Menjaga Alam Gunung Sewu : Kearifan Lokal yang Terancam Eksploitasi Oligarki

Menjaga Alam Gunung Sewu : Kearifan Lokal yang Terancam Eksploitasi Oligarki

Wonogiri, KPonline – Fenomena penolakan pendirian pabrik semen di Pracimantoro, Wonogiri, adalah cerminan dari kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan. Seharusnya, pemerintah lebih bijaksana dalam memberikan izin eksploitasi alam, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap ekosistem dan kehidupan warga setempat.

Wakil rakyat, yang seharusnya menjadi penyambung suara masyarakat, mestinya tidak hanya menjadi kepanjangan tangan untuk kepentingan industri, tetapi benar-benar mendengar aspirasi rakyat yang mereka wakili.

Bagi masyarakat Jawa, alam bukan sekadar benda mati yang bisa dieksploitasi sesuka hati. Alam adalah sumber kehidupan, yang harus dijaga keseimbangannya agar tetap memberikan manfaat bagi generasi sekarang dan mendatang.

Filosofi ‘Memayu Hayuning Bawana’ mengajarkan bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga harmoni dunia. Kerusakan alam bukan hanya merugikan secara ekologis, tetapi juga mengganggu keseimbangan sosial dan budaya yang sudah diwariskan secara turun-temurun.

Setiap tahun, masyarakat di wilayah Gunung Sewu masih melestarikan tradisi Rasulan atau Merti Dusun sebagai bentuk rasa syukur kepada alam dan Sang Pemberi Kehidupan atas hasil bumi yang mereka terima.

Tradisi ini bukan sekadar ritual, tetapi juga simbol hubungan erat antara manusia dan alam, yang saling bergantung satu sama lain. Ketika alam dijaga, ia akan memberi kehidupan; namun ketika alam dirusak, bencana dan kesengsaraan akan datang sebagai akibatnya.

Tak heran jika orang Jawa memiliki ungkapan ‘Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi Ditohi Pati’ yang berarti sejengkal tanah pun akan dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Ungkapan ini bukan semata-mata soal kepemilikan lahan, tetapi juga refleksi betapa pentingnya tanah dan lingkungan bagi kelangsungan hidup masyarakat. Sayangnya, prinsip ini kini semakin tergerus oleh kepentingan ekonomi yang sering kali mengabaikan keseimbangan alam.

Pendirian pabrik semen di kawasan karst Pracimantoro bukan hanya soal investasi, tetapi juga tentang hilangnya ekosistem yang telah menopang kehidupan masyarakat selama berabad-abad.

Air yang meresap di batuan karst adalah sumber kehidupan bagi warga sekitar. Jika ekosistem ini dirusak, maka keberlangsungan hidup masyarakat pun terancam.

Pemerintah harus memahami bahwa pembangunan sejati tidak bisa hanya diukur dari keuntungan ekonomi jangka pendek. Lingkungan dirusak akan berakibat kerugian jangka panjang yang harus ditanggung masyarakat.

Jangan sampai kepentingan segelintir orang hari ini mengorbankan kelangsungan hidup banyak orang di kemudian hari. Karena ketika alam sudah hancur, tidak ada uang atau investasi yang bisa mengembalikan alam seperti sediakala. Dikutip dari akun Facebook Juna Prakasa Return II anggota Kabar Warga Pracimantoro (KWP). (Yanto)