Bukan Untuk Menyaingi Laki-laki
Oleh: Mundiah
Bagiku, tahun 2006 adalah tahun yang bersejarah. Karena sejak tahun itu, banyak peristiwa aku alami. Hidup serasa menjadi lebih berarti. Ibarat menempuh perjalanan panjang, aku mendapatkan banyak pengalaman. Pahit manisnya. Duka dan bahagianya.
Itulah sebabnya, aku merasa perlu untuk membagi cerita ini. Cerita tentang anak manusia yang bekerja dengan penuh suka cita untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.
Berawal dari kepercayaan yang diberikan kepadaku menjadi salah satu perwakilan anggota dalam kepengurusan di serikat pekerja. Padahal sebelumnya, selama kurang lebih 18 tahun bekerja di perusahaan ini, aku sama sekali tidak pernah berfikir untuk terlibat lebih jauh dalam kegiatan serikat. Yang aku ketahui, agar mendapatkan upah lebih besar adalah dengan melakukan kerja lembur. Agar tidak di PHK adalah bermanis muka dengan atasan.
Setelah aktif didalam serikat, ternyata semua anggapan itu salah. Perlahan aku mulai mengetahui, bahwa bekerja pun ada undang-undang yang mengaturnya. Apa saja kewajiban kita sebagai pekerja. Apa saja hak yang harus kita dapatkan sebagai seorang karyawan.
Didalam serikat, banyak hal yang aku dapatkan. Tidak semata-mata berbentuk uang. Aku mendapatkan pengetahuan. Memiliki banyak kawan. Dan sebentuk perasaan bahagia karena bisa memperjuangkan hak dan keadilan bagi kaum pekerja.
Satu ketika, aku mendapat kesempatan untuk hadir didalam seminar yang mengambil tema tentang HIV-AIDS. Jujur saja, aku sempat grogi. Apalagi ini adalag seminar pertama yang pernah aku ikuti.
Dalam perjalanan ke tempat pelaksanaan seminar, aku bertanya dalam hati. Apa hubungan antara pekerja dengan penyakit yang konon belum ada obatnya itu?
Setelah dijelaskan, barulah kemudian aku mengerti, mengapa pekerja juga perlu memiliki pemahaman tentang HIV-AIDS. Pekerja di sebuah perusahaan datang dari berbagai daerah. Tingkat pengetahuan yang minim, bisa menyebabkan penyebaran penyakit mematikan ini akan semakin luas.
Jangan khawatir, HIV-AIDS tidak menular hanya karena kita minum satu gelas bersama atau sekedar berjabat tangan. Penularan penyakit ini adalah karena berganti-ganti pasangan. Bisa juga dari jarum suntik yang dipakai bersama dengan orang yang terjangkit HIV-AIDS. Beberapa laporan menyebutkan, banyak pekerja di sektor padat karya banyak yang terjangkit penyakit ini. Menjadi pesan bagi kita, untuk tidak bergonta-ganti pasangan.
Setelah seminar itu, aku sering mengikuti berbagai pendidikan. Baik yang diselenggarakan oleh serikat pekerja atau lembaga yang lain. Perlahan, pengalamanku didalam serikat pekerja semakin bertambah. Hingga akhirnya aku terpilih sebagai salah satu pengurus serikat pekerja yang ada di perusahaan tempatku bekerja.
Dengan terpilih sebagai pengurus, aku aktif mengikuti kegiatan organisasi. Setelah berjalan lebih kurang satu tahun, aku menyadari jika karirku didalam perusahaan mulai stagnan. Tetapi hal itu tidak membuatku patah semangat. Aku tetap aktif didalam kegiatan-kegiatan serikat pekerja.
Belajar dari pengalaman itu, aku sering mengatakan kepada kawan-kawan perempuan yang ingin aktif didalam serikat agar menyiapkan diri. Berserikat itu menyenangkan. Asalkan kita bisa membagi waktu dan bertanggungjawab atas setiap peran.
Aku berharap akan semakin banyak perempuan yang menjadi pengurus serikat pekerja. Dalam struktur pengurus, perempuan bukan hanya ditempatkan pada bagian-bagian tertentu, seperti sekretaris, bendahara dan bidang pemberdayaan perempuan. Meskipun harus diakui, saat ini sudah ada kemajuan. Di beberapa unit, sudah ada perempuan yang mendapatkan tanggungjawab sebagai ketua serikat pekerja.
Ada banyak permasalahan perempuan yang muncul di tempat kerja. Dari masalah cuti haid yang sulit didapat, cuti hamil yang dipersoalkan, bahkan ada juga perempuan yang dipermasalahkan ketika tidak masuk kerja karena anak-anaknya sedang sakit. Aku kira, permasalahan-permasalahan seperti ini jarang dimengerti oleh laki-laki. Perempuan lah yang harus bersuara atas ketidakadilan yang didiamkan.
Sebaiknya, jumlah perempuan yang menjadi pengurus serikat pekerja terus ditingkatkan. Bukan hanya sekedar memenuhi quota 30 persen. Terutama untuk unit kerja yang mayoritas anggotanya adalah perempuan.
Keterlibatan perempuan didalam serikat pekerja bukan untuk menyaingi laki-laki. Apalagi kemudian mengganggap hal ini sebagai batu sandungan.
Aku termasuk orang yang percaya, jika perannya dimaksimalkan, perempuan mampu memberikan konstribusi yang besar bagi serikatnya.
Perempuan bukan benalu. Perempuan tercipta bukan untuk diposisikan sebagai pelengkap dan pendamping. Sebagai manusia, perempuan juga bisa menjadi penentu kebijakan. (*)