Jakarta, KPonline – Maret 2016. Saya menghadiri acara Penganugerahan Liputan Media Terbaik tentang Isu Perburuhan dan Serikat Pekerja yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Selain penganugerakan atas liputan terbaik, juga diselenggarakan pameran foto dan karya jurnalistik. Penganugerahan itu diselenggarakan di Stasiun Gambir. Tempat publik. Sesuatu yang membuat kegiatan ini memiliki daya tarik.
Saya masih ingat betul, saat itu panitia menyampaikan, Stasiun Gambir dipilih karena, memang, ini tempat publik. Dengan demikian, diharapkan akan mempertemukan karya-karya bertema perburuhan dengan masyarakat.
Apa pentingnya? Bagi penggiat tim media di dalam serikat, tentu akan paham betapa pentingnya mempertemukan isu perburuhan ke publik.
Terlebih, selama ini ada anggapan bahwa isu-isu perburuhan bukanlah isu yang seksi untuk diwartakan. Paling gitu-gitu aja. Sebatas permasalahan di pabrik, yang tidak jauh dari upah dan PHK.
Jangankan bagi orang di luar sana. Bagi si buruh sendiri, isu perburuhan tidak terlalu diminati. Kadang seperti sedang melakukan onani. Dibikin sendiri. Dinikmati sendiri.
Lihat saja semua media sosial yang dimiliki oleh serikat pekerja. Followers-nya tak sebanding dengan klaim jumlah anggota yang mereka punya. Tingkat kunjungan ke web milik organisasi? Lebih memprihatinkan lagi.
Andaikan Kekuatan Kaum Buruh Disatukan
Padahal di atas kertas, jumlah kaum buruh sangatlah fenomenal. Kalau mereka satu hati, semua kelar. Buruh bakal menjadi kekuatan utama dalam politik, ekonomi, bahkan sosial.
Itu bukan saya yang bilang. Beberapa kawan yang saya anggap memiliki pemikiran cemerlang mengatakan demikian. Bahwa potensi kaum buruh sangatlah besar.
Sayangnya, buruh bersatu masih sebatas slogan.
Saya tak menampik itu. Bagi saya, ini otokritik. Tetapi saya sedang tidak ingin membahas itu. Saya ingin kita kembali ke penganugerahan liputan media terbaik di tahun 2016 yang sempat saya hadiri.
Selain saya, Menteri Ketenagakerjaan saat itu Hanif Dhakiri juga hadir. Kehadiran seorang Menteri dalam kegiatan ini, tentu menambah bobot penganugerahan ini.
Tentu saja, ia harus hadir. Ini di depan media. Sesuatu yang sayang untuk dilewatkan, jika tak ingin ketinggalan publikasi.
Di sini, saya juga bertemu bung Surya Tjandra, yang ketika saya menulis ini sudah menjadi Wakil Menteri. Dalam penganugerahan ini, dia menjadi salah juri.
Berbicara tentang liputan media terbaik, berarti berbicara tentang karya-karya terbaik di bidang jurnalistik. Saya membayangkan, hal ini dilakukan oleh serikat pekerja. Di mana melalui media, kita sedang ‘mengabadikan jejak langkah perjuangan’.
Bekerja untuk Keabadian
Ada banyak orang bekerja dalam gerakan ini. Jika itu tidak diabadikan, niscaya apa yang mereka kerjakan akan dengan cepat dilupakan.
Dalam hal ini, Pramodya Ananta Toer sudah mengingatkan. “Orang boleh pintar setinggai langit, tetapi jika ia tidak menulis, maka akan dengan cepat dilupakan.”
Berkaca dari apa yang dikatakan Pram, penting bagi serikat pekerja — bahkan di dingkat unit kerja (PUK, PK, atau PSP) untuk membangun tim media yang solid. Apalagi di era sekarang, di mana kebutuhan akan komunikasi dan informasi sangatlah dibutuhkan.
Kesadaran bahwa media adalah alat untuk berjuang, saya kira tercermin dari aksi virtual yang beberapa waktu lalu dilakukan oleh FSPMI-KSPI. Aksi ini seolah hendak membuka mata kaum buruh, bahwa cara untuk menyampaikan pendapat di muka umum tidak hanya bisa dilakukan dengan turun ke jalan. Tetapi juga bisa dilakukan dengan memanfaatkan media yang ada.
Ada banyak jalan menuju Roma. Ada banyak cara untuk menyampaikan tuntutan kita.