Oleh: Kahar S. Cahyono
Wakil Presiden FSPMI, KSPI, dan Ketua Bidang Infokom dan Propaganda Partai Buruh
Melalui lensa kebudayaan, setiap cerita tentang negara kesejahteraan menjadi bukan hanya tentang angka atau kebijakan, tetapi tentang manusia, nilai, dan perjalanan kita bersama dalam menyulam kehidupan yang lebih adil dan sejahtera — tanpa penindasan dan penghisapan oleh manusia yang lainnya.
Semalam (23/5), saya berkesempatan menghadiri sebuah perhelatan yang memadukan diskusi dan malam kebudayaan kelas pekerja di Clay Coffee Space, Jakarta. Sebuah acara yang dihelat Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI).
Sejak sore, tempat ini sudah dipenuhi antusiasme yang berkelanjutan hingga acara berakhir tepat pukul setengah sepuluh malam. Suguhan diskusi, tari, teater, dan pentas musik yang memukau menjadi bukti nyata betapa kaya dan dinamisnya kebudayaan kelas pekerja.
Diskusi yang hangat, dilanjutkan dengan suguhan tari, teater, dan musik, membuktikan betapa kaya dan dinamisnya kebudayaan kelas pekerja. Seakan menjadi oasis, malam itu memberi ruang bagi kelas pekerja untuk mengekspresikan dan merayakan keberadaan serta perjuangan mereka.
Saya terkesan dengan acara ini. Gerakan buruh pada lazimnya amat jarang membicarakan soal kebudayaan. Padahal, bicara tentang kebudayaan sejatinya tidak hanya bicara tentang kesenian atau peninggalan budaya. Bicara kebudayaan adalah bicara tentang budi daya, pikiran/gagasan, tindakan, bahkan tentang sebuah sistem.
Dan sejatinya, tujuan dari kebudayaan adalah untuk mempertahankan kehidupan. Kebudayaan, dengan segala ritme dan rona, adalah buaian bagi eksistensi kita. Ia bukan sekadar perhiasan, melainkan akar yang menancap dalam, menjaga agar kita tidak terbang bersama angin. Mempertahankan kehidupan berarti memelihara cerita-cerita yang membuat kita tetap berdiri, memastikan kita selalu ingat dari mana kita berasal.
Ketika berbicara budaya kelas pekerja, tentu juga ada budaya lainnya, seperti budaya borjuis/kapitalis yang selama ini terus mencoba menegasikan budaya kelas pekerja kita. Ketika kita menuntut upah, mereka akan bilang kita tidak bersyukur. Ketika kita melakukan unjuk rasa, mereka akan bilang memacetkan jalan. Ketika kita berserikat, mereka akan membuat sekat.
Oleh mereka — kelas yang berdiri bertentangan dengan kita — kebudayaan kelas pekerja sering kali diabaikan, dianggap tak penting dan kemudian dicoba untuk dinegasikan dengan stigma dan pengabaian.
Sering kita ucapkan dalam slogan. “Buruh berkuasa, rakyat sejahtera”. Dari sini saya mau bilang, merebut kekuasaan adalah bagian dari kebudayaan kelas pekerja. Buruh berkuasa, rakyat sejahtera, bukan hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang memenangkan kebudayaan dan membangun kekuasaan melalui alat politiknya sendiri — Partai Buruh. Dengan terlibat dalam Partai Buruh, kelas pekerja bisa lebih nyaring mengekspresikan realitas hidup mereka dan mengawal kebijakan yang mendukung kesejahteraan mereka.
Karenanya, kehadiran Partai Buruh harus kita maknai sebagai langkah nyata untuk memenangkan kebudayaan kita.
Menjembatani kebudayaan dan negara kesejahteraan tentu juga telah dikonsepkan oleh Partai Buruh lewat 13 platform perjuangannya. Maka, apabila 13 platform bisa diimplementasikan, maka dengan sendirinya kebahagiaan warga juga akan meningkat.
Kebudayaan dan nilai-nilai yang kita peluk erat memainkan peran penting dalam merajut kebijakan yang bermuara pada kesejahteraan sosial. Di negara-negara dengan semangat kolektivisme yang kuat membawa kita pada pemahaman bahwa kesetaraan bukan hanya angan. Itulah sebabnya, di sana, sistem kesejahteraan dibangun tidak hanya sebagai benteng, tetapi sebagai taman bermain yang luas dan inklusif, di mana setiap orang dijamin kebebasannya untuk berkembang.
Sedangkan di belahan dunia yang lain, yang lebih mengutamakan individualisme, kisahnya berbeda. Di sini, sistem kesejahteraan lebih seperti peta berlapis-lapis yang mengarahkan setiap orang pada peluangnya masing-masing. Bukan untuk menjaga, tetapi untuk memandu setiap langkah ke arah yang bisa mereka capai sendiri.
Namun, di luar sistem yang terstruktur, kebudayaan kita juga menentukan bagaimana kita, sebagai kelas pekerja, merespons dan mendukung kebijakan ini. Adakah kita melihat pengangguran sebagai tabu, ataukah sebagai fase transisi? Apakah kemiskinan dilihat sebagai ketidakberuntungan semata, atau sebagai hasil dari ketidakadilan struktural? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menentukan seberapa jauh kita bersedia mendorong pemerintah untuk bertindak.
Dan yang terakhir, tidak kalah penting, adalah cara kita berinteraksi dengan sistem yang ada. Bagaimana kita, dengan latar belakang budaya yang beragam, mengakses layanan yang ditawarkan? Apakah stigma telah mengecilkan nyali beberapa di antara kita untuk meminta bantuan? Atau apakah kita telah menyesuaikan kebijakan sedemikian rupa sehingga setiap orang, dari berbagai sudut negeri dan kebudayaan, merasa diakui dan dihargai?
Melalui lensa kebudayaan, setiap cerita tentang negara kesejahteraan menjadi bukan hanya tentang angka atau kebijakan, tetapi tentang manusia, nilai, dan perjalanan kita bersama dalam menyulam kehidupan yang lebih adil dan sejahtera — tanpa penindasan dan penghisapan oleh manusia yang lainnya.
Jangan hanya memaknai realitas, tetapi kita juga harus bisa mengubahnya agar sesuai dengan kepentingan kelas pekerja. Maka, malam ini kita tidak hanya sekedar bicara dalam paparan konsep atau gagasan.
Realitas bukan sekadar pemandangan yang kita saksikan, melainkan ladang yang harus kita garap. Kita, terutama kelas pekerja, berhak membentuknya, mengukirnya sesuai aspirasi dan kebutuhan. Dengan tangan dan hati, kita merangkai dunia baru yang lebih adil, di mana setiap tetes keringat bernilai dan dihargai.