Jakarta,KPonline – Sudah lebih dari satu semester, pandemi covid-19 melanda Tanah Air. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk memberikan jaminan hidup bagi masyarakat yang dirasa terdampak.
Namun, tidak semua bisa merasakan apa yang diberikan pemerintah. Para tenaga honorer, masih merasa luput dari perhatian. Padahal, keberadaan mereka sejatinya telah banyak memberikan kontribusi bagi bangsa.
Tak ada hak istimewa yang didapat mereka, selama pandemi, selain penundaan pembayaran upah mereka. Padahal, gaji yang diterima per bulannya, juga tidak seberapa.
Adalah wajar pada kondisi normal, para honorer memilih untuk berjibaku lagi untuk mencari pundi, selepas mengabdi. Namun nahas, ceruk mendapat tambahan rupiah pun saat ini sulit.
Setidaknya, kenyataan itu yang dialami langsung oleh Titi Purwaningsih, seorang guru honorer di SD Negeri 1 Wanacipta, Kecamatan Sigaluh, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Nafkah sebesar Rp150 ribu per bulan, belum juga diterima. Tiga bulan lamanya dia mengalami ini.
Kolega Titi sesama honorer menjadi pihak yang paling terdampak. Tak hanya penundaan dan pemotongan upah, banyak juga yang harus kehilangan pekerjaannya.
Meski pemerintah berjanji untuk memberikan Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi tenaga honorer, menurut Titi yang juga Ketua Umum Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I), hal itu sebatas harapan. Karena syarat utamanya adalah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Kenyataannya, jumlah tenaga honorer yang ikut BPJS Ketenagakerjaan sangat sedikit. Termasuk juga dirinya. Oleh karena itu, tak ada harapan lebih bagi tenaga honorer untuk mendapatkan bantuan pemerintah.
“Sedikit gambaran, dalam lingkup Jawa Tengah saja mungkin hanya sekitar 10 persen tenaga honorer yang punya BPJS, sisanya bagaimana?” cetusnya.
Titi bosan dengan janji-janji pemerintah. Menurutnya, jika pemerintah serius akan memperhatikan nasib tenaga honorer, yang harus dilakukan adalah melakukan pendataan melalui instansi terkait yang mempekerjakan jasa tenaga honorer. Jika hal itu dilakukan, terasa akan lebih adil.
Dia menyarankan, pemerintah perlu membuat regulasi yang pasti soal subsidi gaji ini. Contohnya peraturan pemerintah (pp) atau peraturan presiden (perpres), atau bisa juga peraturan menteri (permen) dari kementerian terkait.
Namun, baginya dan juga para tenaga honorer lain, bantuan untuk pandemi bukanlah yang utama. Jauh lebih itu. Yang dinanti adalah komitmen pemerintah soal nasib dan status mereka, khususnya yang telah lulus tes seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) tahun 2019 lalu.
Saat ini, status mereka terkatung-katung. Karena pemerintah sudah menghapus tenaga honorer menjadi PPPK. Namun, Surat Keputusan (SK) lulus juga belum terbit sampai saat ini. Padahal, tenaga honorer yang sudah lulus terdaftar di BKN dan memiliki hak payung hukum.
Menurut data FKH2I, masih ada 51 ribu tenaga honorer yang belum mendapat SK pengangkatan PPPK, dan 380 ribu tenaga honorer K2 yang belum diangkat menjadi PNS/PPPK.
Ini jugalah yang membuat Titi pesimistis terhadap wacana gaji subsidi untuk tenaga honorer.
Suara sama juga diutarakan Icha, seorang tenaga kesehatan honorer di salah satu puskesmas di Brebes, Jawa Tengah. Dia tidak ingin hanya sekadar bantuan dari pemerintah.
Perawat yang sudah mengabdi sejak tahun 2003 itu ingin kejelasan statusnya. Terlebih, dia telah lulus tes seleksi PPPK tahun 2019 lalu.
Dia ingin, pengorbanannya menjadi garda terdepan selama pandemi ini dihargai. Sebagai tenaga kesehatan, tentu tidak pernah mengenal work from home (WFH). Kesehariannya hanya disibukkan mengurusi pasien di puskesmas, meski penularan covid-19 menghantui dirinya.
