Oleh: Ahmad Eko Arifianto
Mojokerto, KPonline – Setelah lulus sekolah, yang ada ada dalam benak saya adalah bekerja. Apapun pekerjaannya.
Oleh karena itu, begitu lulus, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari pekerjaan.
Sempat terbesit dalam benak saya, dulu, sambil bekerja saya akan kuliah.
Setelah mencari pekerjaan kesana-kemari, akhirnya saya bisa diterima untuk bekerja di sebuah perusahaan. Saya sempat pindah beberapa perusahaan yang gajinya di bawah rata-rata. Hingga akhirnya, saya diterima bekerja di sebuah perusahaan multinasional, di Mojokerto.
Pada awalnya, saya kurang mengerti apa pentingnya menjadi anggota serikat pekerja. Hingga akhirnya, ketika ada seseorang yang mengajak saya menjadi anggota serikat, saya ikut saja. Boleh dibilang, saya hanya ikut-ikutan.
Setelah terdaftar sebagai anggota serikat pekerja, saya diajak untuk ikut demonstrasi. Saya sempat bingung. Dalam hati saya bertanya. Untuk apa demo, toh gaji di perusahaan ini sudah lumayan besar. Setidaknya jika dibandingkan dengan perusahaan tempat saya bekerja sebelumnya.
Saya tanya ke teman. Teman saya ternyata juga memiliki masalah yang sama. Dia juga bingung. Namun begitu, rasa ingin tahu saya terus tumbuh. Dan karena saya sudah terlanjur bergabung menjadi anggota serikat, akhirnya saya ikut saja.
Tidak hanya demontrasi. Saya juga mengikuti kegiatan pecinta alam yang diselenggarakan serikat pekerja. Disinilah saya belajar tentang kebersamaan. Lambat laun saya mengerti dan mempunyai pandangan, bahwa buruh itu adalah kami. Kami yang berjuang bersama, untuk tujuan bersama dan untuk hidup yang lebih layak.
Adakalanya, sebagai buruh, kita merasa kurang diperhatikan oleh perusahaan. Apalagi, prinsip pengusaha adalah pengeluaran sedikit untung besar. Mereka inginnya gaji buruh kecil, fasilitas kesejahteraan minim.
Saat itulah saya berpikir, apa jadinya apabila para buruh itu diam? Apakah mungkin perusahaan akan memberikan apa yang menjadi hak kita? Rasanya tidak. Tidak akan datang perubahan pada suatu kaum, jika kaum itu sendiri tidak berjuang untuk merubahnya.
Perlahan, akhirnya saya mengerti mengapa para buruh melakukan demonstrasi. Mengapa buruh harus menuntut kesejahteraannya.
Saya rasa, apa yang mereka lakukan bukan hanya untuk dirinya sendiri. Dia berjuang untuk keluarganya. Lebih besar dari itu, mereka berjuang untuk bangsa dan negara. Kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Dalam kesempatan mengikuti demonstrasi selanjutnya, saya lebih bisa memahami arti sebuah demonstrasi. Kini, saya tidak lagi ikut-ikutan.
Panas terik matahari tak saya hiraukan. Bahkan hujan sekalipun.
Pernah, satu ketika saya kurang enak badan. Tapi saya paksakan ikut aksi solidaritas. Bagi saya, susah senang harus kita rasakan bersama. Saya tidak mau cengeng dalam perjuangan ini.
Barangkali, di pikiran orang awam yang tidak mengerti mengapa buruh bisa ikut demosntrasi, mereka mengatakan demo itu tidak baik. Demo itu nyusahin orang lain, buruh nggak pandai bersyukur, gaji sudah gede tapi kerjaannya nuntut melulu.
Mereka tidak ingat. Ketika gaji naik, siapa yang senang? Siapa yang menikmati? Semuannya menikmati, termasuk mereka yang tidak ikut demonstrasi. (*)
Tentang Penulis:
Ahmad Eko Arifianto lahir di Mojokerto, pada tanggal 26 April 1992. Pria yang suka foto, sepak bola, dan naik gunung ini memiliki semboyan, “Hidup itu mudah, tinggal menjalani dan jangan disesali.”
==========
Tulisan ini merupakan hasil praktek pelatihan menulis yang diselenggarakan PUK SPAMK FSPMI PT SAI di Mojokerto. Jika organisasi (PUK/PC/KC) di wilayah anda membutuhkan jasa pelatihan menulis, hubungi redaksi KPonline pada email: koranperdjoeangan@gmail.com. Kami akan dengan senang hati untuk berbagi dan belajar bersama. Baca juga tulisan menarik lainnya dari Peserta Pelatihan Menulis.