Seruan terbuka sudah disampaikan. Bahwa pada tanggal 8 Juli 2024, ribuan buruh akan kembali turun ke jalan untuk melakukan aksi unjuk rasa. Aksi ini dilakukan bersamaan dengan sidang lanjutan Judicial Review Omnibus Law UU Cipta Kerja, yang agendanya adalah mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari pemohon. Adapun salah satu saksi yang akan memberikan keterangan adalah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal.
Aksi akan digelar serentak di berbagai kota di seluruh Indonesia. Di Jakarta, aksi akan dipusatkan di Istana dan depan gedung Mahkamah Konstitusi. Sedangkan di kota-kota lain, dipusatkan di kantor pemerintahan daerah.
Sebagaimana kita tahu, UU Cipta Kerja yang disahkan beberapa tahun lalu, telah menuai banyak kontroversi dan penolakan dari berbagai kalangan, terutama dari kaum buruh. Melalui aksi ini, kita berharap Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan dengan serius argumen yang disampaikan oleh ahli dan saksi yang dihadirkan oleh pemohon, serta melihat dampak nyata dari UU Cipta Kerja terhadap pekerja di Indonesia. Sehingga pada akhirnya nanti, MK akan membatalkan seluruh pasal yang dinilai bertentangan dengan konstitusi.
Setidaknya ada sembilan dampak utama yang diuraikan oleh para penentang UU ini.
Pertama, Konsep Upah Minimum yang Kembali pada Upah Murah
UU Cipta Kerja dianggap mengembalikan konsep upah minimum menjadi upah murah. Banyak buruh yang merasa bahwa kebijakan ini merugikan mereka karena upah yang mereka terima tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kebijakan ini, standar hidup buruh menjadi semakin rendah dan kesejahteraan mereka terancam.
Kedua, Outsourcing Tanpa Batasan Jenis Pekerjaan
Dalam UU Cipta Kerja, tidak ada batasan jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing, dan pembatasannya hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini berarti negara memposisikan diri sebagai agen outsourcing, yang dapat mempekerjakan buruh tanpa batas waktu tertentu. Akibatnya, buruh tidak memiliki kepastian kerja dan selalu berada dalam kondisi yang tidak menentu.
Ketiga, Kontrak yang Berulang-ulang
Masalah kontrak yang berulang-ulang juga menjadi perhatian. UU Cipta Kerja memungkinkan kontrak kerja berulang-ulang bahkan bisa mencapai 100 kali atau seumur hidup, meskipun ada pembatasan lima tahun. Ini berarti buruh selalu berada dalam status kontrak tanpa ada jaminan untuk menjadi pekerja tetap, yang mengancam stabilitas kerja mereka.
Keempat, Pesangon yang Murah
Dalam aturan sebelumnya, seorang buruh yang di-PHK bisa mendapatkan dua kali pesangon. Namun, dengan UU Cipta Kerja, pesangon yang diberikan hanya setengah dari yang sebelumnya. Hal ini tentu saja sangat merugikan buruh yang kehilangan pekerjaan dan membutuhkan waktu untuk mencari pekerjaan baru.
Kelima, PHK yang Dipermudah
UU Cipta Kerja juga mempermudah proses PHK, yang dikenal dengan konsep “easy hiring easy firing”. Partai Buruh dan organisasi serikat buruh menolak keras kebijakan ini karena membuat buruh tidak memiliki kepastian kerja. Mudah memecat dan mudah merekrut orang baru membuat buruh selalu berada dalam posisi yang rentan.
Keenam, Pengaturan Jam Kerja yang Fleksibel
Pengaturan jam kerja yang fleksibel juga menjadi masalah bagi buruh. Dengan jam kerja yang tidak menentu, buruh kesulitan untuk mengatur waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Hal ini dapat berdampak negatif pada kesehatan dan kesejahteraan buruh.
Ketujuh, Pengaturan Cuti
Pengaturan cuti, khususnya bagi buruh perempuan yang akan mengambil cuti haid atau cuti melahirkan, juga menjadi isu penting. Tidak adanya kepastian upah selama cuti membuat buruh perempuan semakin rentan dan terdiskriminasi dalam lingkungan kerja. Dalam beleid ini, cuti panjang juga terancam tidak bisa didapatkan.
Kedelapan, Tenaga Kerja Asing
Tenaga kerja asing boleh bekerja dulu baru diurus administrasinya sambil jalan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan meningkatnya jumlah tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia tanpa adanya pengawasan yang ketat.
Kesembilan, Hilangnya Sanksi Pidana
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, terdapat beberapa sanksi pidana untuk pelanggaran tertentu. Namun, dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, sanksi-sanksi pidana ini dihapuskan. Hal ini dianggap memberikan kelonggaran bagi pengusaha untuk melanggar hak-hak buruh tanpa adanya konsekuensi hukum yang berat.
Aksi unjuk rasa ini juga merupakan bentuk solidaritas dan perlawanan terhadap kebijakan yang tidak adil. Ini menjadi momentum bagi kaum buruh untuk bersatu dalam memperjuangkan hak dan kepentingannya.
KSPI, sebagai salah satu organisasi yang mengorganisir aksi ini, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turut serta dalam aksi ini dan mendukung perjuangan kaum buruh demi keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik. Dengan aksi ini, kita berharap suara pekerja akan semakin kuat terdengar dan mampu mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh Mahkamah Konstitusi.
Said Iqbal sebagai saksi dalam sidang lanjutan ini akan menjadi suara penting bagi buruh. Kesaksian dari seorang pemimpin serikat buruh yang juga memimpin partai politik buruh ini diharapkan mampu memberikan gambaran jelas mengenai dampak buruk dari UU Cipta Kerja terhadap kehidupan buruh sehari-hari.
Pada akhirnya, aksi ini bukan hanya tentang menolak UU Cipta Kerja, tetapi juga tentang memperjuangkan hak-hak buruh dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat di Indonesia. Dengan bersatu dan menunjukkan solidaritas, kita berharap dapat menciptakan perubahan positif yang akan memberikan manfaat jangka panjang bagi mereka dan generasi pekerja mendatang.
Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Koran Perdjoeangan