Pengamat: Ada Potensi Pemerintah Kalah Dari Freeport di Arbitrase

Pengamat: Ada Potensi Pemerintah Kalah Dari Freeport di Arbitrase
Lokasi tambang PT Freeport Indonesia di Papua (Foto: Reuters)

Jakarta, KPonline – Sebagian pandangan dan alasan yang disampaikan oleh pemerintah atas masalah kontrak karya PT. Freeport Indonesia tidak sepenuhnya salah. Kontrak karya Freeport sendiri akan berakhir pada tahun 2021 mendatang.

“Ini bentuk kepatuhan terhadap peraturan terhadap perUndang-Undangan yang berlaku tidaklah sepenuhnya salah. Walaupun agak aneh karena sikap pemerintah ini disaat tertentu taat terhadap, di lain waktu justru melanggar aturan,” kata Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, dalam keterangan resmi, Jumat (10/3/2017).

Bacaan Lainnya

Baca juga: Freeport PHK Karyawan: Dua gajah beradu, entah bercinta atau bertarung, rumput di bawahnya terinjak-injak

Namun demikian, dalam konteks Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba yang telah berjalan, tentu harus diperiksa apakah ada pasal di dalam kontrak karya yang lex specialist dan menyebutkan pengaturan soal kemungkinan adanya perubahan Undang-Undang yang terjadi di internal bangsa Indonesia. Dalam hal perubahan Undang-Undang itu sendiri pihak asing (negara dan korporasi) tak boleh melakukan intervensi.

Jika ketentuan ini termaktub dalam kontrak karya, maka jika pihak PT. Freeport Indonesia mengajukan gugatan hukum melalui Arbitrase kemungkinan pemerintah akan menang dalam proses sengketa Kontrak Karya ini. Apabila hal sebaliknya dekat terjadi, yaitu tidak ada klausul yang menyebutkan perubahan Undang-Undang tersebut sedang KK mengacu pada Undang-Undang sebelumnya, maka yang paling mungkin didesakkan oleh Pemerintah adalah kewajiban pembangunan smelter yang sudah terdapat pada KK dengan pihak PT Freeport Indonesia.

Baca juga: Freeport Jangan Korbankan Karyawan

“Sebab dengan posisi kontrak karya saat ini dan pihak PT. Freeport mengajukan permasalahan ini ke meja Arbitrase, jelas sekali potensi Pemerintah kalah akan sangat besar dan itu akan merugikan kepentingan bangsa Indonesia secara ekonomi dan keuangan,” ujar Defiyan.

Ia juga meragukan dengan posisi keuangan negara saat ini apakah masuk akal jika pemerintah terus memaksakan divestasi saham PT. Freeport Indonesia sebesar 51 persen. Sebagai pembelajaran dan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan di masa depan dalam konteks hukum bisnis, klausul hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian kerjasama akan diatur dikemudian hari dan sesuai dengan Undang-Undang terbaru juga harus dimasukkan dalam perjanjian apapun dan dengan pihak manapun.

Baca juga: Jangan Jadikan Kasus Freeport Sebagai Nasionalisme Semu

Secara ekonomi, apapun kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah, termasuk soal kewajiban pembangunan smelter harus dilakukan terlebih dahulu dengan kajian yang mendalam akan manfaat dan biaya (cost and benefit analysis). Ini bertujuan agar investasi yang telah ditanamkan tak menjadi sesuatu hal yang kontraproduktif.

“Sebagai contoh, pembangunan yang efisien dan efektif dalam konsep manajemen produksi untuk pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) adalah pabrik harus dekat dari sumber bahan baku produksi sehingga harga pokok produksi bisa lebih rendah. Selama ini, produk dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia kalah bersaing dengan produk-produk dari negara lain.Ini disebabkan kelemahan tingginya harga pokok produksi yang terjadi akibat mahalnya biaya logistik. Kondisi ini mengakibatkan harga produk dalam negeri tidak kompetitif di pasar.

“Beban biaya logistik ini juga menjadi perhatian utama dari Presiden Joko Widodo dan sebagian besar para Menteri yang nota bene pembantu Presiden di bidang ekonomi belum memperhatikannya dengan serius,” tutup Defiyan.

Sumber: Suara