Kemenangan politik butuh lagu. Allende pergi ke istana La Moneda dengan slogan ‘El Pueblo Unido Jamás Será Vencido’ (Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan).
Ia menjadi marxis pertama yang memenangkan kursi kepresidenan lewat jalur pemilu di 1970. Slogan itu lantas digubah menjadi lagu oleh Quilapayun tiga tahun kemudian, -tiga bulan sebelum kudeta Chile membunuh Allende.
Pada 1984, Presiden Reagan mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua. Demi berburu suara, bukannya melawan budaya arus utama Amerika, tim kampanye memilih mengkooptasinya. Reagen berupaya membajak ‘Born in the USA’. Lagu laris manis milik Bruce Springsteen.
Ini menjadi pilihan pintar bagi siapa pun yang berhasrat memompa patriotisme, hal yang lekat dengan Partai Republik.
“Dari gondrong sampai botak/hatinya kotak-kotak/Salam dua Jari/jangan lupa pilih Jokowi.”
Nyaris sepuluh tahun silam lirik itu bergema di mana-mana. Dibunyikan jutaan mulut, massa bergegap gempita menghantarkan ‘orang biasa’ menguasai Istana Negara.
Dan benar, orang yang disebut dalam lirik lagu tersebut menang. Menekuk ningrat politik lama yang nisbi memiliki segalanya.
Pria yang dikalahkan Jokowi dua kali itu kini hampir pasti menjadi presiden baru.
Bekas jenderal yang tersangkut kasus HAM sukses bermutasi diri. Dia sebenarnya masih gampang tersulut emosi.
Tapi amat berhasil mengambil citra sebagai ‘kakek-kakek’ lucu. Gemoy.
Untuknya, dia mendapat lagu yang menyempurnakan citra baru yang dibangunnya. ‘Oke Gas’.
‘Oke Gas’ akrab di telinga orang sebelum pemilu tiba.
Terutama di barisan kawula muda.
Di berbagai platform, lagu ini dipakai sebagai musik latar untuk beraneka konten media sosial.
Setiap kesempatan kampanye terbuka, ia akan diputar untuk menemani berjoget. Capres itu sendiri bilang, “kalian datang ke sini hanya ingin melihat saya berjoget kan?”.
Lirik lagu yang dipoulerkan Richard Jersey ini bertutur dinamika rapper muda. Namun siapa gerangan yang benar-benar sudi mendalami pesannya. Yang paling tersangkut di pikiran jamaknya orang mungkin empat lirik sensasionalnya. “Tabrak-tabrak masuk”,
“Tak mampu bersaing silahkan pamit”, “Tambah dua torang gas” dan tentu “Oke Gas”.
Apakah ‘Oke Gas’ lagu bagus?
Saya tak tahu.
Yang pasti ia disuka banyak orang.
Sangat banyak, bahkan. Kenapa lagu ini dengan cepat digemari?
Rasanya memang menyenangkan untuk mendengarkannya. Ada semangat.
Ada kegembiraan.
Ada pelepasan.
Ada dopamin dan endorfin.
Sebagai menu hiburan, ‘Oke Gas’ bisa melayani kebutuhan tersebut.
Namun rasanya bukan itu semata.
Lagu ini juga berhasil mewakili tabiat kita. Mendeskripsikan mentalitas dan budaya sehari-hari. ‘Oke Gas’ dalam kultur Jawa bisa setara ‘ora usah dipikir, pokok dilakoni’.
Pun, ‘kuat dilakoni, ora kuat ditinggal ngopi’, ucap lagu lain.
Di sana tak ada ajakan memahami masalah. Nihil perenungan.
Tak ada kritik.
Tak ada yang ‘berat-berat’.
‘Oke Gas’ dibunyikan dengan irama yang mengundang nafsu bersenang-senang, melepas tumpukan beban.
Yang tertekan mencari penyaluran.
Hidup yang berat ayo dijalani saja, carilah kesenangan sebisanya. Bila perlu dengan “…tabrak-tabrak masuk”. ‘Oke Gas’ ada dalam diri banyak penduduk.
Sebuah deklarasi vulgar.
Tentang hidup yang pokoknya ‘digas’.
Tak usah pikir-pikir rumit.
Sehari-hari kita menyaksikan itu.
Gaji tak cukup, tapi ingin terkesan makmur. Memaksa kredit mobil, ayo ‘digas’!
Butuh piknik wah, padahal tagihan masih di sana sini?
Oke Gas!
Konser Coldplay?
Oke Gas!
Semalaman pasang ‘slot’ meleset terus? Oke Gas!
Pendaftaran caleg dibuka?
Oke Gas!
Kita bagian dari masyarakat yang penat berat.
Yang upah buruhnya disendat kenaikkannya selama sewindu.
Yang mayoritas petaninya, petani gurem.
Yang postur tenaga kerjanya, lebih dari 74 persen lulusan SD dan SMP.
Yang dari 10.000 anak mudanya cuma 10 orang yang doyan membaca.
Yang IQ rata-ratanya konon 78 koma sekian. Yang pecandu judi online-nya sangat besar.
Masyarakat terseok-seok ini oleh Andre Vltchek dalam tulisannya digambarkan secara kejam.
“….mendapatkan sebuah kepulauan dengan penduduk yang tidak mampu berpikir, dan yang terus-menerus dijejali dengan slogan religius, slogan pop dan slogan di televisi, daripada penduduk yang berpikir tentang masa lalu, masa kini dan masa depan.”
Masyarakat yang tak mampu berfikir terlalu lama, alih-alih mendalam.
Yang kemiskinannya terlampau mencekik. Kehampaan ilmu pengetahuannya akut. Menyaksikan korupsi menjamur namun tak berdaya, apalagi sanggup menyimpulkan.
Yang memandang pemilu tak sejelimet aktor di film ‘Dirty Vote’.
Dan di dalam keadaan seperti ini, Prabowo paham benar, mutualisme apa yang bisa dihasilkan dari ‘Oke Gas’.
Dia dan semua yang bersamanya mengenal benar masyarakat yang akan dimenangkan suaranya. ‘Kenali dirimu, musuh mu, dan medan pertempuran mu”, ajar Sun Tzu. Klise, tetapi rumus lama masih manjur belaka.
“Beri mereka (Rakyat) roti dan sirkus, maka semua akan beres.” Guyur bansos dan gelar joget ‘Oke Gas’ massal.
Maka, dua kandidat lain akan terlihat seperti bocil culun yang malang.
Kelas menengah terdidik, -yang jumlahnya tak seberapa serta terdis-organisasi-, akan menggerutu.
Terlihat pandai, penuh referensi, namun tak berdaya.
Sebagian aktivis renta yang telah lama mandul mengulang kalimat yang sudah-sudah, “Kita telah melawan. Sehebat-sehebatnya. Sehormat-hormatnya.” Tetapi politik tidak pernah dimenangkan dengan cara seperti itu.
“Aku all in 02. Gak tau alasannya. Pokoknya 02!”, ujar renyah gadis muda sembari menahan tawa di konten viral TikTok. Begitulah Nona ini, baginya yang terpenting ‘Oke Gas’!. “Sebagaimana keadaan kalian, seperti itulah pemimpin kalian”, kata Nabi Muhammad. Maka mereka pun menang. Walau bukan mustahil untuk dilawan.
Pasti tak mudah. Pasalnya tak cukup berbekal “tambah dua torang gas”.
***
Penulis,
Adityo Fajar,
menetap di kaki Gunung Semeru.