Jakarta, KPonline – Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2019, Provinsi Jawa Barat menjadi provinsi dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tertinggi di Indonesia, yakni 7,73%. Provinsi lain dengan tingkat pengangguran tinggi adalah Banten 7,58%, Maluku 6,91%, Kalimantan Timur 6,66%, dan Kepulauan Riau 6,41%.
Sebagian orang kemudian menyalahkan serikat pekerja yang selalu menuntut upah tinggi. Padahal jika argumentasi ini yang digunakan, semestinya pengguran terbesar adalah DKI Jakarta. Karena di provinsi yang dipimpin Anies Baswedan inilah merupakan pemegang rekor Upah Minimum Provinsi (UMP) tertinggi di Indonesia.
Lalu apa yang membuat pengangguran di Jawa Barat tinggi? Untuk menjawab ini, kita bisa melihat beberapa pandangan dari beberapa pejabat pemerintahan.
Deputi Bidang Statistik BPS Margo Yuwono menyampaikan, tingginya TPT di Jawa Barat dipengaruhi oleh kondisi industri. Dimana Jawa Barat memiliki jumlah industri yang besar sehingga menarik penduduk dari luar Jabar untuk pindah ke provinsi tersebut. Migrasi industri ini menyebabkan lapangan pekerjaan berkurang. (Katadata.co.id, 7/5/2019).
Pengamat Perencanaan dan Pembangunan Tatang Suheri menekankan pada ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara beberapa kota/kabupaten di Jawa Barat sebagai salah satu penyebab tingginya angka pengangguran. Menurut Tatang, perekonomian Jawa Barat masih terlalu bersandar pada Jawa Barat di wilayah Utara, salah satu kawasan industri terbesar di Indonesia. Dengan demikian, ketimpangan akan selalu terasa di daerah-daerah. (Sindonews.com, 5/6/2018).
Sedangkan Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) ketika menanggapi tingginya angka pengangguran mengatakan, salah satu penyebabnya adalah karena besarnya jumlah pelajar di Provinsi Jawa Barat. Akibatnya, angka pengangguran bertambah jika para pelajar tersebut lulus sekolah namun makan belum memperoleh pekerjaan. Selain itu, juga disebabkan jumlah angkatan kerja di Jawa Barat yang datang dari luar daerah. Pasalnya, 53% industri manufaktur berada di Jawa Barat. Akibatnya, masyarakat Jawa Barat sendiri sulit bersaing untuk mendaoatkan pekerjaan. (Okezone, 2/5/2017).
Pernyataan Aher terkonfirmasi dari data yang disampaikan Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bekasi, Edy Rochyadi. Dilansir dari Memoonline.co.id (24/4/2019), jumlah angka pengangguran di Kabupaten Bekasi tergolong tinggi, yakni sebanyak 172 ribu orang. Padahal Bekasi dikenal sebagai daerah dengan seribu industri.
Menurut Edy, tingginya angka pengangguran tersebut disebabkan karena wilayah Kabupaten Bekasi merupakan kawasan industri. Sehingga, banyak warga dari daerah lain yang datang ke Kabupaten Bekasi untuk mendapatkan pekerjaan dan mengadu nasib demi kehidupan yang lebih baik.
Jangan Salahkan Serikat Pekerja
Kita bisa berbeda pendapat dengan apa yang disampaikan Margo, Tatang, Aher, maupun Edy. Namun satu hal yang harus kita bawahi, bahwa tingginya upah buruh tidak berkorelasi dengan tingginya pengangguran.
Saya percaya, tidak ada orang yang suka dengan status sebagai pengangguran. Tipikal masyarakat Indonesia, daripada nganggur, apa saja dikerjakan. Meskipun pekerjaan itu tidak layak, misalnya dengan upah yang rendah dan tidak memberikan jaminan pada masa depan. Asalkan bisa kerja.
Saya bahkan pernah bertemu dengan seseorang yang bekerja belasan tahun dan digaji setengah dari upah minimum yang berlaku di daerah tersebut. Ia rela diperlakukan demikian. “Daripada nganggur,” katanya.
Untuk bisa kerja, bahkan ada yang rela membayar hingga Rp 5 juta. Itu pun dengan status sebagai karyawan kontrak. Bahkan outsourcing. Jadi mereka nganggur bukan karena malas kerja, tetapi tidak ada lowongan pekerjaan yang tersedia.
Dalam konteks inilah, kita mempertanyakan komitmen dari pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja. Termasuk di dalamnya menjamin adanya kepastian kerja.
Tentu saja kita tidak sependapat jika tingginya tingkat pengangguran kemudian solusi yang ditawarkan adalah fleksibilitas kerja. Sesuatu yang disebut sebagai menghilangkan hambatan investasi.
Mudah rekrut dan mudah pecat adalah jaminan kepada modal untuk melipatgandakan keuntungan, tetapi tidak memberikan jaminan kepada pekerja untuk tetap bekerja. Ketika seorang buruh di PHK, ia akan menambah daftar pengangguran. Dengan sistem yang sekarang, mereka akan kesulitan mendapatkan pekerjaan di sektor manufaktur, karena biasanya pabrik akan membatasi umur bagi karyawan baru.
Celakanya, ketika berusaha mendapatkan pekerjaan di sektor lain pun sulit didapatkan. Dalam situasi seperti ini, semestinya pemerintah turun tangan. Sebab hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah hak konstitusi setiap warga negara.
Kahar S. Cahyono, penulis adalah Vice President FSPMI – Ketua Departemen Media dan Komunikasi KSPI)