Jakarta, KPonline – Hari Buruh Migran Internasional yang jatuh pada tanggal 18 Desember, seharusnya menjadi pengingat untuk segera memberikan perlindungan hak-hak Buruh Migran. Penetapan tanggal ini mengacu pada deklarasi ‘Konvensi Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya (melalui Resolusi No. 45/158) pada tanggal 18 Desember 1990 di New York Amerika Serikat.
Konvensi ini diinisiasi negara-negara pengirim buruh migran untuk merumuskan standar perlindungan khusus bagi buruh migran secara global. Ada proses panjang dalam memperjuangkannya mulai dari penelitian, kajian, dialog dan perdebatan mendalam antara dua kepentingan negara asal buruh migran dengan negara tujuan.
Konvensi ini selanjutnya dikenal dengan Konvensi Buruh Migran. Sebagai sebuah aturan pokok, mulai diberlakukan di dunia internasional pada tanggal 1 Juli 2003. Indonesia sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa Bangsa menandatangani konvensi ini pada tanggal 22 September 2004.
Kompas.com Namun, tekad pemerintah dan DPR untuk melindungi buruh migran belum juga terlihat. Lemahnya political will negara dalam perlindungan buruh migran terlihat dengan lambatnya pembahasan revisi Undang-undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Tak lama setelah disahkan pada 2004 lalu, UU ini kembali diusulkan untuk direvisi karena berbagai masalah yang ada di dalamnya. Namun, revisi tak kunjung selesai hingga saat ini.
“Lebih dari 12 tahun, negara gagal dan membirkan perempuan buruh migran mengalami kekerasan dan pelanggaran hak akibat lambannya pembahasan Revisi Udang-undang Buruh Migran,” kata Koordinator Program solidaritas Perempuan Nissa Yura dalam diskusi di Jakarta, Minggu (18/12/2016).
Nissa menegaskan, semakin lama proses pembahasan RUU yang berlangsung antara DPR dan pemerintah, maka akan semakin lama pula buruh migran mengalami kekerasan dan pelanggaran hak.
Solidaritas Perempuan mengungkapkan, sejak Februari 2012 hingga Februari 2015 saja, sudah menangani 106 kasus kekerasan dan pelanggaran hak perempuan buruh migran.
Mayoritas Perempuan Buruh Migran mengalami berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran hak, seperti eksploitasi jam kerja, pemotongan/tidak dibayar gaji, dipindah-pindah majikan, kekerasan fisik, psikis, dan seksual, kriminalisasi, hingga trafficking dan penghilangan nyawa.
“Berbagai kasus terus terjadi dan dialami Perempuan Buruh Migran, dan sayangnya pemerintah tidak mampu membangun mekanisme yang sistematis, termasuk posisi tawar di dalam perlindungan hak Perempuan Buruh Migran,” ucap Nissa.
Lambannya pembahasan revisi UU 39/2004 juga mengakibatkan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah tidak strategis dan menjawab akar persoalan.
Misalnya, Roadmap Zero Domestic Worker 2017 yang diikuti dengan KEPMEN No. 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan Di Negara-negara Kawasan Timur Tengah, bukan hanya tidak menjawab akar persoalan, justru mendiskriminasi perempuan dan semakin melemahkan posisi perempuan.
“Kebijakan ini jelas melanggar Konvensi Migran 90 dan CEDAW yang menjamin hak mobiitas setiap orang termasuk untuk bekerja di luar negeri,” ujar Nissa.
Dalam situasi pemiskinan dan perampasan sumber-sumber kehidupan masyarakat, kebijakan yang melarang dan membatasi perempuan untuk bekerja justru semakin memperkuat ketidakadilan dan penindasan yang berujung pada pemiskinan perempuan.
Hasil pendataan dan identifikasi kasus yang dilakukan Solidaritas Perempuan memperlihatkan indikasi praktik-praktik trafficking melalui perekrutan unprosedural, yang mencakup iming-iming, penipuan, pemalsuan identitas, gaji, hingga eksploitasi perempuan buruh migran. (*)
Sumber: kompas.com
Foto: Eman Villanueva