Jakarta, KPonline – Diskusi sudah berlangsung ketika saya datang. Tema yang disampaikan juga keren. “Kerakusan dan hegemoni korporasi di Indonesia dan bagaimana strategi mengakhirinya” dengan menghadirkan Prof. Yudhie Haryono sebagai narasumber. Sebelumnya, diskusi serupa menghadirkan Salamuddin Daeng.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memang sudah memutuskan, bahwa tema utama yang akan diusung dalam May Day 2018 adalah ‘akhiri keserakahan korporasi’. Tema yang sama, juga pernah dan sedang dikampanyekan oleh International Trade Union Confederation (ITUC). Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) KSPI yang rencananya akan digelar pada akhir April 2018, tema ini dipastikan juga akan mewarnai pembahasan dalam Rakernas nanti.
Bukan tanpa alasan jika kemudian KSPI mengusung tema ini. Salah satu yang terpenting, tema diusung berdasarkan hasil evaluasi dan refleksi atas jejak juang yang selama ini dilakukan. Karena landasannya adalah pengalaman atas perjuangan yang selama ini kita lakukan sendiri, maka energi yang akan kita curahkan akan lebih besar.
Perhatikan bagaimana kesenjangan ekonomi terjadi. Pembangunan terus dilakukan, tetapi rakyat makin tersisihkan. Pabrik terus dibangun, tetapi pengangguran makin mengkhawatirkan. Kenaikan harga tak terkendali – subsidi dicabuti, tetapi kenaikan upah dibatasi. Pendek kata, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Lalu untuk siapa semua pembangunan itu? Perekonomian Indonesia yang diklaim menjadi salah satu yang terbesar di dunia masuk ke kantong siapa? Jawabannya, meminjam kelimat Yudhie Haryono, kalau perekonomian milik semua warga negara seperti yang disebutkan dalam konstitusi, itu keren. Masalahnya adalah, gini rasio di Indonesia 0.4. Itu artinya, perekonomian Indonesia hanya dikuasasi segelintir orang, dan segelintir orang itu adalah yang punya kapital. Karena itu, “Indonesia” yang dimaksud itu ya multi national corporation (MNC) plus para begundal konglomerat. Bisa jadi perekonomian Indonesia bukan milik rakyat Indonesia.
Itulah sebabnya, kita menegaskan untuk mengakhiri kerakusan korporasi.
Dalam buku terbaru yang saya tulis bersama Said Iqbal, ‘Negara Gagal Menyejahterakan Buruh?’ disana tergambar jelas bagaimana kerakusan itu terjadi. Regulasi yang memberikan peluang bagi kaum buruh untuk mendapatkan kesejahteraan diganti. Belum juga dijalankan, tetapi sudah diganti dengan aturan baru yang kualitasnya lebih buruk.
Lalu perlahan, dengan dalih stabilitas dan kemudahan dalam berinvestasi, regulasi yang dianggap memberatkan korporasi diganti. Paket kebijakan ekonomi, sebagai satu contoh, memberikan banyak kemudahan bagi korporasi untuk mengembangkan diri. Tetapi pada saat yang sama, apa yang diberikan untuk kaum buruh?
Jika bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah sesuai peraturan bisa ditangguhkan. Apa yang didapatkan buruh ketika upah yang didapat tidak mencukupi kebutuhan?
Janjinya tidak ada PHK, jaminan kenaikan upah, lapangan kerja makin terbuka. Tetapi faktanya, ancaman PHK terjadi dimana-mana. Jika di era 2012-2014 upah buruh bisa naik 30 – 60 persen, pasca terbitnya PP 78/2015 semua kenaikan sebesar itu hanya mimpi.
May Day : Gerakan Vs Pemikiran
Tentu saja, bagi KSPI, May Day adalah hari perlawanan. Hari dimana kaum buruh akan menentukan sikap dan menyampaikan tuntutan.
Jika kemudian sikap kita adalah mengakhiri kerakusan korporasi, mula-mula yang harus dilakukan adalah menebalkan keyakinan. Sebab hanya dengan keyakinan itulah, kita memiliki energi yang lebih besar untuk melakukan perlawanan.
Tidak ada perjuangan yang bertahan lama jika tidak didasarkan pada pemahaman. Supaya paham kita harus memiliki pengetahuan. Pengetahuan, salah satunya didapatkan di ruang-ruang diskusi. Dalam konteks itulah, kaum buruh harus menghidupkan ruang-ruang diskusi. Menyemarakkan rapat-rapat akbar, untuk memastikan pengetahuan itu terdistribusi dengan baik sampai ke tingkat yang paling bawah.
Tidak bisa dipungkiri, gerakan penting. Tetapi jika gerakan dilakukan tanpa pengetahuan dan kesadaran, jadinya akan mirip seperti zombie. Bergerak, tetapi sesungguhnya mayat.
Sebaliknya, diskusi tanpa gerakan seperti onani. Hanya memuaskan diri sendiri, tetapi tidak memberikan dampak di luar sana. Wiji Thukul pernah mengingatkan: Apa gunanya banyak baca buku. Kalau mulut kau bungkam melulu. Apa gunanya banyak diskusi, tetapi tak pernah melakukan aksi — apapun bentuknya.