Jakarta, KPonline – Pemerintah menyelenggarakan Konsolidasi Dewan Pengupahan se-Indonesia, sejak tanggal 28 hingga 31 Agustus 2018. Konsolidasi ini diikuti oleh 300 orang peserta yang berasal dari Anggota Dewan Pengupahan Nasional, Anggota Dewan Pengupahan Propinsi, dan Anggota Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota terpilih.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M. Hanif Dhakiri memberikan sambutan sekaligus membuka Konsolidasi Dewan Pengupahan Se-Indonesia Tahun 2018 bertema “Menuju Sistem Pengupahan di Era Ekonomi Digital dan Bonus Demografi yang Mendorong Pertumbuhan Ekonomi” di Mercure Convention Center Jakarta, Selasa (28/8).
Terhadap sambutan Menaker, ada beberapa hal yang perlu ditanggapi. Tanggapan ini perlu disampaikan, agar masyarakat menjadi lebih jelas dimana duduk persoalan mengenai pengupahan di Indonesia.
Pertama, Menaker berpesan kepada dewan pengupahan untuk membahas masalah pengupahan dari perspektif yang lebih komprehensif agar menghasilkan sistem pengupahan yang benar-benar adil.
Sistem pengupahan yang adil hanyalah ilusi selama PP 78/2015 tidak dicabut. Satu hal yang harus disadari Menaker, keberadaan PP 78/2015 justru membuat sistem pengupahan tidak adil.
Dalam PP 78/2015 menetapkan formula kenaikan upah berdasarkan inflansi dan pertumbuhan ekonomi. Bagaimana jika di satu daerah inflansinya lebih tinggi? Maka kenaikan upah riil di daerah tersebut menjadi lebih kecil. Katakanlah satu daerah inflansinya 3,9 persen. Sedangkan inflansi nasional 3,7 persen. Maka kenaikan upah minimum secara riil jatuh 0,2 persen.
Hal yang lain, dengan formula kenaikan upah yang prosentase kenaikannya inflansi dan pertumbuhan ekonomi sama rata di seluruh Indonesia. Sebagai contoh, tahun lalu naiknya adalah 8,71 persen. Ini berlaku mulai dari Aceh hingga Papua. Dengan demikian, maka daerah yang selama ini upahnya rendah akan tetap rendah. Tentu saja kebijakan seperti ini tidak adil.
Belum lagi, inflansi mengukur rata-rata kenaikan harga barang-barang secara keseluruhan. Padahal yang pengeluaran buruh paling besar adalah untuk makan, listrik, transportasi, perumahan, dan sebagainya. Kebutuhan tersebut kenaikannya cukup signifikan. Sebagai contoh, kenaikan harga telur bisa mencapai 20 hingga 40 persen. Sedangkan inflansi nasional hanya 3,7 persen. Bagaimana kenaikan upah yang mendasarkan sistem ini disebut adil?
Kedua, menurut Menaker, banyak faktor yang bisa mempengaruhi soal upah. Selama ini wacana atau narasi pengupahan di Indonesia lebih banyak menghabiskan energi bicara upah mininum. Dengan kata lain, menurut Menaker, bicara pengupahan tidak melulu soal upah minimum.
Kaum buruh menilai, justru masalah pengupahan adalah masalah yang paling krusial. Aneh jika kemudian Menaker meminta agar tidak bicara soal upah minimum. Ia seperti hendak lepas tangan terhadap persoalan yang sangat krusial.
Hampir setiap tahun buruh di Indonesia melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran terkait dengan upah minimum. Itu artinya, upah menjadi persoalan yang sangat mendasar bagi buruh di Indonesia. Upah rata-rata upah di Indonesia masih sangat rendah. Belum lagi masalah disparitas upah yang sangat tinggi, antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Lagipula, upah minimum adalah jaring pengaman agar buruh tidak absolut miskin akibat upah yang murah. Oleh karena itu, diperlukan peran negara, melalui Dewan Pengupahan yang bersifat tripartit (pekerja, pengusaha, dan pemerintah). Sayangnya, kewenangan Dewan Pengupahan diamputasi, karena kenaikan upah minimum didasarkan pada rumus baku.
