Jakarta, KPonline – Akhirnya Denny Siregar curhat. Mungkin baper. Dia mengatakan, akun dan message-nya diamuk mereka yang menamakan dirinya FSPMI. Garda Metal.
Menurut Denny, mereka ngamuk karena tulisannya dianggap menghina. Tulisan dimaksud adalah menyamakan Garda Metal dengan pasukan nasi bungkus.
Bagi saya, sesungguhnya Denny tidak saja menghina. Dia juga memfitnah buruh yang mendemo tax amnesty dikasih nasi bungkus yang diselipin uang antara 50-100 ribu. Selain memfitnah, dengan sengaja Denny menyerang kehormatan kaum buruh. Wajar jika buruh juga menyerang balik Denny.
“Saya heran, kenapa mereka ngamuk? Jika memang bukan panasbung, semestinya tidak perlu ngamuk. Kalau ngamuk, ya pasti merasa… Tersinggung ketika apa yang selama ini tersimpan rapat, dibuka selebar2nya,” kata Denny dalam tulisannya.
Begitulah Denny. Seenaknya sendiri ngomong. Setelah menyamakan Garda Metal dengan pasukan nasi bungkus, memfitnah, menyerang kehormatan, lalu meminta orang-orang yang diperlakukannya dengan kejam tak boleh ngamuk. Tak boleh tersinggung.
Asal Denny tahu, yang ngamuk itu adalah buruh yang telah dituduhnya. Yang tidak terima dengan ucapannya adalah anggota Garda Metal. Sekali lagi, anggota. Bukan pimpinannya. Bukat elit Serikat. Mereka adalah yang kemarin ikut demo — yang didanai dengan uangnya sendiri — dan tidak mendapatkan nasi bungkus yang diselipin uang seperti yang Denny tuduhan.
Wajar jika mereka ngamuk kepada orang yang menuduhnya tanpa bukti.
Andaikan saja yang ngamuk adalah pimpinan atau elit serikat, mungkin pernyataan Denny bahwa yang selama ini disimpan rapat-rapat dibuka selebar-lebarnya adalah benar. Tetapi kenyataannya tidak begitu. Tidak ada yang sedang ditutup-tutupi. Pimpinan organisasi tidak perlu membela diri. Toh buruh yang dituduh Denny sudah melakukan klarifikasi.
Bahwa gerakan buruh berpolitik, itu benar. Buruh menyerukan pada pemerintah. Mengkritisi kebijakan. Namun demikian, kami bebas dari kepentingan partai politik tertentu. Contoh konkretnya aksi kemarin. Aksi kami tidak ditunggangi partai politik manapun. Kami mendanai sendiri aksi itu, karena kami sadar, ada kebijakan salah yang harus diluruskan.
Manusia cenderung berpikir sesuai dengan kebiasaannya. Terbiasa menipu, semua orang dianggapnya penipu. Terbiasa ditunggangi partai politik, dianggapnya semua orang begitu. Jangan-jangan, ini adalah cerminan dari seorang Denny.
Ironisnya, Denny tidak bisa membedakan antara sikap pribadi dan organisasi. Apa yang dilakukan petinggi organisasi dan sikap organisasi tentu saja berbeda. Apakah jika petinggi organisasi terkait erat dengan partai tertentu, maka berarti semua anggota organisasi akan berkiblat ke partai itu? Tentu saja tidak. Buruh sudah cerdas. Tidak mungkin puluhan ribu orang dengan kesadarannya sendiri bersedia bergerak dengan tanpa dibayar, bahkan harus merogoh kocek dari kantong sendiri, jika pimpinannya berkhianat.
Gerakan buruh tidak hanya kali ini saja terjadi. Ratusan tahun yang lalu, buruh menuntut jam kerja 8 jam sehari. Dulu, jam kerja mencapai 10 jam, bahkan lebih. Sesuatu yang kemudian diperingati sebagai May Day. Jutaan orang menikmati hasilnya. Selain jam kerja, ada banyak hal lain hasil dari perjuangan buruh yang kita nikmati saat ini.
Buruh sudah terlebih dahulu merevolusi dirinya sendiri. Kini buruh tidak hanya berkutat di pabrik. Karena buruh sadar, ketika bicara kesejahteraan, tidak hanya didapat dari perusahaan. Karena itulah, buruh menuntut kepada negara. Sebagai contoh, buruh mengkritisi kebijaka tax amnesty. Buruh juga meminta agar tidak ada lagi penggusuran dan reklamasi. Buruh memang tidak lagi semata-mata bergantung pada perusahaan. Buruh juga menuntut tanggungjawab negara.
Jika Denny mempertanyakan, kenapa tidak membangun iuran untuk membentuk koperasi dan memberikan modal kepada buruh supaya mereka bisa berwiraswasta? Semakin kelihatan jika Denny nggak ngerti substansi. Denny tidak tahu apa bedanya Serikat Pekerja dan Koperasi.
Demo tidak sama dengan mengemis. Demo itu menuntut dengan kepala tegak. Ia bahkan dijamin konstitusi. Lebih dari itu, demo cerminan dari sikap jiwa yang merdeka. Jiwa yang tidak menghamba pada ketakutan. Tidak tunduk pada ketiak kekuasaan yang menindas.
“Jika organisasi tidak mewakili aspirasi kalian, rebut organisasi sebagai kewajiban bahwa kalian bertanggung jawab terhadap pembodohan massal yang selama ini menjadi budaya yang mengerikan…” Demikian Denny menulis, di bagian akhir.
Dalam redaksi lain, saya ingin mengatakan begini. Jika keputusan organisasi mewakili aspirasi kalian, lawan siapapun yang memfitnah dan merendahkan martabat buruh. Diam tertindas atau bangkit melawan! (*)