Pemerintah Gagal Tegakkan Kepatuhan Wajib Pajak

Pemerintah Gagal Tegakkan Kepatuhan Wajib Pajak

Jakarta, KPonline – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Kali ini giliran para penggugat mengeluarkan amunisinya untuk menggagalkan kebijakan amnesti pajak dengan mengajukan sejumlah pakar hukum dan perpajakan.

Saksi ahli pertama yang didengarkan keterangannya di majelis adalah Eva Achjani Zulfa, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sasaran tembak Eva adalah Pasal 20 UU Pengampunan Pajak, yang menegaskan data dan informasi yang dilaporkan peserta amnesti pajak tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan tuntutan kasus pidana.

Bacaan Lainnya

“Pada lampirannya tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan tuntutan pidana, yang digaris bawahi penuntutan pidana itu bukan penuntutan pidana perpajakan, harus digaris bawahi kalimat tersebut,” kata Eva, Selasa (11/10).

Apabila pasal tersebut dipertahankan, Eva memastikan aparat hukum akan sulit menuntaskan kasus korupsi atau yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang. Karenanya, ia meminta Pasal 20  dicabut karena tidak seharusnya menjadi bagian dari UU Pengampunan Pajak.

Tidak Adil

Saksi ahli penggugat yang berikutnya dimintai keterangan berasal dari Indonesian Tax Care (INTAC), lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengaku peduli terhadap sistem perpajakan yang adil dan berkepastian hukum. Mereka adalah Basuki Widodo selaku Direktur INTAC, Makmur Amin, dan Ahmad Akbar.

Basuki menganggap keliru pihak-pihak yang menganggap program amnesti pajak memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi wajib pajak. Sebab, obral amnesti ini hanya menguntungkan para pengusaha pengemplang pajak. Sebaliknya, bagi masyarakat umum yang selama ini patuh membayar pajak kebijakan ini dianggap sebagai momok yang menakutkan.

Ia mengatakan, UU Pengampunan Pajak menyasar semua kalangan, baik pengusaha maupun masyarakat biasa. Namun, dalam pelaksanannya justru tidak adil, terutama bagi wajib pajak yang patuh maupun masyarakat kecil atau pelaku UMKM yang tidak mampu membayar konsultan pajak.

“Kalau memang tax amnesty ini pun berhasil, seharusnya pemerintah tidak bangga karena jumlah itu masih kecil sebenarnya jika dibandingkan dengan kerugian negara yang selama ini pemerintah juga tidak pernah transparansi berapa kerugiannya,” ungkap Basuki.

Tax amnesty, kata Basuki, seperti surga bagi pengusaha besar, yang selama ini dengan sengaja melarikan hartanya ke luar negeri guna menghindari pajak.

“Jadi ada peluang penyimpangan dengan adanya ini. Jadi ini saya lihatnya dengan adanya kebijakan amnesti pajak semakin membuat rapuh perpajakan di Indonesia,” papar Basuki.

Aktivis INTAC lainnya, Makmur Amin, menilai UU Pengampunan Pajak tidak adil bagi buruh yang selama ini penghasilannya rutin dipotong pajak. Menurutnya, mayoritas  buruh taat membayar pajak dengan tarif normal selama ini, tetapi para pengemplang pajak justru seperti diberikan diskon pajak dengan hanya membayar uang tebusan dengan tarif murah pada periode pertama amnesti pajak.

“Serikat buruh adalah WP yang patuh, tapi pihak-pihak tertentu diberikan kesempatan amnesti pajak dengan tarif istimewa. Ini pihak-pihak yang keuangannya banyak dan ini pelanggaran Hak Asasi Manusia,” jelasnya.

Pemerintah Gagal

Mempertegas pernyataan koleganya, Ahmad Albar menganggap kebijakan amnesti pajak justru memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah dalam menegakan kepatuhan wajib pajak. Menurutnya, semakin banyak WP yang mengikuti kebijakan ini, maka akan semakin memperlihatkan pemerintah tak becus dalam bekerja.

“Pemerintah itu seolah-olah berpesta kemarin mereka berhasil, padahal dalam ketentuan mereka telah gagal menerapkan sistem pungutan pajak,” kata Ahmad.

Apabila seluruh target amnesti pajak tercapai, Ahmad menilai itu sebagai keberhasilan semu. Pencapaian uang tebusan amnesti pajak dianggapnya sebagai nominal pajak terhutang yang selama ini tak mampu dikejar oleh pemerintah. (*)

Sumber: CNN Indonesia

Pos terkait