Membandingkan Kenaikan Upah Minimum Setelah dan Sebelum Pemerintahan Jokowi

Membandingkan Kenaikan Upah Minimum Setelah dan Sebelum Pemerintahan Jokowi

Jakarta, KPonline – Melalui surat edaran Nomor B.240/M.NAKER/PHI9SK-UPAH/X/2018, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan, kenaikan upah minimum tahun 2019 adalah sebesar 8.03 persen. Kenaikan sebesar ini berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 (PP 78/2015) yang menetapkan kenaikan upah minimum berdasarkan formula inflansi dan pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Kenaikan sebesar 8,03 persen itu dihitung dari inflasi nasional sebesar 2,88% ditambah pertumbuhan PDB sebesar 5,15%. Ini adalah kenaikan terendah sepanjang Jokowi berkuasa. Sebelumnya, pada tahun 2016 upah minimum naik 11,50 persen. Tahun 2017 naik 8,25 persen. Sedangkan tahun 2018 naik 8,71 persen. Adapun kenaikan upah  minimum tahun 2015 tidak ada intervensi dari pusat. Dengan kata lain, tiap-tiap daerah kenaikannya berbeda-beda.

Bacaan Lainnya

Kalangan buruh menilai, kenaikan upah minimum sangat kecil dan tidak bisa menutupi daya beli. Adapun kecilnya kenaikan upah minimum salah satunya disebabkan karena terbitnya PP 78/2015, yang ditandatangani oleh Jokowi.

Baca juga: Presiden Jokowi Harus Bertanggungjawab dengan Rendahnya Upah di Jawa Tengah

Sebelum PP 78/2015 terbit, kenaikan upah minimum bisa mencapai 70 persen. Ini terjadi di Bogor pada tahun 2013. Di DKI Jakarta, misalnya, pada tahun yang sama bahkan naik 43,88 persen.

Dalam catatan KSPI, pada tahun 2015, bahkan rata-rata kenaikan upah minimum di Indonesia mencapai 13 persen. Dengan kenaikan upah yang sebesar itu, wajar jika kemudian pada tahun 2014 Presiden SBY mengatakan, “Era upah buruh murah sudah selesai.”

Saat itu, Menteri Perindustrian MS Hidayat bahkan menyinggung kalangan pengusaha yang mengatakan daya saing industri Indonesia akan makin jatuh karena upah buruh mahal, dibandingkan negara tetangga.

Baca juga: Alasan KSPI Jawa Timur Usul Peningkatan Kwalitas KHL

“Pemikiran ini tak boleh lagi dipakai, untuk itu pemerintah bertekad untuk menghilangkan pemikiran tersebut (Upah murah) saya kita itu harus berakhir. Supaya anda ketahui, pemerintah menyatakan bahwa era upah murah bagi buruh itu berakhir. Jadi daya saing itu tidak boleh lagi didasari oleh upah murah. Itu tekad salah satu pemerintah,” ujar Hidayat.

Sayang di sayang, terbitnya PP 78/2015 membuat Indonesia kembali ke rezim upah murah.

Perbandingan Kenaikan Upah Minimum Sebelum dan Sesudah Terbitnya PP No 78 Tahun 2015 (dalam persen)./Infografis: Media Perdjoeangan

Memperdalam Ketimbangan

Sebagai perbandingan, saat ini upah minimum tertinggi di Jawa Tengah adalah Kota Semarang dengan nilai Rp 2.310.087.50. Sedangkan upah minimum tertinggi di Jawa Timur dipegang Kota Surabaya dengan Rp 3.583.312.16. Sementara di Jawa Barat adalah Kabupaten Karawang dengan nilai Rp 3.919.291.19.

Dengan demikian, upah minimum tertinggi Jawa Tengah selisihnya mencapai Rp 1.273.225 jika dibandingkan dengan Jawa Timur dan Rp 1.609.204 jika dibandingkan dengan Jawa Barat.

Baca juga: Buruh Nilai Surat Edaran Menaker Arogan

Jika kita telusuri lebih jauh, 5 kabupaten/kota dengan upah tertinggi di 3 provinsi tersebut juga memperlihatkan angka yang sama. Njomplang.

Oleh karena itu, bisa dimengerti jika kemudian buruh di Jawa Tengah upahnya disetarakan dengan buruh di Jawa Timur dan Jawa Barat. Para buruh merasa, kebutuhan hidup buruh Jawa Tengah tidak jauh berbeda dengan di 2 provinsi tersebut.