Karena itu, seharusnya pemerintah berupaya agar upah minimum buruh menjadi benar-benar layak bagi pekerja dan keluarganya. Bukannya berlepas tangan dengan mengatakan bisa dirundingkan dengan perusahaan. Pertanyaannya, berapa banyak perusahaan yang memberikan keleluasaan bagi pekerja merundingkan upah? Sedikit sekali. Lebih banyak yang melakukan PHK ketika buruhnya minta kenaikan gaji.
Ketiga, menurut Menaker, upah itu bukan semata perkara upah tinggi atau rendah. Tapi terkait dengan daya beli upah masyarakat terkait keadilan bisa diperoleh di semua daerah dan terkait masalah sistem pengupahan yang diterapkan. Menteri Hanif menjelaskan, di Belanda, orang diupah senilai Rp 30 juta masih mengeluh karena daya beli di Belanda itu sama dengan daya beli masyarakat di Jakarta sebesar Rp 3 juta. Nominalnya saja yang besar tapi daya belinya sama. Artinya ada banyak faktor termasuk terkait makro ekonomi dianggap mempengaruhi masalah upah.
Saya tidak pernah ke Belanda. Tetapi akal sehat saya mengatakan tidak yakin dengan pernyataan Menaker yang mengatakan daya beli buruh di Belanda sama dengan daya beli buruh di Jakarta.
Sebagai pembanding, mari kita simak data yang disampaikan Presiden KSPI Said Iqbal. Tidak usah jauh-jauh dengan Belanda. Kita bandingkan saja dengan Vietnam.
Menurut Iqbal, upah buruh di Indonesia bukan hanya lebih rendah daripada Vietnam. Daya beli upah buruh di Indonesia juga dinilai jauh lebih rendah dibandingkan dengan upah buruh di Vietnam yang setara dengan 546 liter beras, sedangkan upah buruh di Indonesia setara dengan 237 liter beras.
Said Iqbal mengatakan upah rata-rata buruh Vietnam tahun 2015 mencapai angka US$ 181 per bulan, sementara buruh Indonesia hanya mendapatkan upah per bulan sekitar US$ 171 per bulan. Menurutnya, dengan upah sebesar US$181 per bulan, para buruh asal Vietnam dapat membeli beras dengan harga yang telah dirupiahkan sekitar Rp4.600 per kilogram. Sementara itu, buruh asal Indonesia dengan upah sekitar US$171 per bulan, dipaksa membeli beras sebesar Rp10.000-Rp12.000 per kilogram.
Dengan asumsi kurs tengah Bank Indonesia (30/4/2018) Rp13.877/dolar AS, maka upah buruh di Vietnam sebesar US$182 besarannya sekitar Rp2,5 juta sebulan. Sedangkan upah buruh Indonesia US$171 setara dengan Rp2,37 juta.
Kendati hanya terpaut Rp100.000, daya beli upah buruh di Vietnam jauh lebih tinggi jika menggunakan parameter harga beras. Dengan upah Rp2,5 juta, upah buruh bulanan di Vietnam tersebut setara dengan 546 kilogram beras, sedangkan upah Rp2,4 juta di Indonesia setara dengan 237 kilogram beras.
Logika pemikiran KSPI tersebut jika direkapitulasi menjadi seperti ini.
Perbandingan Daya Beli Upah Buruh di Indonesia vs Vietnam
Indikator |
Vietnam |
Indonesia |
Upah bulanan |
US$181 |
US$171 |
Upah dalam rupiah (kurs Rp13.877) |
Rp2.511.737 |
Rp2.372.967 |
Harga beras per liter |
Rp4.600 |
Rp10.000 |
Daya beli upah terhadap beras |
546 kg |
237 kg |
Lantas siapa yang salah? Perbedaan harga beras di Vietnam dan Indonesia itulah yang membuat daya beli upah buruh di Indonesia menjadi lemah, jika menggunakan indikator harga beras.
Kita belum bicara harga tarif listrik yang naik. Bahkan rata-rata kenaikan mencapai Rp75.000-Rp100.000. Menurutnya, kenaikan tarif listrik itu tidak sejalan dengan kenaikan gaji buruh di Indonesia, sehingga daya beli terus menurun.