Bogor, KPonline – Prapto termenung di sudut ruangan kontrakan petakan yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari perempatan jalan raya yang ramai dilalui kendaraan. Keramaian dan suara bising knalpot kendaraan bermotor yang terkadang memekakkan telinga orang biasa, tidak membuatnya beranjak dari lamunan. Pikirannya terus menerawang entah ke mana, seolah ada beban serius yang sedang ia pikirkan. Berat? Tentu saja. Saat ini, Prapto sedang “jobless” alias pengangguran. Sudah enam bulan lamanya ia menganggur karena pabrik tempatnya bekerja telah melakukan “relokasi” ke lokasi baru, di mana upah buruhnya masih terbilang rendah—sangat rendah, bahkan mungkin yang terendah se-Indonesia.
Dihisapnya lagi rokok kretek yang menemaninya dalam lamunan. Asap tembakau menyembur dari mulutnya yang sedikit “dimonyongkan”. Terkadang, Prapto menutup kedua matanya, seolah meresapi sesuatu—bukan kebahagiaan tentunya. Sejak enam bulan yang lalu, Marni, istrinya, bercerita bahwa senyum sumringah Prapto yang dulu seakan memudar seiring waktu menganggur. Tak ada lagi senyum simpul atau canda tawa bersama keluarga; yang ada hanya termenung dan berdiam diri, bermuram durja meratapi nasibnya. “Kenapa saya harus ter-PHK?” barangkali itulah kalimat yang terus terngiang dalam alam bawah sadar Prapto.
“Wes tho, Pak. Yang lalu biarlah berlalu. Mungkin ini sudah jadi suratan takdir Gusti Allah,” hibur Marni, berusaha memecah kegalauan Prapto. Sebagai sesama pendatang di kota besar, Marni dan Prapto telah menjadi sosok-sosok tangguh dalam menghadapi kehidupan yang keras dan penuh tantangan. Namun, ketika Prapto ter-PHK dan hanya mendapatkan pesangon sekitar 0,5 PMTK, dirinya berubah drastis menjadi sosok yang lembek, sering termehek-mehek, dan tingkah lakunya sehari-hari mirip seperti “kethek.”
“Umurku yo wes kepala 4, Bu. Lah gimana aku bisa kerja di pabrik lagi? Mana ada pabrik yang mau menerima orang seumuran aku?” lirih Prapto, sambil menatap nanar ke arah Marni. Kegalauan dan kegelisahan yang ia rasakan selama beberapa bulan terakhir seolah terjawab. Dengan kemampuan yang terbatas dan pendidikan hanya tamatan SMA di kampung, Prapto merasa minder untuk bersaing dengan generasi muda yang berpendidikan lebih tinggi. Wajar, dengan usia yang sudah menyentuh 40-an, hampir bisa dipastikan tidak ada pabrik atau perusahaan yang mau menerima Prapto sebagai karyawan.
“20 tahun aku mengabdi di pabrik itu. Tapi tetap saja, kalo ‘wes tuwek’ koyok ngene, pabrik mana yang mau, Bu? Padahal, aku udah minta biar bisa ikut kerja di pabrik yang baru. Ndak apa-apa gajiku turun, yang penting punya penghasilan, tho. Lah wong UMK-nya di sana cuma 2 jutaan. Yo ambyar sama kebutuhan,” cerocos Prapto, nada suaranya lebih menyerupai curahan hati kepada istrinya. Begitulah pengusaha; meski tidak semuanya, tetapi pada dasarnya, mereka ingin terus mendapatkan keuntungan lebih. Salah satu faktornya adalah mencari upah buruh atau pekerja yang lebih rendah. Prapto mulai “misuh-misuh” tanpa arah.
Dirinya sering menyalahkan pemerintah, pengusaha, bahkan serikat buruh tempatnya bernaung. Tak jarang, Prapto juga menyalahkan dirinya sendiri. “Kenapa dari dulu nggak belajar wirausaha? Dagang mie ayam bakso atau es cendol dawet. Kenapa nggak dimulai dari dulu aja?” gumam Prapto dalam hati. “Tapi bagaimana mungkin bisa mengatur waktu bekerja di pabrik sambil belajar wirausaha? Tidak mungkin. 40 jam kerja dalam seminggu, ditambah lagi dengan belajar wirausaha. Bisa ambruk badanku. Dikejar target produksi, belum lagi ‘lembur wajib’ yang harus diikuti jika Pak Mandor sudah meletakkan form lembur di meja kerjanya.”
Enam bulan yang lalu, pesangon Prapto yang hanya 0,5 PMTK pun lenyap dalam sekejap. Dengan upahnya yang hanya berdasarkan standar UMK, satu-satunya yang bisa Prapto lakukan ketika Direktur perusahaan berusaha menjabat tangan adalah tersenyum getir. “Sudah sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan ya, Mas Prapto. Berdasarkan Omnibus Law, loh. Aturan negara kok yang kita pakai. Sama seperti aturan upah dan lain-lainnya,” ucap Direktur sambil menepuk-nepuk pundak Prapto, merasa bangga telah memberikan pesangon yang kecil kepada para karyawannya. Bangga karena telah menegakkan aturan negara, bernama UU Cipta Kerja.
Tanpa membalas ucapan sang Direktur, Prapto membalikkan badannya dan pergi menuju pintu. Ia membuka pintu dan membantingnya. “Omnibus Law, Omnibus Law. Jancuk koen, Omnibus Law,” setengah marah, sambil menahan amukan di dadanya, Prapto melangkah menuju gerbang pabrik. Ia keluar tanpa menoleh lagi, hingga hari ini. (RDW6666)