(14 Tahun Munir Said Thalib)
Seperti malam yang suram
Namamu membungkam kesunyian
menyeruak pekat
Merobek gulita
Riuh bising suara kecewa
Ketika kabar menghantam telingga
Kau yang berani
Kau Nurani yang tidak di kehendaki
Mawar merah yang lemah
anggrek putih yang kalah
Di ujung darah yang kau jalarkan
Suaramu di tahan
Nyalimu di gorok
urat nadimu di tikam
di berondong akal bijik mereka yang merasa tabiat dan dosanya terancam
Pita suaramu akan di kebumikan
Bersama tawa yang telah kau bangun dengan jiwa luhur kau di berangkatkan
Nadi yang pergi
Darah yang berhenti
Bersama suara kecewa siapapun yang mendengar kabar duka
Deras kucuran air mata di pipi
Membasahi teras bola mata dan sanubari
menghujam batin siapapun mereka yang mendengar nama seorang laki laki pemberani telah pergi
Kau yang yang santun
Kau yang tersenyum
Kau sang rahim perlawanan
Warisan pikiranmu telah mengumpal di dada dan terbang keudara
Mengutuk anak negeri untuk bercerita
Mengungkap fakta yang semestinya tidak di kehendaki kabarnya
Sebuah ruh yang mengusir nyawa
Dan membunuh mati pelita
Kami telah mewarisi itu semua
Dan menerima itu sebagai saksi
Perjuanganmu tak akan padam
Meski kau sudah lama bersemayam
Bersama masa yang sudah kau siapakan
Ruh dan nyawa kemanusiaan itu semakin menjalar
Menjangkit, Bertebaran dan mengintai di ujung ujung udara
merangsak masuk ke dalam buih nadi yang merasa nyawanya berharga
Munir,
Engkau adalah Bunga harum yang dipisahkan dari dahannya
Berlahan semerbak wanginya
Menjelma sebagai pelita
Darah dan namamu adalah cahaya yang kami kutuk menjadi lentera
Menerangi kami untuk memantik sinar daripada mengutuk kegelapan
Nukhan Dzu
Bandungan, 7 September 2018