Mempersoalkan Bocoran Rumus Kenaikan UMP 2025: Kebijakan yang Memiskinkan Buruh

Mempersoalkan Bocoran Rumus Kenaikan UMP 2025: Kebijakan yang Memiskinkan Buruh
Wakil Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang juga Wakil Presiden Kofederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S. Cahyono. Foto: Iwan Budi Santoso

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemnaker, Indah Anggoro Putri mengatakan, pembahasan UMP tahun 2025 dilakukan pada pertengahan September. Dikutip detik.com dalam artikel berjudul “Ini Bocoran Rumus Kenaikan UMP 2025”, Indah mengatakan bahwa pengaturan skema pengupahan masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Aturan ini juga digunakan untuk menentukan UMP tahun 2024.

Kita menyayangkan sikap Kemnaker yang masih ngotot mempertahankan PP 51/2023. Terlebih peraturan ini merupakan aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang sedang digugat di MK. Mustinya pemerintah bersabar menunggu putusan. Itu satu hal. Hal yang lain, musti ada evaluasi terlebih dahulu terhadap pelaksanaan PP 51/2023. Karena kami melihat, alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini justru memperdalam ketidakadilan ekonomi yang dialami oleh buruh, membuat mereka semakin terpuruk dalam kemiskinan sistemik. Sesuatu yang semakin membulatkan tuntutan kaum buruh, bahwa PP 51/2023 harus dicabut.

PP 51/2023 memperkenalkan formula perhitungan upah minimum yang mencakup komponen inflasi dan pertumbuhan ekonomi, serta “Indeks Tertentu” yang seharusnya merefleksikan kontribusi tenaga kerja dalam industri. Namun, faktanya, Indeks Tertentu yang digunakan tidak mencerminkan kontribusi nyata tenaga kerja dalam berbagai sektor industri di Indonesia. Hasilnya, upah minimum di banyak daerah, termasuk di enam provinsi dan sekitar 210 daerah, tidak mengalami penyesuaian yang layak sesuai dengan inflasi yang terjadi.

Kebijakan ini berdampak langsung pada daya beli buruh. Di beberapa daerah, upah minimum yang berlaku bahkan tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup layak, apalagi jika terjadi kenaikan harga barang dan jasa akibat inflasi. Ini berarti buruh harus bekerja lebih keras hanya untuk tetap bertahan hidup, tanpa ada jaminan bahwa mereka akan mampu mencukupi kebutuhan dasar mereka.

Salah satu contoh paling mencolok adalah di Kabupaten Bekasi, di mana perbedaan konsumsi per kapita antara daerah ini dan Kota Bekasi yang bersebelahan sangat signifikan. Akibat dari formula baru ini, Kabupaten Bekasi tidak mendapatkan penyesuaian inflasi yang memadai, menyebabkan disparitas upah yang semakin besar. Perbedaan upah minimum di Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi, pada tahun 2023 selisihnya hanya Rp 20.673 menjadi Rp 124.167 pada tahun 2024.

Tidak hanya di Bekasi. Berdasarkan kajian Tim Pengupahan KSPI, Disparitas Upah Minimum Provinsi tertinggi dan terendah tahun 2023 di Indonesia sebesar Rp 2.943.629 dan meningkat pada tahun 2024 menjadi sebesar Rp 3.030.434. Disparitas Upah Minimum Kabupaten Kota tertinggi dan terendah tahun 2023 di Jawa Barat sebesar Rp 3.178.060 dan meningkat pada tahun 2024 menjadi sebesar Rp 3.273.238. Kondisi ini menunjukkan bahwa buruh di daerah dengan upah minimum rendah akan semakin tertinggal dari buruh di daerah dengan upah minimum yang lebih tinggi. Disparitas ini memperjelas ketidakadilan yang ada dalam kebijakan pengupahan saat ini.

Jelas, formula ini tidak memperhitungkan disparitas upah antar daerah, yang seharusnya menjadi salah satu fokus utama dalam kebijakan pengupahan nasional. Pemerintah justru menggunakan indikator yang tidak relevan dan mengabaikan kondisi nyata yang dihadapi buruh di lapangan. Kebijakan ini tidak hanya gagal melindungi daya beli buruh, tetapi juga menciptakan ketidakadilan baru dalam sistem pengupahan di Indonesia.

KSPI memasang spanduk penolakan PP Nomor 51 Tahun 2023 di pelataran Kantor Gubernuran Jateng, Senin (27/11/2023). Foto: Istimewa

Lebih jauh, PP 51/2023 juga mengabaikan kebutuhan dasar buruh dengan tidak memberikan penyesuaian yang memadai terhadap upah minimum di daerah-daerah dengan upah yang lebih rendah. Ini menimbulkan situasi di mana daerah-daerah tersebut semakin tertinggal dibandingkan daerah dengan ekonomi yang lebih kuat.

Ironisnya, meskipun berbagai pihak telah menunjukkan banyak kelemahan dalam PP 51/2023, Kemnaker tetap mempertahankan kebijakan ini. Seperti dilaporkan oleh media, bocoran mengenai rumus kenaikan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2025 masih menggunakan formula yang berlandaskan PP 51/2023. Hal ini sangat disesalkan karena berarti pemerintah tetap bertahan dengan kebijakan yang jelas-jelas merugikan buruh.

Dengan segala kekurangannya, PP 51/2023 justru menciptakan situasi di mana buruh semakin sulit untuk mencapai kehidupan yang layak. Kebijakan Pengupahan, yang seharusnya memberikan perlindungan dan kepastian bagi buruh, justru menjadi alat yang memperburuk kondisi ekonomi. Pemerintah perlu segera mengevaluasi dan merevisi kebijakan ini agar sesuai dengan realitas yang dihadapi buruh, serta memastikan bahwa hak mereka untuk mendapatkan upah yang layak tetap terjaga. Jika tidak, buruh Indonesia akan terus terjebak dalam kemiskinan yang semakin parah, dengan masa depan yang suram.

Perjuangan untuk mengubah kebijakan ini harus terus dilanjutkan. Kesejahteraan buruh adalah hal yang tidak bisa ditawar, dan pemerintah harus mendengarkan suara kaum buruh yang bekerja keras untuk menjaga perekonomian tetap berjalan.

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Koran Perdjoeangan