Menolak Asuransi Third Party Liability Wajib bagi Kendaraan Bermotor

Menolak Asuransi Third Party Liability Wajib bagi Kendaraan Bermotor
Kahar S. Cahyono, sebagai Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pemimpin Redaksi Media Perdjoeangan. Foto: Media Perdjoeangan/Ocha

Sejak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan rencana mewajibkan seluruh kendaraan bermotor di Indonesia untuk mengikuti asuransi third party liability (TPL) mulai Januari 2025, berbagai reaksi muncul dari berbagai kalangan masyarakat. Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah buruh. Dari perspektif buruh, kebijakan ini cenderung merugikan.

Kebijakan ini, yang diatur dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), menambah beban ekonomi yang signifikan bagi buruh. Sebagai kelompok yang paling rentan secara ekonomi, buruh sudah menghadapi berbagai tantangan finansial dalam kehidupan sehari-hari. Upah yang diterima sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan. Menambahkan kewajiban untuk membayar asuransi TPL hanya akan memperburuk kondisi ekonomi mereka.

Buruh yang memiliki kendaraan bermotor untuk keperluan sehari-hari seperti pergi dan pulang kerja harus mengalokasikan sebagian dari pendapatan mereka untuk membayar premi asuransi. Hal ini akan mengurangi daya beli mereka dan mempersempit ruang gerak keuangan yang sudah sempit. Dalam kondisi seperti ini, buruh terpaksa mengorbankan kebutuhan lain yang lebih mendesak demi memenuhi kewajiban asuransi.

Hal lain yang tak boleh kita abaikan, pengguna kendaraan bermotor, khususnya sepeda motor, di Indonesia sebagian besar adalah buruh yang menggunakannya untuk kebutuhan kerja sehari-hari. Sepeda motor menjadi alat transportasi utama yang efisien dan ekonomis bagi buruh untuk mencapai tempat kerja mereka. Dalam banyak kasus, sepeda motor juga menjadi sumber penghasilan bagi mereka yang bekerja di sektor transportasi online seperti ojek online dan kurir.

Buruh yang bekerja sebagai pengemudi ojek online, misalnya, sangat bergantung pada kendaraan mereka untuk mencari nafkah. Kewajiban membayar asuransi TPL akan menjadi beban tambahan yang memberatkan, mengingat pendapatan mereka sering kali tidak tetap dan bergantung pada jumlah order yang diterima setiap hari. Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, menambahkan beban biaya asuransi ini bisa mempengaruhi kesejahteraan mereka secara signifikan.

Selain itu, pelaksanaan kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Seperti yang kita ketahui, tingkat pendapatan dan kemampuan finansial buruh sangat bervariasi. Terlebih lagi buruh di sektor informal pendapatannya tidak tetap dan sering kali tidak cukup untuk menutupi kebutuhan harian. Kebijakan ini tentu saja akan semakin memberatkan buruh di sektor informal lebih dari yang seharusnya.

Kebijakan mewajibkan asuransi third party liability (TPL) bagi seluruh kendaraan bermotor di Indonesia mulai Januari 2025 menimbulkan berbagai permasalahan dari perspektif buruh. Beban ekonomi tambahan, potensi ketidakadilan dalam pelaksanaan, serta tingginya penggunaan kendaraan bermotor oleh buruh untuk kebutuhan kerja sehari-hari adalah beberapa isu utama yang perlu diperhatikan.

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ada yang mencurigai bahwa kebijakan mewajibkan asuransi third party liability (TPL) bagi seluruh kendaraan bermotor di Indonesia adalah upaya terselubung pemerintah untuk mengumpulkan uang rakyat guna membayar hutang negara yang terus meningkat. Kebijakan ini tidak hanya membebani ekonomi rakyat, terutama buruh yang bergantung pada kendaraan bermotor untuk bekerja, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan akan stabilitas finansial negara.

Pemerintah seharusnya lebih transparan mengenai tujuan dari kebijakan ini dan memastikan bahwa tidak ada motif tersembunyi yang merugikan rakyat. Fakta bahwa rakyat sudah membayar pajak kendaraan bermotor setiap tahun seharusnya cukup untuk menutupi kebutuhan pendanaan terkait kendaraan. Namun, dengan adanya kewajiban asuransi TPL, beban finansial masyarakat semakin berat.

Kebijakan ini memunculkan pertanyaan apakah pemerintah sedang mencari cara mudah untuk mengumpulkan dana guna menutupi defisit anggaran dan membayar hutang negara. Hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan stabilitas negara secara keseluruhan. Oleh karena itu, rencana ini harus dibatalkan.

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Koran Perdjoeangan