Laporan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) yang mencatat adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 32.064 buruh sepanjang Januari hingga Juni 2024 mengundang reaksi dari berbagai kalangan. Sebagai organisasi yang aktif memperjuangkan hak-hak buruh, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berpendapat bahwa jumlah PHK yang sesungguhnya terjadi jauh lebih besar dari data yang dilaporkan Kemenaker. Data tersebut hanya mencakup PHK yang dilaporkan secara resmi ke dinas tenaga kerja, sementara di lapangan banyak kasus PHK yang tidak tercatat, termasuk buruh kontrak dan outsourcing yang tidak diperpanjang kontraknya.
PHK yang tidak tercatat secara resmi, seperti yang dialami oleh buruh kontrak dan outsourcing, sebenarnya juga merupakan bagian dari gelombang PHK. Meski tidak ada data pasti, KSPI memperkirakan jumlah total PHK mencapai ratusan ribu orang. Situasi ini menunjukkan bahwa badai PHK masih menjadi ancaman serius bagi buruh di Indonesia. Kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, ditambah dengan kebijakan yang kurang mendukung stabilitas kerja, memperparah keadaan.
Kaum buruh, termasuk di dalamnya KSPI, sudah melakukan berbagai aksi untuk menolak PHK. Aksi-aksi ini bukan hanya simbolis, tetapi merupakan bentuk perjuangan nyata agar pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk mencegah terjadinya PHK lebih lanjut. Hak untuk bekerja dan mendapatkan penghidupan yang layak adalah bagian dari konstitusi yang harus dijamin oleh negara. Oleh karena itu, buruh merasa perlu terus menyuarakan penolakan terhadap PHK dan menuntut perlindungan yang lebih baik.
Salah satu faktor yang memudahkan terjadinya PHK adalah keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Undang-undang ini membuat proses PHK menjadi lebih mudah dan pesangon yang diberikan menjadi lebih rendah, sehingga perusahaan tidak ragu untuk melakukan PHK. Dengan adanya undang-undang ini, perusahaan tidak perlu membayar pesangon mahal ketika akan melakukan PHK, sehingga banyak perusahaan yang lebih memilih jalan pintas ini untuk mengurangi biaya operasional.
Karena itulah, buru hdengan tegas menyerukan agar UU Cipta Kerja dicabut. Pemerintah harus lebih proaktif dalam melindungi hak-hak buruh, termasuk dengan mengeluarkan kebijakan yang memperketat aturan PHK dan memastikan adanya kompensasi yang layak bagi buruh yang terkena PHK. Pemerintah juga harus mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih stabil dan memastikan adanya perlindungan sosial yang memadai bagi buruh.
Selain memperketat aturan PHK, pemerintah juga harus mendorong kebijakan yang dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Investasi dalam sektor-sektor yang padat karya, seperti industri manufaktur dan pertanian, dapat menjadi salah satu solusi. Pemerintah juga perlu memberikan insentif bagi perusahaan yang menciptakan lapangan kerja baru dan menjaga kestabilan pekerjaannya.
Situasi PHK yang terjadi saat ini merupakan tantangan besar bagi buruh di Indonesia. Laporan Kemenaker yang mencatat 32.064 kasus PHK sepanjang Januari hingga Juni 2024 hanyalah puncak gunung es dari masalah yang sebenarnya. Gelombang PHK ini menegaskan pentingnya perlindungan yang lebih baik bagi buruh.