Menjawab Tantangan UMK 2025, Ini yang Dilakukan FSPMI Kota Medan

Medan, KPonline – Dalam dunia ketenagakerjaan, isu upah selalu menjadi topik penting yang hangat dibicarakan, baik dari besaran Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) hingga perbedaan sektor pekerjaan. Di Indonesia, regulasi terkait sistem pengupahan sering mengalami perubahan, mulai dari perhitungan Komponen Hidup Layak hingga berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, seperti yang digunakan saat ini.

Perbedaan pandangan antara buruh, pengusaha, pemerintah, dan serikat pekerja sering kali muncul terkait sistem pengupahan yang diterapkan. Tantangan tersebut dihadapi setiap tahun, terutama dalam menghitung kenaikan upah yang berlaku untuk tahun berikutnya.

Menjawab tantangan ini, Serikat Pekerja FSPMI Kota Medan telah menyusun strategi untuk memaksimalkan kenaikan UMK pada tahun 2025. Ketua FSPMI Kota Medan, Tony Rickson Silalahi, S.H., menjelaskan pentingnya pendekatan strategis dalam memperjuangkan kenaikan UMK. “Tidak hanya perhitungan angka, kita harus mempertimbangkan Undang-Undang dan dampaknya, serta memahami penyebab awal dari peraturan yang berlaku,” ujar Tony.

Tony juga menyoroti dampak kebijakan upah murah yang diatur dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan, yang mulai diberlakukan pada tahun 2020. Menurutnya, kebijakan ini menyebabkan kenaikan upah yang rendah setiap tahun, yang berdampak pada daya beli pekerja dan keluarganya. “Inflasi tinggi membuat harga barang semakin mahal, dan akhirnya memperburuk kondisi ekonomi, baik bagi buruh maupun pengusaha,” jelas Tony.

Dalam pandangannya, kenaikan UMK yang ideal untuk tahun 2025 adalah minimal 10%. “Hal ini penting untuk memulihkan daya beli pekerja dan keluarganya yang sudah terpuruk,” tambah Tony.

Strategi yang digunakan FSPMI dalam memperjuangkan kenaikan UMK tahun 2025 akan dilakukan melalui pendekatan politik. Tony menjelaskan bahwa upah adalah kebijakan politik dan harus menjadi prioritas dalam agenda politik mendatang. Dengan dilantiknya Presiden baru pada Oktober 2024 dan Pilkada serentak di November 2024, momen ini harus dimanfaatkan untuk mendorong perubahan kebijakan terkait upah.

“Gerakan buruh dan Partai Buruh harus melobby Presiden baru dan kabinetnya untuk merevisi kebijakan upah murah yang ada dalam Omnibus Law,” tegas Tony. Selain itu, serikat buruh juga akan melakukan aksi demonstrasi dan lobby politik kepada kandidat kepala daerah yang berpotensi menang, dengan tujuan menciptakan komitmen untuk memperjuangkan upah layak.

Dengan demikian, strategi ini diharapkan mampu membawa perubahan yang signifikan bagi pekerja di Indonesia, khususnya di Medan, dalam memperjuangkan hak mereka untuk mendapatkan upah yang layak dan adil.