Jakarta, KPonline – “Jangan bilang ditolak buruh, tapi ditolak Said Iqbal itu harus dibedakan. Lah kalau dia kan untuk mau-maunya sendiri.”
Kalimat itu saya kutip dari jawapos.com, Jumat (2/11/2018). Adalah Menteri Ketenagakerjaan yang mengucapkan kalimat tersebut.
Saya tidak tahu ada sentimen pribadi apa antara Hanif dan Said Iqbal. Tetapi yang pasti, karena Hanif adalah pejabat negara, pernyataannya layak untuk ditanggapi.
Masih menurut jawapos.com, Hanif Dhakiri keberatan jika Said Iqbal terus mengatasnamakan buruh. Padahal menurutnya, Said tidak memahami konsekuesi kenaikan upah jika dinaikkan terlalu tajam.
Masih menurut Hanif, Said tidak memikirkan warga yang belum bekerja. Hanif mengajak Said untuk berpikir bahwa kenaikan yang terlalu tinggi akan berdampak pada pemecatan paksa para buruh dan yang belum bekerja akan kesulitan mendapat pekerjaan.
“Dia memang mikirin yang belum kerja? Kalau nanti upahnya terlalu tinggi dan PHK banyak, dia nyalahin siapa? Nyalahin pemerintah lagi. Lah kok enak,” terangnya.
Maka dari itu, Hanif meminta agar para buruh dapat berpikir cerdas terkait kenaikan UMP. Sebab, sesuai dengan PP 78 tahun 2015 buruh telah diupayakan naik gajinya di semua daerah Indonesia.
“Genjot upah setinggi-tingginya nanti begitu pengusaha nggak kuat bayar upah melakukan PHK salahin lagi pemerintah. That’s not fair,” tandasnya.
JAWABAN UNTUK HANIF DHAKIRI
Pernyataan Hanif Dhakiri yang merupakan orang nomor satu di Kementeri Ketenagakerjaan perlu diluruskan. Sebab pernyataan tersebut menimbulkan tafsir yang menyesatkan.
Kekeliruan Pertama: “Jangan Bilang Ditolak Buruh, Tapi Ditolak Said Iqbal”
Hanif mustinya tahu, bahwa Said Iqbal adalah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Selain itu, dia juga menjadi Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Dengan kata lain, Said Iqbal adalah pemimpin buruh.
Sebagai pemimpin buruh, maka sudah menjadi kewajiban bagi Said Iqbal untuk berdiri di sisi buruh. Adalah tugas serikat buruh, dimana Said Iqbal sebagai pemimpin membela, memperjuangkan, dan melindungi hak serta kepentingan anggotanya. Justru patut dipertanyakan jika Said Iqbal membela pengusaha dan memungunggi anggotanya. Dalam hal ini, Said Iqbal berbicara atas nama anggotanya.
Hanif keliru jika PP 78/2015 hanya ditolak Said Iqbal. Hanif tentu mengetahui peristiswa 30 Oktober 2015 di depan Istana Negara. Saat itu aksi penolakan PP 78/2018 direpresif aparat, 26 menjadi tersangka, termasuk di dalamnya 2 pekerja bantuan hukum (LBH Jakarta) dan seorang mahasiswa. Dia bisa mencari tahu, apa saja elemen yang tergabung dalam aksi penolakan itu.
Dengan kata lain, pernyataan Hanif Dhakiri bahwa kenaikan upah hanya ditolak Said Iqbal tidak mendasar. Hoax.
Beberapa Kepala Daerah bahkan mengatakan tidak setuju dengan PP 78/2015 dan ingin menetapkan upah minimum lebih baik lagi. Tetapi karena ini menjadi program strategis nasional, para Kepala Daerah tidak bisa berbuat banyak. Apalagi diduga ada ancaman akan diberhentikan sebagai Kepala Daerah jika mbalelo menetapkan upah minimum tidak sesuai dengan PP 78/2015.
Kekeliruan Kedua: “Dia (Said Iqbal) kan untuk mau-maunya sendiri”
Salah besar jika Hanif mengira penolakan kenaikan upah minimum sesuai dengan PP 78/2015 adalah mau-maunya Said Iqbal sendiri.
Tuntutan Said Iqbal agar kenaikan upah minimum didasarkan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) bukan maunya Said Iqbal. Tetapi perintah dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Justru dengan menghilangkan mekanisme survey KHL dan secara sepihak menetapkan upah minimum sesuai dengan inflansi dan pertumbuhan ekonomi yang secara tidak langsung mencabut hak berunding serikat pekerja dalam menetapkan upah minimum, merupakan kebijakan yang arogan, otoriter, dan mau-maunya sendiri.
Tuntutan Said Iqbal agar upah naik 20-25% bukan mau-maunya sendiri Said Iqbal. Sebab kenaikan 8,03 persen membuat daya beli buruh jatuh.
