Mojokerto, KPonline – Maraknya penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) ilegal dan begitu kompleksnya permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia, haruslah dipahami dan ditangani dengan serius dan teliti. Bukan hanya menyangkut aspek hubungan industrial saja. Tetapi juga berhubungan erat dengan keberhasilan jaminan sosial, kesejahteraan rakyat dan ketahanan negara. Kesamaan pemahaman dan informasi data mutlak dibutuhkan antara serikat pekerja, dinas dan lembaga terkait, untuk mencegah adanya pelanggaran yang mungkin terjadi.
Jamkeswatch sebagai tim independent pemantau jaminan sosial dari serikat pekerja merasa perlu melakukan langkah terobosan guna mengantisipasi hal tersebut. Salah satu upaya Jamkeswatch Kabupaten Mojokerto adalah melakukan roadshow ke BPJS. Dari road show ini diharapkan ada satu persamaan pandangan, mencocokan informasi data, memetakan permasalahan sekaligus mencari solusi alternatifnya terhadap permasalahan ketenagakerjaan atau hubungan industrial yang ada kaitannya dengan pelaksanaan jaminan sosial.
Dalam tujuan pertama roadshow (31/01/2016), Jamkeswatch Mojokerto mengunjungi Kantor Cabang BPJS Ketenagakerjaan Mojokerto. Kepala Cabang BPJS Mojokerto Dodit Isdiyono mengapresiasi kerja Jamkeswatch yang selama ini sudah membantu dan memantau pelaksanaan jaminan sosial. Kolaborasi seperti ini sangat dibutuhkan bukan hanya dengan serikat pekerja namun juga dengan pihak-pihak yang lain.
Saat ini BPJS Ketenagakerjaan selain mencakup pekerja sektor formal, juga melayani pekerja pada sektor informal. Menurut Dodit, adanya informasi data, temuan kasus dan potensi masalah dari Jamkeswatch adalah masukan berharga, yang akan ditindak lanjuti secepatnya oleh BPJS Ketenagakerjaan guna meningkatkan kepesertaan dan pelayanan yang lebih baik.
Selain di BPJS Ketenagakerjaan, Jamkeswatch juga mendatangi BPJS Kesehatan Mojokerto. Di sini, Jamkeswatch ditemui Kepala Cabang BPJS Kesehatan Mojokerto Susilawati Agustin.
Susilawati mendukung sepenuhnya langkah yang dilakukan oleh Jamkeswatch Mojokerto. Sinergi ini diharapkan mampu menyuguhkan data valid dan informasi terkini untuk mendukung persiapan total coverage BPJS Kesehatan. Masih adanya badan usaha dan pekerja yang belum sepenuhnya ikut kepesertaan jaminan sosial menjadi pembahasan utama, selain mengenai pelayanan dan perkembangan ketenagakerjaan. Terkait regulasi baru tentang ketenagakerjaan seperti Peraturan Daerah, Putusan Mahkamah Konstitusi, Sentralisasi Pengawasan dan lain sebagainya, menunggu kajian internal dan kebijakan dari Direktur Pusat BPJS Kesehatan.
Koordinator Jamkeswatch Mojokerto Ipang Sugiasmoro mengatakan, “Tidak dapat dipungkiri, BPJS adalah pihak keempat dalam hubungan industrial. Segala bentuk dinamika permasalahan industrial dan regulasi ketenagakerjaan, mau tidak mau BPJS harus memiliki sudut pandang yang utuh dan pemahaman yang sama. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kecurangan dan pelanggaran, yang tentunya sangat berimbas padal iuran, kepesertaan dan hak jaminan sosial.”
Masih menurut Ipang, adanya celah hukum dalam sistem Jaminan Sosial dan Sistem Ketenagakerjaan di indonesia haruslah sungguh-sungguh dicermati, yang memungkinkan adanya penyelundupan hukum ataupun gugatan hukum di kemudian hari. Salah satu diantaranya adalah keputusan Mahkamah Konstitusi No.72/PUU-XIII/2015 tentang penangguhan upah. Dalam amar putusannya MK menyatakan bahwa pemberi kerja wajib membayar selisih upah minimum selama masa dilakukannya penangguhan upah. Dengan kata lain, selisih upah minimum dan pembayaran dalam masa penangguhan adalah hutang pemberi kerja kepada pekerja buruhnya. Pelanggaran terhadap pembayaran upah yang lebih rendah dari upah minimum merupakan tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara dan/atau denda sebagaimana diatur dalam pasal 185 ayat (1) UU 13/2013.
Implikasi hukum dari ketetapan tersebut yang ada kaitannya dengan hak jaminan sosial menurut Jamkeswatch Mojokerto adalah munculnya selisih potongan iuran BPJS, yaitu dari upah terlapor saat penangguhan upah dengan upah minimum yang harus dibayarkan. Konsekuensinya adalah apakah selisih upah terlapor (upah penangguhan) dengan upah minimum ini menjadi sebuah hutang berupa selisih iuran ke BPJS? Dan apakah dengan berbasiskan upah terlapor (upah penangguhan bukannya upah minimum) yang akan mengurangi hak jaminan sosial pekerja tersebut bisa dikategorikan perbuatan yang melanggar prinsip jaminan sosial? Pengurangan hak ini menyangkut besaran/penghitungan santunan Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun yang selama ini berbasiskan upah terlapor.
Menambahkan keterangan dari ketuanya, Sekretaris Jamkeswatch Mojokerto M. Arifianto menyampaikan, sebagai badan hukum publik, BPJS harus menjadi pendorong terciptanya keadilan dan kesejahteraan sosial demi terwujudnya negara yang sejahtera. Dalam Undang-Undang jaminan sosial, peran maupun kontribusi pekerja dan pemberi kerja sangatlah dominan, bisa diasumsikan kesuksesan jaminan sosial bergantung besar pada stabilnya hubungan industrial dan ketenagakerjaan di Indonesia. Tentunya tanpa bermaksud mengecilkan peran yang lain.
Khusus mengenai TKA ilegal, menurut Arifianto Jamkeswatch Mojokerto telah meminta BPJS untuk melakukan filterisasi dan singkronisasi data dengan dinas atau lembaga lainnya. Dengan melibatkan BPJS maka pendeteksian dan pencegahan penyimpangan maupun pelanggaran ketenagakerjaan dapat diantisipasi sedini mungkin. Semoga kolaborasi serikat pekerja, Jamkeswatch dan BPJS dalam sistem jaminan sosial dan sistem ketenagakerjaan ini dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penulis: Arief Catur