Mengapa UU Cipta Kerja Gagal Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja?

Mengapa UU Cipta Kerja Gagal Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja?
Buruh melakukan aksi serentak di berbagai kota untuk menolak omnibus law UU Cipta Kerja. Aksi unjuk rasa ini dilakukan bersamaan dengan sidang uji materiil di Mahkamah Konstitusi, Senin (8/7). Foto: Media Perdjoeangan

Jakarta,KPonline – Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) oleh pemerintah telah menjadi sumber perdebatan dan kontroversi di kalangan masyarakat, terutama di antara para buruh.

Penolakan yang terus-menerus disuarakan oleh buruh tidak hanya menggambarkan ketidakpuasan, tetapi juga ketakutan terhadap dampak jangka panjang yang mungkin ditimbulkan oleh undang-undang tersebut. Ada beberapa alasan utama mengapa buruh merasa perlu untuk terus menolak UU Cipta Kerja.

Bacaan Lainnya

Saat UU Cipta Kerja dijalankan, lapangan pekerjaan di sektor formal juga bermasalah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang 2014 sampai dengan 2024, 10 tahun pemerintahan Jokowi, ada tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, 8,5 juta orang terserap oleh lapangan pekerjaan di sektor formal. Angka ini turun menjadi 2 juta orang pada periode kedua.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kegagalan UU Cipta Kerja menciptakan lapangan kerja karena investasi yang masuk ke Indonesia merupakan investasi tak berkualitas. Investasi itu menawarkan upah rendah tanpa menjamin keselamatan pekerja serta kelestarian lingkungan. Akibatnya, sebagian besar investor yang masuk adalah investor yang tidak berkualitas. Sedangkan para investor global yang berkualitas, justru terhalang oleh mundurnya standardisasi pengaturan upah layak dengan adanya UU Cipta Kerja.

Pada 30 September 2020, ada 23 serikat pekerja dan perusahaan asing menyurati Jokowi. Mereka meminta standar rendah dalam RUU Cipta Kerja ditinjau ulang. Standar rendah ini juga, menurut Bhima, yang membuat Indonesia tak banyak kecipratan untung dari perang dagang Amerika Serikat-Cina. Sejumlah investor besar justru memilih berinvestasi di Thailand dan Vietnam yang terus memperbaiki standar mereka. “Sejak UU Cipta Kerja, deindustrialisasi prematur makin masif,” kata dia, Kamis, 25 Juli 2024.

Selain investasi tak berkualitas, kegagalan terciptanya lapangan kerja juga disebabkan investasi yang masuk lebih banyak di sektor high technology yang tak padat karya. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan sektor ini tidak membutuhkan banyak tenaga kerja sekaligus tidak sinkron dengan kondisi sumber daya manusia di Indonesia yang masih relatif rendah.

BPS mencatat pada Agustus 2023, jumlah penduduk bekerja Indonesia didominasi oleh lulusan sekolah dasar (SD) ke bawah sejumlah 51,49 juta orang atau 36,82 persen. Hanya 14,44 juta orang atau 10,32 persen penduduk bekerja yang pernah selesai mengenyam bangku pendidikan tinggi. “Artinya, investasi yang masuk tidak diimbangi dengan ketersediaan skilled labour,” kata Esther, Kamis, 25 Juli 2024.

Tak hanya persoalan lapangan kerja, investasi juga tak mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data BPS pada 2014, pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,01 persen. Selama hampir sepuluh tahun kemudian, angka itu tak banyak beranjak. Selama triwulan pertama 2024, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,11 persen.

Bahkan, Center of Reform on Economics (CORE) memprediksi angka itu akan melambat menjadi 4,9 hingga 5 pada akhir 2024. Perlambatan itu terutama disebabkan adanya perlambatan konsumsi rumah tangga, sektor penyumbang terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB). Esther menuturkan, meski UU Cipta Kerja memangkas berbagai regulasi, namun pertumbuhan ekonomi tak banyak beranjak karena peringkat ease of doing business (EoDB) Indonesia masih tergolong rendah, yakni 73 dari 190 negara.