Pemerintah Bertanggungjawab Cegah PHK

Pemerintah Bertanggungjawab Cegah PHK
Kaum buruh menilai Omnibus Law UU Cipta Kerja mempermudah PHK dengan pesangon yang murah. Foto: Media Perdjoeangan/Kahar

Baru-baru ini, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menyampaikan kabar yang cukup mengejutkan dan memprihatinkan bagi kaum buruh, terutama mereka yang bekerja di sektor tekstil. Dalam rapat yang diadakan, Zulhas mengungkapkan adanya keluhan dari industri tekstil terkait dengan penutupan beberapa pabrik dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

“Barusan rapat itu mengenai keluhan dari industri tekstil, pelaku industri tekstil yang beberapa tutup ya, dan ada beberapa yang terancam (melakukan) PHK massal,” kata Zulhas. Pernyataan ini menandakan bahwa pemerintah sudah tahu apa masalah yang sedang terjadi. Namun demikian, kita masih melihat minimnya solusi.

Industri tekstil di Indonesia telah menjadi salah satu sektor utama yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Ribuan buruh bekerja keras setiap hari untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik dan internasional. Namun, sektor ini menghadapi tantangan besar, termasuk persaingan global, biaya produksi yang meningkat, dan fluktuasi permintaan pasar. Kondisi ini diperparah oleh kebijakan pemerintah yang membuka kran impor secara berlebihan dan kemudahan melakukan PHK dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Dengan penutupan beberapa pabrik dan ancaman PHK massal, ribuan pekerja di sektor tekstil menghadapi ketidakpastian masa depan. Mereka yang bekerja keras untuk menghidupi keluarga mereka kini berada dalam bayang-bayang kehilangan pekerjaan. Inilah saatnya bagi pemerintah untuk mengambil tanggung jawab dan memastikan bahwa hak-hak buruh dilindungi dan kesejahteraan mereka dijaga.

Salah satu penyebab utama dari krisis ini adalah kebijakan pemerintah yang terlalu longgar dalam membuka kran impor. Produk tekstil impor yang lebih murah membanjiri pasar domestik, menyebabkan industri lokal kesulitan bersaing. Selain itu, kemudahan melakukan PHK yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja juga memperparah situasi. Undang-undang ini memberikan keleluasaan kepada pengusaha untuk melakukan PHK dengan lebih mudah, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi bagi para pekerja.

Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi pekerja dari dampak negatif PHK massal yang diakibatkan oleh kebijakan yang tidak berpihak kepada buruh. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan memberlakukan kembali pengetatan kebijakan dan pengaturan impor, seperti yang tertuang dalam Permendag 36/2023. Kebijakan ini dapat membantu mengurangi tekanan pada industri tekstil domestik dengan membatasi masuknya produk impor yang sering kali lebih murah dan menimbulkan persaingan tidak sehat.

Namun, pengetatan kebijakan impor saja tidak cukup. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih komprehensif untuk mendukung industri tekstil dan melindungi pekerja. Ini termasuk mencabut Undang-Undang Cipta Kerja. Pemerintah harus meninjau kembali dan merevisi Undang-Undang Cipta Kerja, terutama pasal-pasal yang memudahkan PHK. Perlindungan terhadap pekerja harus ditingkatkan agar mereka tidak mudah kehilangan pekerjaan tanpa kompensasi yang memadai. Selain itu, Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor juga harus dicabut.

KSPI dalam aksinya menuntut agar Omnibus Law UU Cipta Kerja dicabut. Foto: Media Perdjoeangan/Kiki

Dengan mencabut dua ketentuan di atas, pemerintah sudah memberikan dukungan yang dibutuhkan oleh industri tekstil dan para pekerja. Kebijakan yang tepat dapat membantu mencegah PHK massal, menjaga stabilitas sosial, dan meningkatkan daya saing industri tekstil Indonesia di pasar global.

Selain itu, dengan menjaga pekerja tetap bekerja dan mendukung industri tekstil, pemerintah juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pekerja yang memiliki pekerjaan dan penghasilan yang stabil akan lebih mampu berkontribusi pada perekonomian melalui konsumsi dan investasi. Ini akan menciptakan siklus ekonomi yang positif yang dapat memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat.

Pendek kata, krisis yang dihadapi oleh industri tekstil saat ini menuntut pemerintah untuk mengambil tindakan cepat dan efektif. Melalui kebijakan yang tepat, termasuk pengetatan kebijakan impor, pemberian insentif, peningkatan keterampilan pekerja, diversifikasi pasar, perlindungan sosial, dan dialog sosial, pemerintah dapat membantu mencegah PHK massal dan menjaga kesejahteraan para pekerja.

Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi hak-hak buruh dan memastikan bahwa mereka tidak menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. Dengan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan industri tekstil yang berkelanjutan dan adil bagi semua pekerja.

Pada akhirnya, tindakan yang diambil sekarang akan menentukan masa depan ribuan pekerja di industri tekstil. Inilah saatnya bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmen nyata terhadap kesejahteraan pekerja dan memastikan bahwa mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang di tengah tantangan yang ada.

Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Koran Perdjoeangan