Batam, KPonline – Pulang kampung alias mudik menjadi tradisi yang tak bisa dilepaskan dari masyarakat Indonesia. Bertemu dengan keluarga menjadi momen yang paling dinanti usai seseorang menjadi perantau di luar tanah kelahirannya.
Seperti mudikku kali ini, selain melepas rindu dengan sanak famili, juga ingin berziarah ke makam ayah. Sudah terlalu lama aku tidak mencium wangi kamboja di atas pusara ayah.
Ibu, tidak ada yang berubah pada ibu setelah ayah tiada. Hanya raut wajahnya yang kini nampak berubah dan menua, tidak nampak polesan lipstick atau taburan bedak di pipinya. Wanita yang selalu membuat hatiku teriris-iris melihat ketegarannya menjalani hidup ini. Ia sangat rajin dan tak pernah mengeluh sedikitpun.
Ia terbiasa bangun pagi-pagi, menyiapkan dagangan ke pasar, mencuci pakaian, menyiapkan sarapan, dan aku tidak ingat kapan ibu pernah tidak begitu, termasuk hari Minggu, hari libur, atau saat lebaran seperti sekarang. Ibu pula yang menyapu, menanak nasi, memasak, menjahit, memberi makan kucing, dan menyiram tanaman.
Dulu Ibulah yang melarangku mengajak anak gadis orang untuk nonton bioskop sebelum yakin hendak menikahinya. Ibu mengajari agar membawa jeruk bila mengunjungi orang sakit. Dari ibu aku tahu riwayat sanak saudara, silsilah keluarga ayah hingga ingatannya tak cukup kuat untuk menelusuri nenek moyang kami.
Mudikku kali ini juga ingin tahu bagaimana kabarnya Dia. Dulu, melihat atap rumahnya saja aku sudah senang bukan alang kepalang. Sampai mudik ke berapa pun, Dia masih terlihat cantik dan bersih. Ia kini telah menikah dengan PNS yang kaya raya. Aku merasa jengkel dan menyesal, padahal punya banyak peluang menyatakan cinta kepada Dia. Aku malu menjadi pengecut. Setiap kali mudik aku mencari tahu kabar Dia. Keluarganya tampak bahagia ku lihat dari postingan di media sosial miliknya.
Aku hanya melihat saja tanpa berani komentar sedikitpun. Sepertinya kini ia tengah menikmati hidupnya yang berhasil. Cinta memang kadang-kadang tidak mudah. Perlu keberanian untuk membawa cinta keluar dari sekolah. Namun, banyak cinta kehilangan sihir dan sarinya setelah meninggalkan halaman sekolah.
Sekolah merupakan monumen masa lampau. Aku pasti mampir ke sana. Halaman rumputnya terlihat sudah mengering dan menciut skalanya. Sebagian lahan telah dibangun kelas-kelas baru di atasnya. Pohon beringin di tengah pekarangan sekolah sudah ditebang dan bekasnya dipasangi paving block. Lonceng yang dipukul sudah diganti dengan bel listrik yang diatur otomatis berbunyi pada waktu tertentu. Pak Mahfud sudah dipecat sebab tidak dibutuhkan lagi orang untuk memukul lonceng dan memotong rumput. Bu Mimit, guru Bahasa Indonesia, sudah wafat akibat TBC. Ibu Mar yang mengajar IPA telah pensiun dan kini sakit-sakitan. Kehidupan guru, entah mengapa, selalu tragis. Setiap kali mudik dan mampir ke sekolah, aku tidak dapat menahan air mata yang tahu-tahu sudah berlinang. Toko buku “Ringan” masih buka. Masih menjual buku mewarnai, komik terbitan lokal, beberapa jilid buku memasak dan menjahit. Tak ada buku pelajaran dijual di sini sebab sudah diatur penyalurannya melalui sekolah yang bekerja sama dengan penerbit buku.
Pasar Kliwon masih bertahan. Kotornya dan baunya juga. Becak-becak yang menutupi sebagian jalur jalan di dalam pasar pun ikut bertahan. Tukang-tukang becaknya mengingatkan aku kepada waktu yang berlalu bergegas. Makdhe Tar masih jualan tempe di sana tergencet di sudut pasar yang semakin ramai dengan kios-kios bersama obrok dan sepeda pancalnya
Kantor pos, PLN, PDAM, dan Telkom masih melayani dari gedung yang sama, bahkan pegawainya masih yang dulu-dulu juga. Kiranya suasananya tidak sesibuk dulu. Orang sekarang bisa memilih membayar rekening listrik dan tagihan PAM atau telepon melalui ATM dan tidak perlu mengunjungi fasilitas pelayanan di gedung-gedung tua yang menyeramkan. Ke kantor pos? Untuk apa? Bukankah sejak sepuluh tahun terakhir ini aku tidak pernah berkirim-kirim surat lagi? Waktu seperti berhenti di sini. Mudik seperti kembali ke masa lampau.