Ojol: Buruh Modern dalam Bungkus Ekonomi Sharing

Ojol: Buruh Modern dalam Bungkus Ekonomi Sharing
Wakil Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) yang juga Wakil Presiden Kofederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S. Cahyono. Foto: Iwan Budi Santoso

Selama beberapa tahun terakhir, layanan ojek online (ojol) telah dipromosikan sebagai bagian dari “ekonomi sharing,” sebuah konsep yang dianggap membawa kemajuan dengan memanfaatkan teknologi untuk mempertemukan penyedia jasa dengan konsumen secara langsung. Namun, di balik narasi indah ini, terdapat realitas yang jauh berbeda: ojol tidak sekadar bagian dari ekonomi sharing, melainkan sebuah bentuk eksploitasi buruh modern.

Seringkali, pengemudi ojol digambarkan sebagai mitra usaha yang memiliki kebebasan dan fleksibilitas untuk mengatur waktu kerja mereka sendiri. Narasi ini menjadikan mereka seolah-olah adalah pengusaha mandiri yang merdeka. Namun, pada kenyataannya, para pengemudi ojol adalah buruh—pekerja yang menukar tenaga dan waktu mereka untuk mendapatkan upah, meskipun dalam bentuk yang lebih tersembunyi dan tidak diakui secara formal.

Sebagai buruh, pengemudi ojol memikul semua biaya operasional yang biasanya menjadi tanggungan perusahaan. Mereka bertanggung jawab atas pembelian bahan bakar, perawatan kendaraan, servis rutin, penggantian suku cadang, dan bahkan biaya kesehatan serta asuransi pribadi. Di sisi lain, pemilik aplikasi, yang seharusnya memikul sebagian dari beban ini, justru menikmati keuntungan besar tanpa harus menanggung biaya tersebut.

Ketidakadilan ini semakin terasa ketika kita melihat bagaimana risiko dan biaya eksternal sepenuhnya ditanggung oleh pengemudi. Mereka menghadapi risiko kecelakaan, kerusakan kendaraan, hingga ancaman kriminalitas di jalan tanpa perlindungan yang memadai dari perusahaan aplikasi. Dalam skema ini, pengemudi ojol menjalankan peran sebagai buruh tanpa mendapatkan hak-hak dasar seperti jaminan sosial, upah minimum, atau perlindungan tenaga kerja yang layak.

Sistem ini sangat menguntungkan bagi pemilik aplikasi, yang memperoleh keuntungan besar dengan risiko minimal. Dengan memanfaatkan teknologi dan jaringan luas pengemudi, mereka dapat meraih laba yang signifikan dari setiap transaksi yang dilakukan, sementara pengemudi harus bekerja berjam-jam untuk memperoleh penghasilan yang bahkan mungkin tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Hal ini menempatkan pengemudi ojol dalam posisi buruh yang tereksploitasi, di mana mereka bekerja keras, namun hasilnya lebih banyak dinikmati oleh pihak lain.

Narasi ekonomi sharing yang selama ini diusung seolah menutupi kenyataan bahwa ojol merupakan bentuk ekonomi eksploitatif. Pengemudi ojol tidak hanya dituntut untuk menanggung semua biaya dan risiko, tetapi juga dihadapkan pada kenyataan bahwa keuntungan mereka dipotong oleh perusahaan melalui komisi yang cukup besar, yang bisa mencapai 10-20% dari setiap perjalanan. Sementara itu, pemilik aplikasi tidak perlu memikirkan biaya operasional seperti penggantian kendaraan atau biaya kesehatan pengemudi.

Dalam konteks pandemi, ketidakadilan ini semakin terasa. Dengan menurunnya jumlah penumpang, pengemudi ojol mengalami penurunan penghasilan yang signifikan. Namun, mereka tetap harus menanggung biaya tetap seperti cicilan kendaraan, bahan bakar, dan perawatan. Di sisi lain, pemilik aplikasi tetap mendapatkan bagian dari setiap transaksi yang terjadi, meskipun volumenya berkurang. Ini memperjelas bahwa pengemudi ojol, sebagai buruh modern, menanggung beban krisis ekonomi yang lebih besar, sementara pemilik aplikasi tetap dalam posisi yang relatif aman.

Oleh karena itu, penting untuk menegaskan bahwa pengemudi ojol adalah buruh yang harus mendapatkan perlindungan dan hak-hak dasar yang layak. Mereka bukan sekadar mitra usaha atau pelaku ekonomi sharing, melainkan buruh yang bekerja di bawah sistem eksploitatif. Perlindungan hukum yang jelas diperlukan untuk memastikan bahwa pengemudi ojol mendapatkan hak-hak yang seharusnya, termasuk jaminan sosial, upah layak, dan perlindungan tenaga kerja.

Pemerintah dan pemangku kebijakan harus segera turun tangan untuk menyusun regulasi yang adil bagi pengemudi ojol. Regulasi ini harus memastikan adanya batasan komisi yang dipotong oleh aplikasi, penyediaan tunjangan kesehatan dan keselamatan kerja, serta perlindungan jaminan sosial yang layak. Hanya dengan langkah-langkah ini, kita dapat mewujudkan ekonomi yang benar-benar inklusif dan berkeadilan, di mana para buruh ojol mendapatkan hak-hak mereka sebagai pekerja, bukan hanya sebagai roda penggerak dari sebuah mesin keuntungan bagi segelintir pihak.

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Koran Perdjoeangan