Jakarta,KPonline- Gelombang penolakan terhadap Omnibus “Investor” Law terus meluas kali ini penolakan datang dari Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak). Gebrak sendiri merupakan gabungan berbagai organisasi buruh, petani, perempuan, dan organisasi masyarakat sipil. Di antaranya adalah Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Sentra Gerakan Buruh Nasional (SGBN), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Pergerakan Pelaut Indonesia, Jarkom Serikat Pekerja Perbankan, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), dan Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia. Selain itu, organisasi yang tergabung dalam gebrak adalah LBH Jakarta, AEER, KPA, GMNI UKI, Aksi Kaum Muda Indonesia (AKMI), Federasi Pelajar Indonesia (Fijar), LMND DN, dan lainnya.
Dalam rilisnya Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menyatakan RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) berpotensi Banjir Investasi, tapi menenggelamkan Kesejahteraan Buruh. Menurut Gerbrak di era pemerintahan Jokowi, Indonesia ingin dijadikan rumah yang semakin ramah bagi investor. Demi investasi, pemerintah merancang setidaknya tiga payung hukum yaitu RUU Perpajakan, Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) dan Usaha Kecil Mikro, dan Menengah (UMKM) dengan tujuan menghapus hambatan masuknya investasi. Namun RUU Cilaka ternyata juga bermaksud memperluas sistem tenaga kerja fleksibel yang sudah pasti merugikan kesejahteraan buruh dan mempreteli hak demokratisnya. Apalagi Jokowi sempat memberikan pidato yang sangat lantang dan tidak segan “menggigit” siapa saja yang menghalangi program tersebut.
Oleh karena itu, Gerakan Buruh untuk Rakyat (Gebrak) merangkum empat alasan penolakan terhadap RUU Cilaka:
*1. RUU Cilaka Memiskinkan Kelas Buruh Indonesia*
Kelahiran RUU Cilaka dilatarbelakangi memburuknya ekonomi global yang berdampak pada Indonesia. “Agar dapat keluar dari jurang resesi ekonomi, pemerintah menimpakan seluruh beban kepada kelas buruh dan rakyat. Rakyat yang sudah terbebani kenaikan iuran BPJS dan rencana kenaikan tarif listrik kini dihantui dampak buruk RUU Cilaka,” ungkap Juru Bicara Gebrak sekaligus Ketua Umum Konfederasi KASBI.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah dengan bangga mengumumkan konsep “easy hiring-easy firing” atau “mudah rekrut, mudah pecat” dalam RUU Cilaka untuk menggenjot investasi. Penerapannya akan muncul dalam pasal tentang pemutusan hubungan kerja yang dipermudah, pengurangan gila-gilaan terhadap pesangon, perluasan jenis pekerjaan kontrak-outsourcing, perhitungan upah berdasarkan jam kerja, dan lainnya. Pemerintah juga memanjakan para pengusaha dengan menghapus pidana perburuhan dan menggantinya dengan sanksi perdata berupa denda dan sanksi administrasi.
Semua ini dilakukan demi investasi. Padahal, Peraturan Pemerintah no 78 tahun 2015 tentang Pengupahan yang ditolak mayoritas serikat buruh saja tidak berdampak banyak terhadap masuknya investasi. Oleh karena itu, Gebrak menilai RUU Cilaka akan berdampak buruk pada 55 juta buruh formal di semua sektor termasuk media, perbankan, industri kreatif, dan lainnya.
*2. RUU Cilaka Merugikan Pekerja Muda dan Calon Pekerja*
Pekerja muda dan calon pekerja yang saat ini masih duduk di bangku sekolah maupun perguruan tinggi juga akan merasakan dampak buruk RUU Cilaka. “Dalam kondisi pasar tenaga kerja fleksibel yang terus diperluas, para pekerja muda dan calon pekerja tidak akan memiliki jaminan kerja (job security) karena sewaktu-waktu dapat dipecat dengan mudah dan murah. Mereka akan berstatus sebagai buruh kontrak dan outsourcing bertahun-tahun tanpa ada kepastian,” kata Ketua Pengurus Harian Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI). Menurut Ellena, kondisi ini memperparah nasib para pekerja muda dan calon pekerja hari ini yang kerap dieksploitasi keringatnya menggunakan aturan tentang pemagangan yang membuat mereka menerima upah jauh dari layak.
*3. Omnibus Law Bermasalah dalam Sistem Hukum Indonesia*
Omnibus Law merupakan metode pembuatan undang-undang dengan mencabut banyak undang-undang dan peraturan lain hanya dalam satu kali pengesahan sehingga kerap disebut “undang-undang sapu jagat”. Meski begitu, Omnibus law bukan tanpa permasalahan dalam hukum Indonesia. Menurut mantan Hakim Konstitusi Prof. Maria Farida, omnibus law tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem hukum Indonesia yang menganut civil law. Dia menilai metode Omnibus Law yang akan diterapkan dalam pembuatan RUU Cilaka justru akan menambah persoalan sistem hukum kita yang sudah tumpang tindih dan saling bertabrakan antar undang-undang.
Penyusunan RUU Cilaka harus taat pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 tahun 2019. “Bila tidak, bukan tidak mungkin akan muncul masalah baru seperti dalam sistem penyusunan peraturan perundang-undangan hingga ketidakpastian hukum. Posisi RUU Cilaka harus tegas sesuai tata urutan perundang-undangan bila tidak maka UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus direvisi juga,” tambah Direktur LBH Jakarta Arif Maulana.
*4. Investasi Menggerus Ruang Demokrasi*
Investasi yang digenjot untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional sejatinya adalah hanya untuk menyelamatkan krisis kapitalisme dan hanya menguntungkan para pemodal.
Kelesuan ekonomi global memaksa pemerintahan Jokowi untuk mengeluarkan RUU Cilaka melalui mekanisme Omnibus Law yang kemudian mengorbankan hak-hak rakyat dan mempersempit ruang ruang demokrasi rakyat.
“Rakyat dan buruh akan dihadapi dengan sejumlah aturan hukum yang kemudian menghambat kaum buruh untuk memperjuangkan peningkatan kesejahterannya. Di sisi lain RUU Cilaka ini justru melindungi para pengusaha dalam melakukan pelanggaran terhadap buruh karena sanksi pidana akan dihilangkan dalam aturan itu,” jelas Ilhamsyah, Juru Bicara Gebrak dan Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI).
*5. Perumusan Tidak Melibatkan Partisipasi Rakyat*
Gebrak juga menilai proses perumusan terkesan dilakukan tergesa-gesa, tertutup, dan tanpa ada upaya mendengarkan pendapat publik. Hal itu ditambah dengan komposisi Satgas Omnibus Law bentukan pemerintah yang didominasi oleh aktor-aktor yang anti keadilan sosial dan demokrasi rakyat. Sebanyak 127 anggota Satgas Omnibus Law didominasi pengusaha, perwakilan pemerintah daerah, dan akademisi.
Pada akhirnya Gebrak berkesimpulan RUU Cilaka hampir pasti akan menjadi fatamorgana pertumbuhan ekonomi. Gebrak meyakini aturan ini akan memicu perlawanan besar kelas buruh dari berbagai sektor. Prosesnya yang tidak transparan dan terburu-buru menjadikan RUU Cilaka tidak demokratis.
Oleh karena itu, Gebrak menyerukan kepada seluruh lapisan kelas buruh dan rakyat Indonesia untuk bersatu mengambil sikap dan posisi tegas menolak RUU Cilaka yang memanjakan pengusaha namun menyengsarakan rakyat.