Jakarta, KPonline – Berapa besarnya kenaikan upah minimum tahun 2019?
Pertanyaan ini bisa jadi akan mudah untuk dijawab. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, besarnya kenaikan upah minimum tahun 2019 adalah inflansi plus pertumbuhan ekonomi di tahun 2018.
Itu jawaban normatif. Berkaca pada tahun lalu, sebesar nilai inflansi dan pertumbuhan ekonomi itulah, Gubernur menetapkan upah di masing-masing daerah.
Nampaknya Pemerintah benar-benar mengendalikan kenaikan upah. Tak kurang dari Kementerian Dalam Negeri membuat surat edaran agar setiap Gubernur memperhatikan PP 78/2015 dalam menetapkan upah minimum. Jika mbalelo, sanksi menanti di depan mata.
Akibatnya, ketika ada bupati atau walikota yang merekomendasikan nilai lebih besar, tetap saja diabaikan. Ini terjadi di Banten, Jawa Timur, dan beberapa daerah lain.
Kenaikan upah sebagaimana formula PP 78/2015 sangatlah tidak adil. Selain tidak demokratis, karena menghilangkan proses perundingan di dalam dewan pengupahan, juga mengabaikan fakta bahwa inflansi dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah tidak sama.
Jika rumus itu tetap dipakai, disparitas upah juga akan semakin tinggi. Katakalanlah inflansi dan pertumbuhan ekonomi nilainya 10 persen.
Naik 10 persen dari 3 juta dengan 1,5 juta tentu berbeda. Yang satu nilainya 300 ribu, satunya lagi hanya 150 ribu. Akibatnya, daerah-daerah yang saat ini upahnya rendah akan tetap rendah.
Belum lagi jika kita membandingkan upah dengan negara-negara sekitar. Upah Indonesia akan semakin tertinggal.
Upah Minimum di Tahun Politik
Kembali pada persoalan upah minimum 2019. Apa yang seharusnya dilakukan oleh kaum buruh?
Tahun depan adalah tahun politik. Tahun dimana secara konstitusi dimungkinkan terjadi perubahan kepemimpinan nasional.
Dalam konteks itu, satu hal yang harus kita sadari, permasalahan upah adalah buah dari kebijakan politik. Maka kaum buruh memiliki kesempatan untuk memberikan hukuman bagi elit politik yang dalam membuat kebijakan tidak menguntungkan kaum buruh. Caranya adalah dengan tidak memilihnya kembali, baik dalam pileg (bagi anggota legislatif) maupun dalam pilpres (untuk eksekutif).
Dengan demikian, akan terbuka ruang pemerintahan yang baru nanti akan mengoreksi kebijakan pemerintah yang sebelumnya.
Apalah cukup dengan itu?
Tentu saja tidak. Aksi unjuk rasa harus tetap menjadi tulang punggung gerakan.
Meskipun kita menggunakan strategi politik, konsep-loby-aksi tidak boleh dikesampingkan. Itulah yang sekaligus membedakan antara serikat pekerja dan partai politik.
Apakah aksi-aksi upah tidak akan sia-sia? Toh nantinya besar kenaikan tetap sesuai PP 78/2015.
Tentu saja tidak. Tidak ada yang sia-sia dari perjuangan menuntut hak. Hal ini justru akan memperkuat argumentasi kaum buruh, bahwa kebijakan pengupahan saat ini bermasalah. Sekaligus hendak menegaskan, bahwa masalah upah adalah masalah yang fundamental bagi kaum buruh.
Jika untuk sesuatu hal yang sepenting ini saja kita tidak bersungguh-sungguh, bagaimana kita akan berjuang untuk sesuatu yang lebih berat lagi?