JAKARTA,KPOnline – Beragam paket kebijakan ekonomi di gulirkan pemerintahan Jokowi-JK mulai dari jilid I hingga jilid V. mulai dari memberi insentif kepada pengusaha, pemotongan pajak hingga pemotongan harga tarif industri, dan kesemuanya ditujukan untuk meringankan beban pengusaha. Sayangnya tak ada satu pun dari 5 paket kebijakan ekonomi yang pro rakyat dan buruh.
Parahnya lagi dalam paket kebijakan ekonomi jilid 4, secara khusus pemerintahan Jokowi-JK menggulirkan kebijakan upah murah. Bahkan terkesan paket kebijakan tersebut merupakan pesanan pengusaha untuk lebih melancarkan roda bisnisnya di tanah air. Namun pemerintah alpha memberikan kebutuhan utama rakyatnya yaitu penghasilan yang memadai. Bahkan serikat pekerja menuding dengan paket kebijakan ekonominya pemerintah membuat rakyat tak ubahnya budak, bekerja namun dengan penghasilan yang sangat minim.
Tak ayal, banyak pihak mengkritisi dan menuding kebijakan ekonomi pemerintah hanya berfokus kepada peningkatan daya saing industri (pengusaha) dan sama sekali tidak menyentuh permasalahan utama, yaitu daya beli masyarakat yang terus merosot (upah). Sehingga kebijakan tersebut salah sasaran, diibaratkan kita sakit perut tapi diberikan obat sakit kepala.
Setidaknya hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komite I DPD, Fachrul Razi yang menyebut fokus kebijakan ekonomi pemerintah yan lebih mengarah pada peningkatan daya saing industri sebagai formulasi yang kurang tepat, karena permasalahan ekonomi saat ini terletak pada rendahnya daya beli masyarakat.
Senada diatas, Ekonom Institute National Development and Financial (INDEF) Aviliani mengatakan, paket kebijakan ekonomi Pemerintah lebih mengutamakan sektor produksi, padahal seharusnya lebih fokus pada kebijakan untuk meningkatkan permintaan. Langkah pemerintah ini dinilai percuma karena tidak ada permintaan sehingga peningkatan sektor produksi menjadi sia-sia.
“Kalau kita kihat kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah saat ini lebih kepada sektor produksi, misalnya mempercepat KUR, itu kan menambah produksi. Tapi itu untuk apa, kalau perpmintaanya saja tidak ada,” ujarnya di sela-sela acara Indonesia Banking Expo (IBEX), di JCC, Jakarta, Kamis (10/9).
Menurut Aviliani yang ditunggu oleh masyarakat saat ini adalah harga-harga kebutuhan bahan pokok yang stabil sehingga dapat meningkatkan konsumsi masyarakat. Bahkan pada paket kebijakan ekonomi jilid IV pemerintah dengan sengaja menghilangkan peran serikat pekerja dalam mengadvokasi upah, padahal peran tersebut sudah diamanatkan dalam UU No. 13 tahun 2003.
Dalam kebijakan yang disebut PP No. 78 tahun 2015 pemerintah mencoba mengelabui presepsi masyarakat dengan mengatakan lahirnya PP No. 78 tahun 2015 akan memastkan setiap tahunnya akan ada kenaikan upah. Padahal sebenarnya dari zaman orde baru hingga saat setiap tahun sudah ada kenaikan upah.
Permasalahan utama adalah besaran kenaikan upah selama ini jauh dari kebutuhan riil buruh. Sejak tahun 2003 pasca tumbangnya rezim orde baru peran serikat pekerja dalam dewan pengupahan sedikit mendongkrak besaran kenaikan upah minimum. Pun demikian upah rill buruh di Indonesia hingga hari ini masih jauh dari kebutuhan rill buruh.
Apalagi dengan lahirnya PP No 78 tahun 2015 tentang pengupahan yang membatasi kenaikan upah dengan menggunakan formula inflasi + pertumbuhan ekonomi, tanpa mempertimbangkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Dengan kata lain, dalam kebijakan ekonomi terbarunya pemerintah memangkas peran serikat pekerja dalam merundingkan besaran kenaikan upah. Tidak salah jika banyak pihak menuding pemerintah Jokowi-JK saat ini sedang mencoba mengendalikan Negara ini seperti rezim orde baru.
Tak heran, jika keseluruhan paket kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi – JK, khususnya Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV dianggap tidak pro-buruh. Karena itu, penggajian buruh yang dibuat murah dalam kebijakan itu tidak layak dijadikan acuan bagi kehidupan pekerja di Indonesia.
“Kami menolak salah satu isi paket kebijakan ekonomi jilid 4 tentang penetapan kenaikan upah minimum setiap tahunnya yang hanya diukur dengan inflasi dan PDB (Produk Domestik Bruto),” ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam keterangan pers, di Jakarta.
Terkait masalah KHL yang akan ditinjau sekali lima tahun, padahal selama ini, KHL itulah sebagai dasar menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan atau Upah Minimum Kota (UMK), Iqbal berpendapat kebijakan ini jelas menghilangkan peran Serikat Pekerja untuk bernegosiasi mengenai Upah Minimum, dan kembali kepada kebijakan upah murah dengan mengendalikan upah buruh secara arogan.
Padahal, lanjut Said, para Pengusaha pun sudah memperoleh banyak kemudahan dalam segala hal yang difasilitasi oleh Pemerintah. “Kemudahan dalam segala hal itu diperoleh pengusaha melalui paket kebijakan ekonomi jilid satu, dua dan tiga,” ujarnya.
Dalam sejarahnya, menurut Said Iqbal. Di era pemerintahan Jokowi-JK inilah upah buruh sangat murah dan sangat kejam terhadap buruh.“Kebijakan upah pemerintahan Kokowi-JK jauh lebih kejam dari pada yang berlaku di masa Orde Baru,” ujarnya.
Karena itu, dia mengungkapkan, sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro-buruh, ribuan rubuh sedang diorganisiri untuk melakukan aksi unjuk rasa dan penolakan terhadap Paket Kebijakan Ekonomi Jilid IV milik Jokowi-JK tersebut.
Ribuan buruh yang berasal dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), Kongres Aliansi Serikat Indonesia (KASBI), Konfederasi Perjuangan Buruh Indonesia (KP-KPBI) sedang mempersiapkan aksi besar-besaran yang akan digelar pada 15 Oktober hingga Desember 2015.
“Tuntutan buruh jelas, menolak RPP Pengupahan, menolak kenaikan Upah Minimum Provinsi flat inflasi dan PDB. Menuntut kenaikan upah minimum pada 2016 sebesar 22 persen, menuntut dipenuhinya KHL sebanyak 84 item untuk mengembalikan daya beli buruh sehingga meningkatkan konsumsi, mengharapkan pertumbuhan ekonomi naik dan menghindarkan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja),” pungkasnya. *Msk*