Jika PP 78/2015 tidak dicabut, maka sampai kapan pun, daerah yang saat ini upahnya rendah akan tetap rendah.

5 kabupaten/kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat dengan upah minimum tertinggi tahun 2018./Infografis: Media Perdjoeangan

PP 78/2015 Tidak Memberikan Rasa Keadilan

Kalangan buruh juga menilai, PP 78/2015 tidak memberikan rasa keadilan.

Mengapa tidak adil? Kenaikan upah hanya ditentukan sepihak oleh pemerintah berdasarkan inflansi dan pertumbuhan ekonomi, tanpa adanya perundingan dengan serikat pekerja di dalam dewan pengupahan. Tanpa perundingan, sulit rasanya mengatakan bahwa upah yang diterima buruh memenuhi rasa keadilan.

Baca juga: Menaker Keluarkan Surat Edaran, Upah Minimum 2018 Hanya Naik 8,03 Persen

Hal yang lain, kenaikan upah minimum berdasarkan inflansi dan pertumbuhan ekonomi yang dihitung secara nasional, menyebabkan daerah yang saat ini upahnya rendah maka sampai kapan pun akan tetap rendah. Selain itu, daerah-daerah yang tingkat inflansinya lebih tinggi dari inflansi nasional, akan semakin kehilangan daya beli.

Hal lain yang menyebabkan kenaikan upah minimum berdasarkan PP No 78 Tahun 2015 tidak adil adalah, inflansi dihitung berdasarkan banyak indikator. Sementara itu, kebutuhan yang paling banyak dikonsumsi buruh adalah makanan, perumahan, transportasi, hingga pakaian.

Kebutuhan buruh yang terbesar adalah untuk makanan. Inflansi khusus untuk makanan seringkali lebih besar dari inflansi secara keseluruhan. Sebagai contoh, Badan Pusat Statistik mengumumkan inflansi pada bulan Juni 2018 sebesar 0,59 persen. Sedangkan bahan makanan yang mengalami inflasi 0,88 persen.

Baca juga: Edan, Kepala Daerah yang Memutuskan Upah Tidak Sesuai PP 78/2015 Bisa Diberhentikan

Sebagai simulai, jika dengan kenaikan upah minimum berdasarkan PP 78/2015 tetap dipertahankan, pada tahun 2021 upah minimum di DKI Jakarta, Sidoarjo, dan Karawang sudah di atas 5 juta (dengan asumsi kenaikan konstan 8,25 persen setiap tahun). Sementara itu, dengan kenaikan yang sama, maka upah di Semarang dan Solo masih di bawah 3 juta. Ini sangat tidak adil.

Simulasi kenaikan upah minimum berdararkan PP 78/2015: ‘yang miskin akan semakin miskin’.Infografis: Media Perdjoeangan

Kepala Daerah Jangan Menggunakan PP 78/2015

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, wajar jika kemudian Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyerukan kepada kepala daerah untuk tidak memakai PP 78/2015 dalam menetapkan kenaikan upah minimum 2019. Apalagi, berdasarkan Pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, penetapan upah minimum yang dilakukan oleh Guberur berdasarkan atas rekomendasi Bupati dan Dewan Pengupahan, yang didahului dengan survey pasar mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Bukan berdasarkan inflansi nasional dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Lebih dari itu, buruh terang-terangan menolak kenaikan upah minimum 2019 sebesar 8,03 persen. Sebab kenaikan sebesar itu akan membuat daya beli kaum buruh makin menurun akibat kenaikan upah minimum yang rendah.

Baca juga: Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Sebut Upah Minimum Naik 8,03%, Ini Sikap KSPI

Padahal secara bersamaan, di tengah melemahnya rupiah terhadap dollar dan meningkatnya harga minyak dunia, berpotensi mengakibatkan harga-harga barang kebutuhan dan BBM jenis premium akan naik. Apalagi, sekarang pertamax sudah mengalami kenaikan.

Efeknya, apabila premium naik, maka akan menimbukan kenaikan harga-harga barang lainnya. Seperti harga kebutuhan pokok, transportasi, sewa/kontrak rumah, dan kenaikan harga-harga lainnya.

KSPI sendiri mengusulkan kenaikan upah minimum adalah berkisar 20 hingga 25 persen, bukan 8,03 persen. Selain itu, upah minimum sektoral sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 harus tetap diberlakukan.

Pos terkait