Pentingnya Pengorganisasian Serikat Pekerja & Membangun Kesadaran Berorganisasi Bagi Generasi Muda

Kampanye tentang serikat pekerja menjadi sebuah keharusan bagi para pemimpin buruh pasalnya sampai detik ini masih banyak buruh yang belum berserikat, entah tidak peduli atau tidak tahu pentingnya berserikat.

Namun menjadi kewajiban bagi para pemimpin serikat pekerja untuk menyampaikan pemahaman tentang pentingnya serikat pekerja. Pemahaman tentang serikat pekerja harus disampaikan secara terus menerus dan berulang agar pekerja mengetahui apa yang sedang diperjuangkan oleh serikat pekerja dan memang harus berulang hingga akan dipahami dengan baik oleh pekerja.
Pengorganisasian buruh penting karena dapat meningkatkan kondisi dan kekuatan ekonomi kelas pekerja. Berikut beberapa alasan mengapa buruh perlu berorganisasi, di antaranya : Memperjuangkan hak-hak pekerja, Membangun kesadaran dan solidaritas, Menyalurkan aspirasi dan keluhan, Mewakili pekerja di Lembaga Bipartit, Membuat perjanjian kerja bersama, Membentuk serikat yang kuat dan Membangun ekonomi yang kuat.

Serikat pekerja adalah satu dari sedikit lembaga sosial yang secara potensial mampu mendorong peningkatan kesetaraan dan keadilan sosial, khususnya melalui peran yang mereka mainkan dalam mengorganisir kekuatan kolektif serta strategi yang mereka terapkan di dalam suasana demokrasi sebagai kekuatan penyeimbang dari kapitalisme.
Demokrasi memang syarat mutlak keberadaan organisasi kaum buruh dalam memperjuangkan kepentingannya ini, dan banyak pengalaman sejarah menunjukkan bahwa serikat pekerja yang mampu membawa suasana untuk lebih berkeadilan di masyarakat, yang tidak hanya dinikmati dirinya sendiri tetapi juga masyarakatnya, dan oleh karenanya gerakan serikat pekerja menjadi bagian dari pejuang demokrasi yang konsisten.

Hal ini sebagai bentuk sumbangsih serikat pekerja tidak hanya kepada anggota dan keluarganya namun juga kepada masyarakat secara umum. Oleh sebab itu, gerakan serikat pekerja memberikan kontribusi positif dan pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan sosial.
Namun belakangan ini, sering kali kita mendengar keluhan tentang menurunnya keanggotaan serikat buruh (union density). Semakin sedikitnya pekerja, terutama pekerja muda, yang bersedia bergabung dalam serikat buruh, terutama melalui metode pengorganisasian langsung kepada para pekerja tersebut.

Langkah-langkah pengorganisasian langsung kepada pekerja muda memang telah dilakukan oleh hampir semua serikat yang saya temui. Namun, hasilnya sering kali tidak memenuhi harapan. “Kenapa ya, Bung, anak-anak milenial dan Gen Z tidak tertarik gabung serikat? Padahal kerjanya sama-sama berat,” keluh seorang kawan organiser dari serikat pekerja
Fakta ini diakui oleh seorang pengurus serikat buruh setempat. “Saat ini mengorganisir buruh muda itu susah, tapi serikat-serikat baru terus bermunculan,” ungkapnya.

Berdasarkan diskusi bahwa pengorganisasian langsung ke buruh-buruh muda dengan cara yang mendatangkan optimisme, bukan pesimisme, adalah mungkin, tetapi memerlukan metode yang tepat dan kontekstual.
Pendekatan ini lebih efektif dilakukan oleh anggota serikat yang sebaya, karena seringkali terdapat rasa segan dari pekerja muda terhadap pekerja yang lebih senior. Dengan kata lain, organiser serikat buruh harus memposisikan diri sebagai teman sebaya yang memiliki pengalaman serupa sebagai buruh.

Komunitas berbasis hobi ini dapat terus dipertahankan setelah para buruh mudah bergabung dengan serikat. Ruang sekretariat atau tempat berkumpul serikat dapat dijadikan sebagai salah satu tempat untuk melepas penat dari kesibukkan pekerjaan.
Dengan kata lain, serikat sebisa mungkin menjadi ruang bagi buruh muda untuk dapat istirahat dari kelelahan dan kepenatan kerja dan meningkatkan kapasitas diri. Tak lupa, serikat juga harus menjadi tempat untuk berbagi keluh kesah tentang suasana kerja dan menyusun agenda bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Ada beberapa hambatan yang membuat keluarga tidak mendukung anggota keluarganya berserikat. Pertama, belum paham apa itu fungsi serikat. Kedua, beban pekerjaan domestik yang dianggap tidak terselesaikan karena pasangan/anggota keluarga sibuk berserikat. Ketiga, rasa cemburu berlebih dari laki-laki yang membuatnya merasa memiliki power lebih jika bisa mengontrol aktivitas perempuan.

Hambatan ini adalah masalah konkret yang juga harus menjadi agenda pengorganisasian di serikat pekerja, terutama di tengah keluhan sulitnya mengorganisir pekerja muda. Oleh karena itu, pengorganisasian keluarga memiliki peran penting dalam proses ini, karena mempengaruhi keterlibatan pekerja dalam serikat.

