi Rakyat Indonesia
5. Peraturan Presiden No. 21 tahun 2016 yang menerapkan ketentuan bebas visa bagi banyak negara juga mendorong masuknya TKA ilegal dengan berkedok sebagai turis.
6. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.36 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri, yang tidak lebih dari upaya legitimasi atas eksploitasi sumber daya manusia Indonesia yang mengabaikan hak untuk sejahtera.
PP 36/2016 ini telah memberi hak kepada pengusaha untuk bisa mempekerjakan tenaga magang hingga 30% dari jumlah karyawan yang ada di perusahaan, dengan jangka waktu paling lama 1 tahun namun bisa diperpanjang lebih dari 1 tahun dengan Perjanjian Pemagangan baru, dan tenaga magang hanya diberi uang saku yang besarannya tidak jelas.
7. Peraturan Presiden No. 20 tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing yang selain mengancam tenaga kerja lokal untuk bisa mendapatkan pekerjaan, juga berpotensi mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hari ini semakin terlihat dan terasa, bagaimana pengusaha dan Pemerintah semakin ingin mempersulit ruang gerak dan meminimalisir kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia. Berbagai keinginan dari pengusaha, atas nama kemudahan investasi, justru direspon cepat oleh Pemerintah melalui berbagai regulasi yang hanya mementingkan keuntungan pengusaha dan korporasi.
Dialog sosial hanya menjadi jargon di mulut, namun implementasinya tidak seindah yang dibayangkan. Berbagai regulasi ketenagakerjaan justru keluar tanpa melibatkan peran dan masukan dari serikat pekerja, khususnya yang duduk di dalam Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional.
Saat ini yang dibutuhkan rakyat adalah kemudahan akses untuk bisa mendapatkan pekerjaan, untuk bisa memperoleh penghasilan, untuk bisa meningkatkan daya beli terhadap kebutuhan pokok yang semakin melambung harganya! tambah Mirah Sumirat.
Selamat Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2018. Buruh Indonesia teruslah berjuang untuk kesejahteraan yang adil dan merata, karena Pemerintah dan pengusaha belum berpihak kepada kita!