“Kami ingin pengorbanan ini dihargai. Kami ingin bukan sekadar bantuan, tapi status yang jelas. Kami di tenaga medis risiko besar sekali selama covid-19. Ini menyakitkan,” ucap Icha berbincang dengan Validnews, Selasa (22/9).
Dia masih sangat berharap agar janji pemerintah untuk mengangkat menjadi PPPK benar-benar terealisasi. Jika ditepati, SK pengangkatan akan diterimanya pada November mendatang. Itu akan menjadi kado terindah atas perjuangannya sebagai perawat selama masa pandemi.
Beragam persoalan ini diamini Ketua Umum Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI), Lukman Said. Dia mengungkapkan, tidak bisa ditampik bahwa keterpurukan saat pandemi sangat dirasakan jutaan tenaga honorer. Bahkan, beberapa daerah dengan terpaksa tidak mengupah sama sekali para tenaga honorernya.
Bantuan pun minim, lantaran tergantung Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Untuk daerah yang kaya, tenaga honorer diberikan bantuan kisaran Rp1 juta sampai Rp2juta per bulan. Namun untuk daerah yang ‘miskin’, dibayarkan saja sudah syukur alhamdulillah.
Lukman menerangkan, problem ini terjadi karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, tentang Aparatur Sipil Negara masih menjadikan tanggung jawab tenaga honorer di bawah pemerintah daerah. Padahal, sebagian pemerintah daerah (Pemda) hanya punya dana sedikit.
Parahnya, selama pandemi covid-19 ini, dana yang sedikit itu harus dipangkas, karena refocusing anggaran untuk penanganan covid-19. Jatah bantuan bagi tenaga honorer kian tergerus.
Ia menambahkan, blunder lainnya yang membuat tenaga honorer makin terpuruk adalah penundaan sebagian penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) bagi daerah yang belum melakukan realokasi dan refocusing APBD 2020 untuk penanganan pandemi serta dampak covid-19.
Imbasnya, dana daerah mengendap. Pemasukan daerah tidak ada namun pengeluaran untuk penanganan covid-19 tinggi. Akhirnya tidak ada pertumbuhan dana daerah.
Koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah soal tenaga honorer, terkesan tidak sinkron. Pusat menilai bahwa permasalahan honorer terus terjadi lantaran daerah terus melakukan rekrut tenaga honorer.
Deputi Sumber Daya Manusia Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), Teguh Widjinarko mengatakan bahwa sejak tahun 2013, pemerintah pusat telah menghilangkan klausul tenaga honorer.
Namun, penambahan tenaga honorer terus dilakukan oleh pemerintah daerah. “Jadinya sekarang menumpuk yang namanya tenaga honorer itu, banyak sekali. Nah ini sebenarnya jadi permasalahan. Artinya dari pusat sudah menghentikan sementara daerah terus merekrut,” tutur Teguh.
Terkait tenaga honorer K2 yang telah lulus seleksi tahun 2019, dijelaskan bahwa penerbitan surat keputusan (SK) masih terganjal urusan pajak. Di dalam aturan PPPK, pajak pegawai tidak ditanggung pemerintah. Maka diatur penambahan pajak pada gaji dan tunjangan PPPK, agar nantinya jumlah gaji dan tunjangan PPPK tetap sama dengan PNS.
Untuk itu, pihaknya masih tetap menunggu Perpres dan PP soal PPPK dan pajak penghasilan. Prosesnya juga masih dalam internal pemerintah. Setelah selesai, pihaknya baru bisa mengajukan ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk menerbitkan SK pengangkatan PPPK bagi 51 ribu tenaga honorer yang sudah lulus seleksi 2019 lalu.
Sementara soal nasib 380 ribu tenaga honorer yang tidak lulus atau belum mendaftar PPPK, ia merasa problem ini sudah selesai. Karena sejak 2013 lalu status tenaga honorer sudah tidak ada. Yang ada adalah, tenaga non-ASN yang dipekerjakan di Badan Layanan Umum (BLU) pemerintah daerah.
Menyoal bantuan, Teguh pun tak ingin pemerintah disalahkan secara mentah-mentah. Menurutnya, pemerintah tidak pernah “melupakan” tenaga honorer selama masa pandemi.
Diakui, tidak ada bantuan spesifik yang diberikan pemerintah kepada para tenaga honorer. Namun, bantuan dapat diterima melalui program subsidi upah, bagi mereka yang memenuhi persyaratan. (Gisesya Ranggawari, Herry Supriyatna / vld )