Ini terjadi akibat pencabutan subsidi terhadap Tarif Dasar Listrik dan BBM. Juga ketidakmampuan Pemerintah mewujudkan harga pangan yang murah. Perumahan dan transportasi masih menjadi barang mahal di negeri ini. Semua itu menggerus upah buruh.
Kekeliruan Ketiga: Upah Tinggi Menyebabkan PHK
Hanif mengajak Said untuk berpikir bahwa kenaikan yang terlalu tinggi akan berdampak pada pemecatan paksa para buruh.
Dalam hal ini, Said Iqbal juga akan mengajak Hanif berfikir. Dulu katanya PP 78/2015 bisa mencegah terjadinya PHK. Apa hasilnya? Gelombang PHK tetap saja terjadi. Puluhan ribu buruh kehilangan pekerjaan setiap tahun.
PT Dada Indonesia, sebagai contoh, dalam beberapa tahun ini membayar upah buruh lebih rendah dari upah minimum. Tetapi toh tetap saja tutup. Sebanyak 1.300 buruh kehilangan pekerjaan. Kurang murah apa upah mereka? Jadi bohong kalau gaji buruh murah tidak akan terjadi PHK.
Ironisnya, ketika PHK terjadi, Pemerintah seperti lepas tangan. Ketika didatangi buruh Freeport dan Panarub yang meminta agar Pemerintah membantu penyelesaian kasus mereka, Hanif justru terkesan menghindar. Kayak gini nggak mau disalahin?
Kekeliruan Keempat: Melalui PP 78/2015, Buruh Sudah Diupayakan Kenaikan Gajinya di Seluruh Indonesia
Kalau sekedar naik, dari dulu upah buruh juga naik. Tetapi dengan PP 78/2015, kenaikan upahnya tidak mampu menutupi kebutuhan sehari-hari.
Sebagai contoh DKI Jakarta. Jika mengacu pada PP 78/2015, maka UMP 2019 DKI 2019 Jakarta adalah sebesar Rp 3.940.972.
Menurut Said Iqbal, upah sebesar 3,94 untuk hidup di Jakarta tidak layak. Kebutuhan buruh dalam 1 bulan adalah sebagai berikut: Makan 3 kali sehari membutuhkan Rp 45.000. maka dalam 30 hari, total Rp 1,35 juta; Sewa rumah, biaya listrik, dan air dalam 1 bulan Rp 1,3 juta; dan trasportasi membutuhkan biaya Rp 500.000. Dari tiga item tersebut, sudah menghabiskan anggaran Rp 3.150.000.
Setelah dikurangi kebutuhan di atas, sisa UMP 2019 adalah Rp 790.972. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa hidup layak di DKI dengan 790 ribu untuk beli pulsa, baju, jajan anak, biaya pendidikan, dan lain-lainnya?
Karena itu buruh mengusulkan UMP 2019 sebesar 4,2 juta. Nilai ini, kata Said Iqbal, berasal dari hasil survey pasar mengenai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang disepakati oleh Dewan Pengupahan Provinsi Jakarta yang terdiri dari unsur tripartit (Pemerintah, Pengusaha, Pekerja) sebesar 3,9 juta.
Nilai 3,9 juta tersebut hanya memasukkan unsur inflansi. Itu pun inflansi tahun 2018. Padahal upah tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup tahun 2019, yang tentu juga harga-harga akan mengalami kenaikan karena inflansi pada tahun depan.
Buruh meminta, untuk UMP 2019, dari KHL yang disepakati tersebut ditambah pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 5,15%. Hal yang wajar jika buruh meminta agar pertumbuhan ekomomi diperhitungan, karena ekonomi yang tumbuh harus dinikmati oleh kaum buruh.
Kekeliruan Kelima: “Genjot upah setinggi-tingginya nanti begitu pengusaha nggak kuat bayar upah melakukan PHK salahin lagi pemerintah.”
Kalau tidak mau disalahin, sederhana. Mundurlah jadi Menteri. Bukankah Menteri yang digaji dari pajak rakyat, memang tugasnya adalah untuk mengurusi rakyat?
Pertanyaan yang lain, apakah menuntut kenaikan 20-25 persen membuat upah buruh naik setinggi-tingginya? Lalu bagaimana dengan perbandingan upah di negara-negara ASEAN sebagaimana yang pernah dilaporkan dalam buku Trend Ketenagakerjaan ILO tahun 2015 ini: rata-rata upah buruh di Indonesia ini kalah dibandingkan dengan Vietnam yang telah mencapai US$ 181 per bulan. Kemudian juga kalah dengan Filipina sebesar US$ 204 per bulan, Thailand US$ 357 per bulan, Malaysia US$ 506 per bulan dan Singapura US$ 609 per bulan.