Mayday 2020 : Antara Berlin dan Brebes

Mayday 2020 : Antara Berlin dan Brebes

Bogor, KPonline, – Sudah lebih dari 100 tahun lamanya peristiwa Haymarket sebagai tonggak sejarah gerakan kaum buruh dalam memperjuangkan jam kerja dan bentuk-bentuk kesejahteraan yang lainnya. Sejak peristiwa itu pula, peringatan Mayday sering diperingati dan digaungkan, sebagai pengobar semangat dan pengingat, bahwa kesejahteraan itu harus diperjuangkan, buat hanya sekedar diminta dan atau diberikan secara cuma-cuma.

Dan untuk pertama kalinya, pada 2020 kaum buruh dan kaum pekerja atau yang lebih dikenal dengan working class ini, tidak turun ke jalan pada peringatan Mayday yang selalu diperingati setiap 1 Mei. Karena sudah menjadi tradisi bagi kaum buruh dan kaum pekerja, turun ke jalan-jalan, menyuarakan suara-suara kaum yang tertindas pada setiap 1 Mei. Akan tetapi, pada 2020 ini, peringatan Mayday hanya bisa digaungkan dan disuarakan melalui media-media sosial dan media-media lainnya.

Bacaan Lainnya

Saat ini, hampir diseluruh belahan dunia sedang menghadapi situasi yang sarat dengan ketidak pastian. Ketidak pastian tentang masa depan, ketidak pastian akan sampai kapan roda ekonomi masih bisa terus bergerak. Bahkan, ketidak pastian dunia industri yang akrab dengan kaum buruh dan kaum pekerja pun, sepertinya enggan memberikan kepastian. Semua ragu, bahka bisa dikatakan pesimis dengan situasi dan kondisi disaat pandemi Covid-19 seperti ini.

Belum ada satu negara pun yang mendeklarasikan diri telah berhasil menemukan vaksin anti virus Covid-19. Pun meski, sudah kurang lebih 6 bulan lamanya pandemi Covid-19 mewabah ke seluruh dunia, penyebaran virus Covid-19 masih terus berjalan. Baik di kota-kota besar, kampung-kampung, bahkan hingga ke pelosok desa.

Ratusan ribu manusia yang tak berdosa pun telah menjadi korban keganasan virus Corona, termasuk Indonesia. Bahkan kaum buruh pun sudah ada banyak yang menjadi korban keganasan dari virus Corona ini, baik dari kalangan kaum pekerja medis maupun kaum buruh di industri yang lain. Sudah ada banyak pabrik yang menutup usaha dan dengan terpaksa mematikan mesin-mesin produksinya, karena ada buruh-buruhnya yang terpapar dan terjangkit virus Covid-19. Bahkan, ada juga, pabrik-pabrik yang dipaksa tutup oleh pihak pemerintah daerah karena melanggar kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang dibuat oleh pemerintah.

Kebijakan PSBB yang diterapkan tidak dapat menjamin percepatan penyebaran, dan tentu saja belum terbukti menghentikan penularan wabah virus Covid-19 ini. Ketika kampanye Work From Home gencar dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, itu pun hanya dapat diimplementasikan pada hanya sebagian kecil kaum buruh. Sementara, jutaan kaum buruh yang lainnya, harus tetap Work On Factory, atau Work From Office, dimana kaum buruh dan kaum pekerja sangat rentan sekali tertular dan terpapar, serta tidak menutup kemungkinan menjadi korban dari keganasan virus Covid-19.

Serikat pekerja dan serikat buruh yang ada, sudah seharusnya terus bersuara secara kontinyu dan juga lantang, agar pabrik-pabrik diliburkan dengan tetap mendapatkan upah secara penuh. Alih-alih ingin mendapatkan tanggapan dari pihak pemerintah dan pengusaha, akan tetapi suara-suara serikat pekerja dan serikat buruh ini hanya dianggap angin lalu, laksana nyanyian dan dengungan nyamuk di waktu malam. Kaum buruh dan kaum pekerja, terutama yang bekerja di pabrik-pabrik, sangat rentan terpapar dan terjangkit virus Covid-19 karena masih ada banyak pengusaha yang mengabaikan keselamatan dan kesehatan para pekerjanya.

Penguasa yang berkuasa saat ini pun, seakan-akan tunduk dan takluk pada kekuatan kapital yang terus berlomba-lomba mengejar keuntungan, mengeruk segalanya demi hasrat membabi buta. Dunia seakan pasrah, apalah daya upaya yang telah dilakukan, tidak mampu membendung krisis kesehatan ini. Yang tentu saja, memperlambat dan bisa saja melumpuhkan perputaran roda ekonomi dunia. Berbagai barang dan jasa yang telah diproduksi pun juga tidak mampu terjual seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan beberapa pakar ekonomi menyebutkan bahwa, ekonomi global akan menyusut dan minus secara prosentase.

Sekarang kelas buruh pun harus menghadapi ancaman yang tidak kalah mengerikan berikutnya. Puluhan juta kaum buruh yang terbentang antara Berlin hingga Brebes, terancam kehilangan pekerjaan. Akibat dari perlambatan roda ekonomi dan menjurus ke arah kelumpuhan ekonomi secara global. Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, sudah ada lebih dari 2 juta buruh di Indonesia yang telah diputus kontrak kerjanya, dirumahkan dengan atau tidak mendapatkan upah, hingga di-PHK.

Meminjam petikan sebuah penggalan syair dari sebuah lagu, badai pasti berlalu, serikat pekerja dan serikat buruh harus menanamkan semangat optimisme kepada anggotanya dalam keadaan terburuk sekalipun.

A Luta Continua !

Selamat Hari Buruh Sedunia

Heriyanto

Ketua Umum SPAMK-FSPMI

Editor : RDW

Pos terkait