Setiap menghadiri pernikahan teman, kerabat atau keluarga selalu kita memberikan ucapan selamat semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.
Tujuan pernikahan memang untuk meraih hidup yang sakinah (tenang) dalam balutan mawaddah (Cinta) dan rahmah (kasih sayang), bukan hanya sekedar menyalurkan kebutuhan biologis saja. Namun tak sedikit pernikahan yang berujung perceraian dengan berbagai alasan, kadang ekonomi, keluarga dan pihak ketiga.
Perceraian bukan atas kehendak pasangan suami istri saja namun bisa terjadi karena ada campur tangan pihak ketiga. Biasanya yang menjadi pemicu seperti orang tua, mertua, sahabat, pelakor dan lainnya. Perceraian dapat terjadi karena kurangnya perhatian dan nafkah dari suami atau sebaliknya.
Awalnya pasangan ini sangat romantis suami seorang buruh yang juga pengurus serikat pekerja di sebuah perusahaan dan sang istri dulu seorang buruh juga, namun ketika menikah si istri dianjurkan oleh si suami di rumah saja mengurus anaknya.
“Istriku karena kita sudah mempunyai momongan (anak), kamu dirumah saja, biar aku yang mencari nafkah untuk keluarga,” pinta suami.
Sang Istri akhirnya menuruti permintaan suami, setahun, dua tahun, tiga tahun kondisi hubungan rumah tangga keduanya masih harmonis.
Namun pasca omnibus law ditetapkan oleh pemerintah dan DPR RI bulan Oktober 2020 silam serta pandemi covid-19 yang semakin mendera bangsa ini, dua bulan setelah itu dampaknya sudah sangat dirasakan pasangan suami istri tersebut.
Hal ini berawal ketika kondisi perusahaan tempat si suami bekerja mengalami kebangkrutan dan berdampak terhadap si suami yang akhirnya pendapatan menurun.
Istri yang tadinya merasa cukup dengan penghasilan si suami, karena omnibus law cipta kerja dan Pandemi covid-19 membuat pendapatan suami menurun drastis.
Pasalnya lembur tidak lagi ada. Jangankan lembur, kerja saja kadang sehari masuk seminggu libur. Merasa kurang dan mengeluhlah kepada orang tua, dari sinilah perceraian berawal.
Orang tua yang mendapat keluhan anaknya terkait ekonomi bukan membantunya justru menjerumuskan dengan menyuruh anak perempuannya pisah dari suaminya.
“Cerai saja dari suamimu, buat apa kalau kamu kekurangan, suami macam apa?” kata ibunya lantang.
Si anak yang kebetulan sedang dalam kondisi pikiran galau, pusing dan mendengarkan ibunya menyuruh cerai, langsung terbersit di pikirannya membenarkan kata ibunya.
“Iya bener juga kata ibu, buat apa bertahan dalam pernikahan kalau hidup dalam kekurangan,” gumamnya dalam hati. Tapi bagaimana dengan anakku?” pikirannya galau.
Singkat cerita akhirnya orang tuanya (ibu) yang meminta kepada suaminya untuk menceraikan anaknya. “Bang, tinggalkan anakku (ceraikan), aku tak mau melihat anakku hidup kekurangan,” ungkap ibunya
Si suami yang mendengar perkataan ibunya itu, gemetar bak petir menyambar di siang bolong. dia tidak bisa berkata-kata. Singkat cerita akhirnya suami istri tersebut berpisah karena Omnibus Law Cipta Kerja.
Ini kisah nyata yang sengaja penulis angkat menjadi sebuah catatan agar menjadi pembelajaran buat kita semua.
Penulis :Yanto
Foto : Ilustrasi