Brasil,KPonline – Palmeiras tampil sebagai juara Copa Libertadores untuk kedua kalinya sepanjang sejarah setelah menaklukkan Santos, sesama tim yang bermarkas di Sao Paulo, Brasil, dengan skor tipis 1–0.
Di final edisi 2020 tertunda akibat pandemi corona di Stadion Maracana di Rio de Janeiro, Brasil, dalam pertandingan yang berlangsung pada Minggu (31/1/2021) pagi WIB itu satu-satunya gol kemenangan Palmeiras terjadi ketika injury time babak kedua berjalan 9 menit. Secara keseluruhan injury time berlangsung sampai 13 menit akibat banyaknya insiden sepanjang pertandingan meski tidak berujung kericuhan.
Dengan menjadi juara, Palmeiras berhak mendapatkan hadiah sekitar 16 juta pound sterling dari total 122 juta pound nilai hadiah untuk seluruh kontestan Copa Libertadores edisi 2020 ini.
Palmeiras pernah menjadi juara Copa Libertadores—kompetisi antarklub di bawah naungan Konfederasi Sepak Bola Amerika Selatan (Conmebol)—pada edisi 1999, di final menaklukkan klub Kolombia Deportivo Cali.
Siapa sangka Palmeiras secara tradisional terhubung dengan komunitas Italia di kota itu, yang didirikan oleh sekelompok buruh Italia di awal abad 20. Bermain dalam warna hijau dan putih, Palmeiras secara resmi dijuluki Verdão (Big Greens) tetapi juga dikenal sebagai Porco (Babi) yang dulunya merupakan nama yang direndahkan di klub oleh saingan mereka dan kemudian dengan bangga diadopsi oleh penggemar Palmeiras.
Terbentuknya Palmeiras pada waktu itu dianggap sebagai pengkhianatan karena masyarakat Brasil sedang berjuang menghadapi penguasaan sepakbola Brasil oleh kaum-kaum Borjuis. Sebab pada waktu itu sepakbola di Brasil hanya bisa dilakukan dan dinikmati oleh orang-orang kaya saja. Apalagi pendukung sepakbola di Sao Paulo menjadi terbagi dua sejak terbentuknya Palmeiras Alhasil, potensi klub serupa yaitu Corinthians untuk menambah dukungan pun mesti berkurang karena adanya saudara mudanya tersebut. Maka dari itulah Corinthians dan para pendukungnya dicap pengkhianat oleh para pendukung Corinthians.
Corinthians menganggap dirinya sebagai “tim orang-orang” dan mengumpulkan sebagian besar dukungannya dari pinggiran kota kelas pekerja kota. Perangkat putih dan hitamnya yang ikonik dapat dilihat di seluruh São Paulo dan bahkan di bagian lain negara ini. Dijuluki Timão (Tim Besar), Corinthians menghabiskan sebagian besar sejarahnya sebagai kekuatan regional, hanya memenangkan kejuaraan nasional pertamanya di 1990. Namun, era keemasan Corinthians datang di awal 2010, memenangkan dua kejuaraan nasional, satu kejuaraan Amerika Selatan dan satu kejuaraan Dunia atas ruang empat musim.
Para pendukung Corinthians pun menyebut pendukung Palestria Italia itu dengan menyebut mereka babi sebagai ejekan yang sering dilontarkan kepada buruh Italia yang kerja di Brasil. Kedua pendukung tersebut tidak pernah harmonis. Kejadian yang paling menggemparkan adalah pertandingan pada Maret 2012. Pada laga itu terjadi bentrokan sehingga satu pendukung Palmeiras bernama Andre Alves harus meninggal karena ditembak.
Pada saat itu memang pendukung Palmeiras sedang dikepung pendukung Corinthians di kawasan utara kota. Kedua pendukung tersebut saling serang menggunakan besi, kayu dan bebatuan. Kemudian polisi datang membubarkan bentrokan memakai gas air mata dan peluru karet. Keributan tersebut belum termasuk dengan bentrokan-bentrokan kecil lainnya di berbagai kawasan. Di sisi lain, Corinthians memenangkan pertandingan tersebut dengan skor 2-1.
Menelusuri sejarah sepakbola Brasil haruslah bertandang ke Rio. Pasalnya, kota inilah yang jadi cerminan bagaimana klub di Brasil merepresentasikan pembedaan sosial.
Salah satunya adalah Fluminense, salah satu klub tertua bangsa samba. Klub yang didirikan pada 1902 ini awalnya memang hanya untuk bangsawan kota Rio De Janeiro. Tim ini adalah tim para aristokrat. Bahkan tak sekadar itu. Laga-laga Fluminense kerap dianggap sebagai ajang pamer bagi para sosialita dan bangsawan Rio.
Namun, beberapa waktu kemudian semua berubah. Pada 1911, lahirlah sang saudara tiri, Flamengo. Didirikan oleh beberapa pemain Fluminense yang memutuskan untuk keluar, klub ini justru dimiliki oleh mereka yang miskin. Klub untuk mereka yang tinggal di favela.
Meski hanya sempalan dan hanya didukung masyarakat miskin, pada kemudian hari, Flamengo justru tampil lebih hebat dibanding saudara tuanya.
Demikian pula soal pendukung. Flamengo lebih banyak mempunyai pendukung dibanding Fluminense. Atas dasar senasib dan sepenanggungan, sebagian besar masyarakat Brasil yang didominasi kulit hitam dan para buruh memang lebih mengelu-elukan Flamengo. Akhirnya, yang termarjinalkan memiliki wakil di lapangan hijau.
Lantaran kebanyakan Flamenguiste (fans Flamengo) adalah orang-orang berkulit hitam, mereka selalu diejek dengan sebutan “penghuni lumpur” oleh para fans Fluminense. Cemoohan yang dianggap angin lalu, karena mereka terus bertambah besar dan besar lagi. Bahkan mereka yang tinggal nun jauh di pedalaman Amazon sekali pun mengibarkan panji Flamengo.
Memang, sudah bukan rahasia, jika pada masa awal sepakbola menyebar di Brasil, permainan ini dimonopoli oleh mereka yang ningrat saja
Mereka yang miskin, terlebih lagi yang berkulit hitam, tak boleh sedikitpun mendapat akses untuk mengenal sepakbola. Apa yang dibawa imigran ataupun para terpelajar dari Eropa sana memang hanya boleh dinikmati oleh yang punya derajat sama.
Hal itulah yang menyebabkan sepakbola di Brasil selalu tersekat-sekat dan terbagi berdasarkan kelas-kelas sosial yang ada. Secara perlahan, hal ini akan membentuk sebuah stratifikasi sosial yang bahkan masih mengakar hingga hari ini.(Et)