Surabaya, KPonline – Aksi unjuk rasa ataupun demonstrasi yang dilakukan oleh kaum buruh tidaklah terhitung jumlahnya. Namun tudingan miring dan komentar negatif masih sering didapatkan kaum buruh dalam organisasi buruh. Embel-embel pengganggu, pemberontak, sayap kiri bahkan makar tidak jarang disematkan pada perjuangan kaum buruh. Padahal tujuan dan penyelenggaraan kegiatan sudah jelas, sesuai prosedur dan aturan yang berlaku. Munculnya ijin dari pihak berwenang adalah tanda bahwa kegiatan tersebut legal dan dijamin Undang-Undang.
Gerakan sosial dari organisasi buruh sebagai motor pergerakan sosial adalah bentuk kontrol sosial sekaligus suara kegelisahan rakyat, yang misi utamanya menginginkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Tanpa dorongan gerakan kaum buruh indonesia, tidak akan ada jaminan sosial nasional, upah layak bahkan penegakan hukum. Sesuatu yang layak dipahami dan pantas dihargai, karena dinikmati seluruh rakyat bukan cuma kaum buruh saja. Pesan moral dan sosial yang ternyata tidak tersampaikan ke khalayak, bisa jadi karena dibentuknya opini negatif dan penyembunyian fakta yang dilakukan oleh media massa maupun penguasa yang tiran.
Seperti halnya aksi demonstrasi yang dilakukan FSPMI Jawa Timur pada hari kemarin (02/12/2016), dimana ribuan anggota FSPMI se- Jawa Timur turun jalan menyuarakan aspirasinya. Aksi yang juga dilaksanakan serentak di 15 propinsi ini, berbarengan dengan aksi bela islam jilid III yang di adakan disilang Monas Jakarta. Kesamaan waktu pelaksanaan menjadi kesempatan berbagai pihak, yang pada dasarnya tidak memahami atau memang tidak menyukai pergerakan kaum buruh. Mereka dengan seenaknya menjelekkan dan melabeli kaum buruh dengan cap pendompleng, pembangkang, mempolitisasi gerakan, pendukung fanatik dan lain sebagainya .
Seperti halnya dengan aksi di berbagai daerah lainnya, kaum buruh Jawa Timur pada intinya menuntut 2 hal. Yang pertama dicabutnya PP 78/2015 yang jelas-jelas inskonstitusional dan menistakan harkat martabat kaum buruh. Melegalkan upah murah adalah pembatasan hak rakyat untuk sejahtera. Dan yang kedua adalah tentang penegakan hukum yang adil dan berkemanusiaan. Di mata hukum semua haruslah sejajar, hukum bukanlah tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Bukankah kedua hal tersebut masih bertujuan sosial?
Di Jawa Timur sendiri aksi berjalan tertib, damai dan santun namun begitu tak luput juga dari cercaan dan komentar negatif, terutama di media sosial. Ketertiban aksi bisa diperhatikan disepanjang jalan yang dilalui maupun di titik lokasi kegiatan. Massa aksi kaum buruh juga tidak melupakan misi sosial yang diembannya. Jiwa sosial berupa kepedulian dan kebersamaan ditunjukkan dalam melaksanakan kegiatan ini.
Seperti saat melintas di jalan A. Yani Surabaya, ketika salah seorang petugas kepolisian yang bertugas mengamankan aksi, ditabrak pengendara umum hingga jatuh terpental. Dengan sigap Garda Metal FSPMI yang setia mengawal massa aksi, membantu mengatur lalu lintas dan menggotong petugas yang cedera ke tepi jalan. Begitu juga di lokasi aksi demonstrasi, rekan-rekan Jamkeswatch Jawa Timur melakukan penggalangan dana ditengah-tengah massa aksi. Penggalangan dana dilakukan untuk membantu pasien penderita hidrosefalus bernama Joko Waras, yang tengah diadvokasi oleh Tim Jamkeswatch Gresik dibawah pimpinan Muzahiddun. Bantuan advokasi dilakukan agar pasien mendapat perawatan semaksimal mungkin, kesehatan adalah hak rakyat. Penggalangan dana yang berhasil dikumpulkan sebesar 3,5 juta diberikan kepada keluarga pasien untuk meringankan beban pembiayaan.
Gerakan sosial melalui organisasi sosial untuk memperjuangkan misi sosial, tidak hanya membutuhkan kesadaran, kerelaan, keiklasan namun juga kepedulian dan jiwa sosial. Hanya mereka yang berani berjuang dan bertekad baja yang mampu mengembannya. Hujatan, cacian bahkan penjegalan adalah lumrah dalam perjalanan gerakan sosial, karena ujian sesungguhnya adalah konsistensi dan militansi gerakan, sejalan garis perjuangan misi sosialnya. Banyak pohon yang tumbang, bukanlah karena angin yang bertiup kencang namun karena akar dan batang yang tidak mampu menopang.
Penulis: Ipang S/Hermanto