Menanti Putusan MK: “Jika Keadilan tak Didapatkan di Ruang Sidang, Buruh akan Mencarinya di Jalanan”

Menanti Putusan MK: “Jika Keadilan tak Didapatkan di Ruang Sidang, Buruh akan Mencarinya di Jalanan”
Said Iqbal. Foto: Media Perdoeangan

Jakarta, KPonline – Rangkaian persidangan di Mahkamah Konstitusi terkait dengan uji materiil UU Cipta Kerja memang sudah berakhir. Apa yang dilakukan kaum buruh, dengan menggugat omnibus law ke pengadilan, menjadi tonggak penting dalam upaya membela hak-kelas pekerja di Indonesia. Saat ini, kaum buruh mengarahkan perhatiannya ke Gedung MK. Menuntut Hakim Konstitusi membuka mata lebar akan dampak buruk yang terjadi akibat pasca beleid ini diundangkan.

Dalam gugatan ini, tujuh poin krusial diajukan untuk diuji. Poin-poin ini mencerminkan kekhawatiran mendalam terhadap ketidakadilan yang dirasakan oleh buruh akibat berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja. Yang pertama adalah masalah upah murah, sebuah kondisi yang semakin memperburuk kesejahteraan buruh. Kedua, isu outsourcing yang harus segera dihentikan, mengingat praktik ini hanya memperlemah posisi tawar pekerja dan menciptakan ketidakpastian kerja. Ketiga, sistem kerja kontrak yang tidak jelas periodenya, yang membuat buruh terus hidup dalam ketidakpastian.

Keempat, permasalahan yang dipermudah oleh aturan-aturan yang menguntungkan pengusaha dan merugikan buruh, seperti pesangon yang kecil. Dalam banyak kasus, pesangon yang diberikan hanya sebesar 0,5 kali dari yang seharusnya, padahal sebelumnya aturan yang berlaku adalah minimal satu kali. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada pekerja dengan masa kerja 20 tahun yang hanya mendapatkan pesangon sebesar Rp2,5 juta, yang tidak sebanding dengan pengabdian mereka selama puluhan tahun.

“Ini adalah contoh nyata dari ketidakadilan yang dirasakan buruh di Indonesia,” tegas Said Iqbal.

Kelima, tentang pekerja asing yang tidak berketerampilan, terutama dari China, yang membanjiri pasar tenaga kerja Indonesia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya persaingan tidak sehat dan penurunan standar kerja di dalam negeri. Keenam, isu cuti panjang yang hilang setelah masa kerja enam tahun. Cuti panjang yang seharusnya menjadi hak pekerja, tiba-tiba dihapuskan tanpa alasan yang jelas. Ketujuh, masalah penghapusan hak-hak cuti bagi pekerja wanita, seperti cuti melahirkan dan cuti haid, yang seharusnya dilindungi oleh undang-undang.

Dalam sidang terakhir di Mahkamah Konstitusi, dihadirkan satu saksi ahli, yaitu Dr. Zainal Arifin, serta tiga saksi fakta: Said Iqbal, Jazuli, dan Solihin. Keterangan yang diberikan oleh para saksi ini memperkuat argumen bahwa tujuh poin yang digugat tersebut adalah bentuk nyata dari ketidakadilan yang harus segera diperbaiki. Fakta-fakta yang diungkapkan dalam persidangan memberikan gambaran betapa Undang-Undang Cipta Kerja ini merugikan buruh dan hanya menguntungkan pengusaha.

Salah satu contoh yang diangkat dalam sidang adalah masalah pesangon yang dipermudah oleh aturan baru. Saat ini, perusahaan hanya perlu membayar pesangon sebesar 0,5 kali dari aturan sebelumnya.

Said Iqbal menjelaskan, “Ini sangat merugikan buruh yang telah bekerja puluhan tahun namun hanya mendapatkan pesangon yang tidak sepadan.” Ada kekhawatiran bahwa hal ini akan menjadi preseden buruk di mana perusahaan dapat dengan mudah mem-PHK buruh tanpa memberikan kompensasi yang layak.

Buruh menyerukan agar Hakim MK mengabulkan uji materiil UU Cipta Kerja.

Terkait dengan kenaikan upah, Said Iqbal menyoroti adanya istilah “indeks tertentu” yang digunakan pemerintah sebagai alasan untuk menaikkan upah yang tidak sebanding dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Di beberapa daerah seperti Lumajang dan Jember, kenaikan upah hanya sebesar Rp15.000 per bulan, yang tidak cukup untuk menutupi kenaikan biaya hidup.

“Ini adalah bentuk lain dari ketidakadilan yang harus diatasi,” ujarnya.

Melalui gugatan ini, serikat buruh meminta agar Mahkamah Konstitusi mengembalikan keadilan bagi buruh Indonesia. Mereka meminta agar outsourcing hanya dibatasi pada lima jenis pekerjaan, kontrak kerja harus memiliki periode yang jelas, dan pesangon harus kembali diatur dengan ketentuan minimal satu kali upah. Mereka juga menuntut agar cuti panjang dikembalikan dan hak cuti bagi pekerja wanita dijamin.

Said Iqbal menegaskan bahwa jika keadilan tidak tercapai di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, maka keadilan akan dicari di jalanan melalui aksi-aksi demo dan pemogokan. “Ini adalah bentuk perlawanan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai sangat merugikan buruh. Serikat buruh siap mengorganisir pemogokan nasional jika tuntutan mereka tidak dipenuhi,” kata Said Iqbal dengan tegas.

Said Iqbal mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi harus menggunakan hati nurani dalam mengambil keputusan ini. Keputusan ini tidak hanya menyangkut nasib para buruh, tetapi juga masa depan bangsa Indonesia. “Hakim Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat berlaku adil dan tidak bertentangan dengan keputusan-keputusan sebelumnya yang telah menguntungkan buruh,” ujarnya.

Dengan demikian, perjuangan untuk menegakkan keadilan bagi buruh Indonesia akan terus berlanjut, baik di dalam ruang sidang maupun di jalanan. Ini adalah perjuangan untuk hak-hak dasar pekerja yang harus dilindungi dan dijaga oleh negara.