Pembaca Koran Perdjoeangan terhormat, mulai minggu ini kami akan menampilkan cerita 50 Kisah Perjuangan dari Pekerja Perempuan Indonesia yang di ambil dari buku Perempuan di Garis Depan, sebuah buku hasil gagasan Departemen Perempuan FSPMI.
Perempuan-perempuan ini hadir dengan mahakarya unik.
Melalui buku ‘Perempuan di Garis Depan’ yang didalamnya berisi 50 kisah perjuangan dan 50 gambar saat berdiri di garis depan, mereka buka suara. Hebatnya, ke-50 tulisan itu seluruhnya ditulis oleh buruh perempuan. Melalui rangkaian kata, mereka menyampaikan apa yang ada dalam hatinya.
Jarang sekali kita bisa membaca apa yang ada dalam pikiran perempuan. Bukan karena ia makhluk yang sulit dipahami. Tetapi, memang, seringkali perempuan lebih suka menyimpan apa yang ia rasa didalam sudut hatinya. Sampai-sampai ada ungkapan, diamnya perempuan adalah tanda persetujuan.
Di buku ini, mereka tidak lagi diam.
Mereka menegaskan ketidaksukaannya pada kekerasan terhadap perempuan. Antipati pada diskriminasi. Melalui rangkaian cerita, mereka bisa leluasa menyampaikan perasaannya. Ada yang mengisahkan perjuangannya didalam serikat pekerja. Menghadapi ancaman PHK dan segala diskriminasi di tempat kerja. Ada yang bercerita tentang satu sayapnya yang telah patah, tetapi dengan sayap yang satunya lagi ia terus berjuang untuk bisa terbang ke langit tinggi. Ada yang tertatih memperjuangkan cita dan cintanya. Semuanya disajikan dalam bentuk narasi yang menarik.
Disini kita akan lebih banyak mendengar: keluh kesahnya – suara hatinya.
Ada kalanya mereka tak memberikan solusi. Tetapi dari apa yang mereka uraikan, semua juga akan tahu, bahwa ada yang harus dibenahi.
Pada titik inilah kemudian kita akan dipaksa untuk mengakui, ada konstribusi yang tidak sedikit dari kaum perempuan dalam memajukan gerakan ini. Tak perlu bertanya, siapa yang lebih berperan, laki-laki atau perempuan?
Di ‘Rectoverso’, Dee bilang, mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia. Perempuan muda itu benar. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang. Bukan baginya. Cintanya tak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri.
Tidak perlu ada kompetisi disini. Ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.
Perempuan di Garis Depan’ menegaskan, dan malaikat juga tahu, perempuan senantiasa meretas jalan untuk menjadi pembebas buruh yang tertindas.
Pada akhirnya, Perempuan di Garis Depan memang harus menjadi bacaan wajib bagi buruh Indonesia. Ia menjadi bukti nyata, bahwa kaum hawa bukanlah makhluk kelas dua.
Selamat membaca, mendengar, dan mengapresiasi mahakarya ini.
Kahar S. Cahyono
Penyunting