Menulis Ulang Masa Depan Koperasi (Buruh) Indonesia

Menulis Ulang Masa Depan Koperasi (Buruh) Indonesia

Jakarta,KPonline – Menulis tentang koperasi, apalagi koperasi buruh selalu menarik meski dalam implementasinya di lapangan cenderung kurang berkembang baik. Bahkan dalam pertarungan wacana pun koperasi kalah sexy ketimbang politik dan agama.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa buruh yang bergaji Rp 5 juta dan Rp 6 juta rupiah sama-sama alami defisit setiap bulannya . Untuk menutupnya mereka mengandalkan beberapa akses lembaga keuangan seperti pinjam rekan kerja, koperasi karyawan, BPR dan bahkan rentenir.

Bacaan Lainnya

Ironisnya, kadang kartu ATM buruh yang bersangkutan digunakan sebagai jaminan untuk tutup lobang dan gali lobang. Fakta lain adalah bahwa sebagian besar buruh tak miliki simpanan atau tabungan.

Mereka beranggapan toh untuk mengangsur hutang saja kerepotan, apalagi harus menyisihkannya untuk ditabung. Sehingga, praktis, aset yang mereka punya hanya kendaraan, perlengkapan rumah atau alat elektronik dan bila ada, rumah.

Sayangnya, sebagian besar masih tinggal di kontrakan atau indekos. Defisit ekonomi buruh itu disebabkan tingkat upah yang cenderung tergerus oleh inflasi dan sebagiannya mungkin juga gaya hidup.

Artinya perjuangan buruh menuntut kenaikan upah akan terkoreksi kembali dengan naiknya berbagai biaya kebutuhan hidup. Sedangkan gaya hidup tak bisa dinafikan juga menyumbang angka defisit yang cukup besar.

Lantas bagaimana koperasi dapat berperan di dalamnya? Ironisnya lagi di negeri +62 ini koperasi jarang diperdebatkan dan dielaborasi secara detail dan tuntas. Koperasi yang adalah manifestasi riil dari Demokrasi Ekonomi tidak cukup punya bargaining position untuk diperbincangkan. Apalagi sampai diperdebatkan

Kondisi seperti ini tidak dapat dihindarkan sebab wacana tentang koperasi dibungkam secara sistematis. Benih-benih koperasi layu sebelum mekar. Pun tidak sedikit suara sumbang yang mencibir gerakan koperasi. Ini juga karena implementasi koperasi di Indonesia terlalu banyak direcoki oleh pemerintah.

Sejak zaman orde baru, koperasi selalu disuapi oleh pemerintah. Karenanya ketika pemerintah menghentikan aliran dananya, bertumbanganlah koperasi-koperasi itu, menyisakan papan nama yang juga perlahan makin lapuk.

Padahal di negara-negara lain, Koperasi justru berkembang dengan pesat.Bahkan di negara se-kapitalis Amerika Serikat saja, ada lebih dari 100 koperasinya termasuk dalam 300 koperasi terbesar di dunia menurut ICA (International Cooperatives Alliance).

Japanese Consumer Cooperative Union (JCCU) contohnya . JCCU dibentuk sebagai wadah bersama pengembangan koperasi di Jepang khususnya bidang pemasaran agrikultur produk petani. Kini, mereka bahkan sudah bekerja sama dengan UNICEF terkait pendidikan anak di Mozambiek dan negara lainnya di Afrika

Saat ini JCCU memiliki 586 koperasi konsumen sebagai anggota dengan 28 juta lebih penduduk Jepang menjadi anggota gerakan koperasi konsumen ini.

Kini, mereka memiliki 967 toko tersebar di seantero negeri, total omset koperasi konsumen di bawah JCCU ini mencapai 2,7 triliun yen ini setara dengan 270 triliun rupiah. Sebuah angka yang menakjubkan untuk ukuran koperasi di Indonesia.

JCCU telah menjelma menjadi perusahaan raksasa. Hampir seribu toko koperasi di Jepang ini juga didukung perwakilan perusahaan di negara lain.

Jika koperasi di Jepang begitu berkembang, bagaimana dengan kondisi koperasi di Indonesia?

Melihat kebijakan perkoperasian kita saat ini, sepertinya Pemerintah masih tetap menghendaki posisi yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Bukan menghargai otonomi dan memberikan lingkungan yang baik bagi tumbuh kembangnya koperasi. Koperasi malah disubordinasi dalam manajemen dan permodalannya.

Setidaknya hal ini tampak dalam Undang-Undang Perkoperasian yang baru (telah dibatalkan seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi) yang mana memberi peran pemerintah lebih dominan. Selain itu bisnis koperasi bukan diunggulkan ‘prinsipnya’ tapi justru ‘disubordinasi’ ke perusahaan swasta yang kapitalistik.

Kita tidak hanya telah gagal membangun koperasi, tapi kita benar-benar tidak diberikan waktu untuk belajar dari kesalahan masa lalu. Ide koperasi bahkan terang-terangan ‘dihabisi sejak dalam pikiran’ kita.

Indikasinya adalah koperasi tidak lagi dibahas dalam kuliah-kuliah di Fakultas Ekonomi. Kalau pun ada, paling banter hanya sebatas mata kuliah pilihan.

Pos terkait