Omnibus Law Terbukti Jadi Drakula Bisnis yang Menghisap Kesejahteraan Pekerja

Omnibus Law Terbukti Jadi Drakula Bisnis yang Menghisap Kesejahteraan Pekerja
Buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi menolak omnibus law UU Cipta Kerja. Foto: Andhika Prasetia/detik.com

Ketika Omnibus Law masih dalam berbentuk draft, akhir tahun 2019 yang lalu, Presiden KSPI Said Iqbal mengeluarkan pernyataan: “Omnibus Law adalah drakula bisnis.” Sebuah metafora yang kuat dan dramatis, namun kini terbukti relevan. Seperti drakula yang menghisap darah, Omnibus Law menghisap kesejahteraan pekerja di Indonesia.

Drakula bisnis melayang di atas pekerja Indonesia. Memang tidak menghisap darah, tetapi menghisap kesejahteraan. Omnibus Law, yang diusung dengan janji-janji manis untuk meningkatkan investasi dan mempermudah bisnis, ternyata menyembunyikan taring-taring tajam yang merobek hak-hak pekerja.

Kaum buruh merasakan efek langsung dari undang-undang ini. Upah mereka merosot, pesangon mereka dipangkas, dan pekerjaan mereka menjadi semakin tidak pasti. Rasa aman yang dulu mereka miliki perlahan-lahan menguap, digantikan oleh ketakutan akan masa depan yang tidak menentu.

Dalam beberapa tahun terakhir, setelah implementasi Omnibus Law, banyak bukti yang menunjukkan bagaimana undang-undang ini berdampak negatif pada kesejahteraan pekerja. Di pabrik elektronik di Bekasi, seorang pekerja bernama Rina merasa terpukul. Sebelum Omnibus Law, dia mendapatkan upah yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Namun, setelah penghapusan upah minimum sektoral, kenaikan upahnya menjadi sangat kecil.

Di sektor tekstil, cerita tidak jauh berbeda. Andi, seorang pekerja yang telah bekerja selama 15 tahun, mendapati dirinya dipecat dengan pesangon yang jauh lebih rendah dari yang diharapkannya. Dengan anak-anak yang masih bersekolah dan kebutuhan keluarga yang terus meningkat, Andi merasa masa depannya suram. Omnibus Law yang mempermudah pemutusan hubungan kerja membuatnya kehilangan sumber pendapatan yang penting di saat-saat sulit.

Tidak hanya itu, konsep kerja kontrak yang lebih fleksibel diperkenalkan oleh Omnibus Law menciptakan ketidakpastian yang lebih besar bagi para pekerja. Sari, buruh di perusahaan separti di Serang – Banten, merasa resah setiap kali kontraknya akan habis. Dia tidak tahu apakah dia akan dipekerjakan kembali atau harus mencari pekerjaan lain. Ketidakpastian ini membuat Sari sulit merencanakan masa depannya, baik secara profesional maupun pribadi.

Melihat dampak negatif yang begitu nyata, serikat pekerja terus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Partai Buruh, FSPMI, KSPI, KPBI, hingga KSPSI misalnya, telah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Omnibus Law dianggap melanggar konstitusi dan hak asasi manusia, terutama hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya pekerja. Penurunan upah dan pemangkasan pesangon dianggap sebagai bentuk perampasan hak pekerja untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Selain itu, proses pengesahan Omnibus Law dianggap tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik yang memadai. Banyak yang merasa bahwa undang-undang ini lebih menguntungkan para pengusaha besar daripada kepentingan rakyat banyak.

Di sudut-sudut ruang sidang Mahkamah Konstitusi, harapan itu dipertaruhkan. Para hakim diharapkan melihat penderitaan nyata yang dialami oleh para pekerja dan mengambil keputusan yang berpihak pada keadilan sosial. Argumen demi argumen sudah dipresentasikan, menceritakan kisah-kisah pahit yang dialami oleh pekerja seperti Rina, Andi, dan Sari.

Tak berapa lama lagi, MK akan membacakan putusan. Tentu saja, kita harus bersiap mengawalnya.

Dengan semakin banyak bukti yang menunjukkan dampak negatif dari Omnibus Law, harapan semakin besar bahwa Mahkamah Konstitusi akan mendengarkan tuntutan para buruh. Jika permohonan ini dikabulkan, ini akan menjadi langkah penting menuju pemulihan hak-hak pekerja di Indonesia. Keputusan ini juga akan menunjukkan bahwa pemerintah dan lembaga hukum siap untuk melindungi warga negaranya dari kebijakan yang tidak adil dan merugikan.

Ketika matahari terbit di ufuk timur, sinar harapan baru mungkin akan menerangi masa depan para pekerja. Kita berharap, seperti drakula yang akhirnya dikalahkan oleh sinar matahari, Omnibus Law juga akan dikalahkan oleh keadilan. Di tengah-tengah harapan dan doa, para pekerja menantikan keputusan yang akan mengakhiri penderitaan mereka dan mengembalikan kesejahteraan yang telah dihisap oleh “drakula bisnis”.

Sekali lagi, prediksi Said Iqbal bahwa “Omnibus Law adalah drakula bisnis” kini terbukti. Undang-undang ini telah menghisap kesejahteraan pekerja, mengurangi upah, dan menciptakan ketidakamanan kerja. Para buruh, melalui serikat pekerja mereka, telah berjuang untuk mendapatkan keadilan dan meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan kaum buruh. Harapannya, penderitaan yang dialami oleh para pekerja tidak akan berlarut-larut, dan hak-hak mereka akan dipulihkan demi keadilan sosial dan kesejahteraan.\

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Koran Perdjoeangan