Bogor, KPonline, – “Kalo ada diantara kawan-kawan di grup ini yang punya hape bekas, atau udah nggak dipake, tapi kondisinya masih bagus. Boleh di sedekahin ke gua. Biar komunikasi kita tetep lancar dan gua mudah-mudahan masih bisa berkontribusi buat organisasi,” tulis Prapto dengan sangat singkat, padat, dan sepertinya penuh dengan penderitaan ketika menuliskannya.
Bagaimana tidak, sudah 2 tahun dirinya mendapatkan predikat pengangguran kelas berat. Bahkan mungkin, Gerombolan Si Berat dalam buku komik kartun Donal Bebek pun sepertinya masih “kalah berat” dengan beban penderitaan mental yang selama ini mendera dirinya. Yup, PHK. Merupakan kata sakral dan amit-amit tujuh turunan jika ada buruh atau pekerja yang mengalaminya. Laksana tujuh lapisan langit runtuh seketika, ketika didalam surat PHK tertera nama kita. Dan rasanya gila banget sih, dikala setiap bulannya ada pemasukan yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga, Tiba-tiba dan sekonyong-konyong hal tersebut sirna. Dan kemudian, entah kemana lagi harus mencari pendapatan, agar perut setiap anggota keluarga masih bisa kita isi dengan sesuap nasi.
Prapto memang tipe pekerja yang ulet, rajin dan bekerja keras setiap harinya. Tapi sayangnya, Prapto lupa akan satu hal. Bahwasanya, setiap pekerja atau setiap buruh, siapa pun itu, apapun pekerjaannya, pada akhirnya akan ter-PHK juga. Mencapai batas usia, kecelakaan kerja, meninggal dunia, dan faktor-faktor lain sebagainya, yang mengakibatkan seorang pekerja tersebut harus ter-PHK. Nah hal inilah yang sepertinya tidak dipersiapkan sejak awal dirinya mendapatkan predikat sebagai seorang pekerja atau seorang buruh. Mempersiapkan diri sejak awal, sepertinya merupakan sebuah langkah awal yang baik dalam membangun kesadaran, bahwasanya setiap pekerja atau buruh, pada akhirnya pasti akan ter-PHK juga.
Dengan menambah keterampilan kerja yang sudah ada, atau memperdalam keilmuan tentang pekerjaan yang saat ini digeluti pun bisa menjadi sebuah salah satu terobosan dalam mengantisipasi pemutusan hubungan kerja. Kewirausahaan malah seringkali menjadi jalur alternatif yang banyak ditempuh oleh mantan-mantan pekerja atau buruh yang telah mengalami pemutusan hubungan kerja. Dan seharusnya, kedua hal yang diatas, setidaknya bisa dijadikan jawaban oleh Prapto, ketika pemutusan hubungan kerja tersebut terjadi pada dirinya.
“Udah Bang. Semua udah gua lakuin. Jangankan nyoba kerja lagi. Dagang mie Jebew, mie ayam bakso, sampe es teh, udah pernah gua jalanin. Kalo kerja lagi, gua mentok di umur. Kagak ada pabrik atau perusahaan yang mao nerima karyawan umur 40-an, ” dengan nada berirama meninggi dan dengan intonasi yang penuh emosi. Kesal, marah, malu, bingung, dan entah apalagi bentuk dan nama sifat-sifat emosional Prapto semenjak 2 tahun kebelakang. Sering termenung karena bingung, sering menyendiri karena takut meluapnya emosi dalam diri.
Dalam satu sudut pandang, sepertinya Prapto salah. Tapi dalam sudut pandang yang lain, Prapto bisa juga dianggap korban dalam suatu keadaan yang memaksa. Force Majeur dalam Hubungan Industrial memang diperkenankan dengan memperhatikan banyak hal yang patut dipertimbangkan. Efesiensi pengeluaran perusahaan, relokasi dan segudang alasan para pelaku kapitalistik dalam mengeksploitasi kalangan kaum pekerja sudah semestinya dimusyawarahkan ulang kembali. Dan perlu dikaji dengan sangat mendalm, masalah sebenarnya yang menjadi problema dan masalah-masalah dalam hal Hubungan Industrial.
“Sekiranya cuma jadi beban organisasi. Baiknya gua ada dipinggir aja. Ngeliatin dan ngedoain kawan-kawan yang masih istiqomah dalam kebaikan. Gua ngomong kayak gini, karena keadaan, itu aja,” dan berminggu-minggu pun berlalu. Bulan demi bulan silih berganti, Prapto diam seribu bahasa tanpa ada kontribusi terhadap organisasi, lagi. (RDW6666)