Langkah awal dapat dimulai dengan mengajak anggota keluarga yang kerap melarang pasangan atau anaknya terlibat dalam serikat untuk menikmati secangkir kopi bersama di sekretariat serikat buruh. Alternatif lain, mengunjungi rumah-rumah anggota serikat atau pekerja yang partisipasinya dihalangi oleh keluarganya sendiri.

Di ruang yang hangat tersebut, tim yang bertugas dapat berdialog secara empatik, menyampaikan esensi dan pentingnya serikat dalam kehidupan pekerja. Sebelum melakukan ini, alangkah baiknya melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan anggota serikat yang mengalami hambatan dari keluarganya, karena merekalah yang paling mengerti cara menghadapi situasi tersebut.

Di tengah perubahan zona di beberapa daerah dari agraris menjadi industri, dimana pabrik-pabrik baru berdiri, ritual-ritual keluarga buruh menjadi momen penting dalam komunitas keluarga buruh. Dalam komunitas yang masih kental dengan tradisi dan ritual seperti aqiqahan, selamatan kelahiran, syukuran panen atau renovasi rumah, hingga kunjungan pada orang sakit, serikat buruh dapat memainkan peran untuk melakukan intervensi. Momen dalam ritual tersebut bisa diintervensi oleh serikat pekerja.

Saat hadir dalam acara-acara tersebut, serikat pekerja dapat memberikan bingkisan kecil sebagai simbol kepedulian, yang membuat keluarga merasa terikat secara emosional dengan serikat pekerja. Seorang anggota serikat pekerja yang saya temui menyampaikan bahwa kehadiran serikat dalam acara-acara keluarga membuatnya merasa diperhatikan, menjadikan keanggotaan di serikat bukan hanya tugas, melainkan suatu kegiatan yang membangkitkan keguyuban dalam bayangan komunitas.

Langkah-langkah yang telah disebut tidak mengurangi esensi pentingnya pendidikan dalam serikat untuk meningkatkan kapasitas kolektif. Pendidikan mengenai dinamika perburuhan dan, bila memungkinkan, kewarganegaraan, menjadi hal yang krusial. Pendidikan menjadi langkah vital dalam pengorganisiran buruh muda, terutama bagi mereka yang lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau universitas namun tumbuh dalam kultur yang “apolitis”. Banyak di antara mereka tidak memahami hak-hak mereka dalam dunia kerja. Mereka dibesarkan dengan pemahaman bahwa mendapatkan pekerjaan saja sudah cukup, atau dengan ungkapan “asal dapat kerja saja sudah senang”.

Pandangan ini valid, namun hanya mencerminkan separuh dari realitas. Menyiratkan bahwa opsi untuk mendapatkan kehidupan yang layak terbatas, sehingga mereka harus menerima kerentanan yang dihadapi. Kegagalan dalam industrialisasi dan reforma agraria yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah justru membatasi kesempatan kerja di Indonesia di saat populasi terus bertambah.

Model pendidikan yang relevan adalah gabungan antara aspirasi, kemunculan kesadaran, dan pengalaman. Pendidikan harus satu tarikan nafas dengan advokasi dan agenda yang ditawarkan oleh serikat pekerja. Pendidikan yang ideal mencakup pengalaman hidup yang nyata dan pengetahuan yang mendalam.

Pendidikan kewarganegaraan bisa dimulai dengan berbagi pengalaman yang tidak mengenakan, seperti kesulitan mengendarai kendaraan di jalan yang rusak. Pengalaman ini kemudian dikaitkan dengan advokasi-advokasi untuk pemenuhan hak-hak warga negara oleh pemerintah, termasuk pembangunan jalan yang berkualitas, nyaman dan aman.

Dalam sebuah percakapan di tengah makan siang pada sebuah warung di dekat pabrik, seorang pengurus serikat buruh di Morowali mengeluh, “Sudah diajak pendidikan, tapi sangat susah dan pada males.” katanya
Keluhan ini valid, Jam kerja panjang membuat buruh yang sudah berkeluarga lebih memilih pulang ke rumah menemui anaknya. Sementara buruh muda yang belum menikah lebih memilih nongkrong santai di café atau mall.

Namun, dari hasil obrolan di berbagai tempat, jika pendidikan dilakukan dengan konsisten dan ada kepastian pengalaman serta aspirasi semua orang didengar, maka semakin lama jumlah peserta akan bertambah. Di samping itu, agenda pendidikan juga bisa berjalan rutin jika ada tim penanggung jawab acara yang bersedia menjalankan tugasnya.

Langkah-langkah ini tentu tak mudah dilakukan karena membutuhkan energi, waktu, dan logistik yang mencukupi. Oleh sebab itu, tim kerja yang efektif dan efisien dalam tiap model pendekatan dibutuhkan. Dengan tim kerja yang efisien dan efektif kegiatan ini bisa berkelanjutan tanpa mengandalkan satu dua sosok di dalam serikat pekerja.

Proses ini tentu tidak bisa instan, perlu proses pembelajaran yang harus dilalui dan dibutuhkan kerendahan hati serta sikap demokratis untuk terus belajar dan mendengar sebagai kawan.
Semoga bermanfaat…!!!

Bekasi, 9 Oktober 2024
Ditulis Selama Pengorganisasian Buruh di Morowali oleh Yanto Tim Organizer DPP FSPMI (Bidang Infokom PP SPL FSPMI)