Pendidikan Sebagai Ruang Regenerasi Dalam Organisasi

Pendidikan Sebagai Ruang Regenerasi Dalam Organisasi

Bogor, KPonline – “Bahwa kaderisasi sama artinya dengan menanam bibit. Untuk menghasilkan pemimpin bangsa di masa depan, pemimpin pada masanya harus menanam.” Sebait kalimat diatas ditulis dan diungkapkan oleh Moehammad Hatta, salah satu Bapak Pendiri Bangsa besar ini.

Generasi penerus selalu diharapkan kehadirannya dan ditunggu-tunggu kedatangannya. Laksana seorang bayi, yang dengan rasa was-was dan penuh kecemasan. Harap-harap cemas dan cemas dengan penuh harapan.

Hal seperti itu, seringkali dihadapi oleh pasangan muda yang sedang menunggu kelahiran anak pertama mereka. Ya, hampir mirip seperti itulah rasanya.

Dalam sebuah organisasi serikat pekerja atau serikat buruh yang kuat sekalipun, dalam arti kuat secara pendidikan, pendanaan, militansi anggota dan hal-hal yang lainnya, regenerasi adalah tetap suatu keharusan.

Sesuatu hal yang sudah tidak bisa tawar menawar lagi. Orang Betawi bilang “kudu dilakuin, kaga boleh kaga”.

Dan kenapa harus dilakukan regenerasi Apakah Anda mempunyai nama keluarga, di akhir nama lengkap Anda? Apakah Anda ingin anak cucu Anda nanti, memiliki nama keluarga di akhir nama lengkap mereka?

Yap, something like that. Itu baru dalam ruang lingkup keluarga. Bagaimana jika sudah ada dalam ruang lingkup sebuah organisasi besar, sebuah organisasi serikat pekerja atau serikat buruh yang cukup besar dan kuat?

Apakah Anda, sebagai salah seorang pimpinan serikat pekerja atau serikat buruh, tidak ingin ketika tua nanti, menyaksikan organisasi yang dulu Anda naungi semakin besar dan kuat? Ya, minimal nama organisasi tersebut masih ada dan terdengar hingga beberapa abad kedepan? Iya kan?

Dan bagaimana membangun sistem regenerasi yang kuat?

Tersebutlah, seorang propagandis dan penulis terkenal yang sudah menulis belasan buku. Cukup lumayan terkenal untuk kelas penulis cerpen dan sejarah pergerakan dan perjuangan kaum buruh di Indonesia.

Kita beri saja nama untuk nama penulis tersebut Kahar S Cahyono. Nama yang cocok bukan, untuk seorang penulis yang juga aktivis serikat pekerja.

Sebagai seorang penulis, beliau akan amat sangat berbahagia dunia akhirat, jika ada orang-orang yang akan meneruskan tradisi menulis.

“Menulis itu untuk keabadian, bahkan hanya sekedar status media sosial ataupun sekedar chattingan,” salah satu quote beliau di Malam Jumat yang lalu.

Karena memang, tradisi menulis merupakan tradisi yang sangat riskan, rentan dan mudah mematahkan semangat generasi Mecin dan generasi yang mengaku Millenial saat ini.

Pun begitu, tanpa henti dan tanpa patah semangat, dengan semangat mudanya, Kahar S Cahyono berkeliling ke berbagai. Tujuannya hanya satu, menebarkan semangat tradisi menulis, agar tumbuh bibit-bibit unggul dalam menulis. Sehingga pada akhirnya, setiap kejadian, waktu dan tempat, dapat direkam dalam sebuah tradisi yang sarat akan seni, yang bernama menulis.

Dengan cara apa, sistem regenerasi itu dapat dilakukan?

Pendidikan. Salah satu cara dalam menjaring dan mendapatkan bibit-bibit unggul dalam regenerasi adalah melalui pendidikan. Seperti yang telah dan akan terus dilakukan oleh Kahar S Cahyono, dalam mencetak dan menumbuhkan tradisi menulis.

Pun begitu, dalam sebuah serikat pekerja atau serikat buruh, melalui pendidikan perburuhan, pendidikan advokasi, pendidikan kepemimpinan, dan berbagai pendidikan yang lainnya, maka akan lahir pendidik-pendidik baru, advokat-advokat handal dan akan muncul pemimpin-pemimpin yang berintegritas.

Hal pertama apa yang harus dilakukan?

Berserikat. Ya, saya, Anda dan orang-orang yang menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik lagi harus berserikat terlebih dahulu. Karena dengan berserikat, kita akan menjadi kuat.

Karena dengan berserikat, kita akan mampu menghimpun kekuatan massa dan pendanaan. Pada akhirnya, kita akan mampu menyelenggarakan pendidikan-pendidikan yang bermutu, yang berkelas dan berkualitas.

Bahkan, tidak akan menutup kemungkinan, akan lahir Kahar-Kahar yang baru di ufuk Timur negeri ini. Akan muncul penulis-penulis baru, yang handal dan berintegritas tentunya. Dan apa yang telah diungkapkan oleh Bung Hatta akan terwujud. Dengan menabur benih, akan lahir pemimpin-pemimpin bangsa di masa depan.

Jadi, ayo tunggu apalagi. Ayo kita berserikat. Agar kita mampu menyelenggarakan pendidikan menulis. Hingga pada akhirnya, muncul Kahar-Kahar yang baru, tunas-tunas penulis yang handal dan penabur benih-benih kepemimpinan.

Bagaimana dengan Kahar yang lama? Dia sudah memesan kepada saya, gado-gado dan karedok pedas dengan karet gelang dua. Menyantap santapan tradisional tersebut dari atas bukit di ujung desa sana, sambil berkata, “Kalau kalian belum diamankan pihak aparat dan yang berwajib, karena tulisan kalian. Kalian belum lulus, ehhhh…”