Cilegon, KPonline – Dalam Proses Kebijakan diera Jokowi, telah diterbitkannya apa itu yang disebut dengan Undang – undang Cipta Kerja atau Omnibuslaw adalah sebuah Undang – undang yang dipaksakan untuk disyahkan oleh Presiden Jokowi pada Tahun 2020.
Undang – undnag Omnibus law adalah sebuah Undang – undang Penggabungan dengan Undang yang lainnya, Terdapat 11 Kluster yaitu1 :
(1) Penyederhanaan Perizinan,
(2) Persyaratan Investasi,
(3) Ketenagakerjaan,
(4) Kemudahan, Pemberdayaan dan Perlindungan UMKM,
(5) Kemudahan Berusaha,
(6) Dukungan Riset dan Inovasi,
(7) Administrasi Pemerintahan,
(8) Pengenaan Sanksi,
(9) Pengadaan Lahan,
(10) Investasi dan Proyek Pemerintah,
(11) Kawasan Ekonomi.
Dari 11 Kluster tersebut, bahwa Kluster Ketenagakerjaan Nomor 4 adalah yang banyak perlawanan dari kaum Buruh atau Pekerja sejak diundangkannya UU Cipta Kerja No.11 Tahun 2020, gelombang perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Pekerja atau Buruh, baik yang dilakukan Organisasi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesi (FSPMI) serta Konfederasi dan Federasi serikat Pekerja yang lainnya.
Gelombang Perlawanan olek Kaum Pekerja jauh lebih dahsyat setelah terbitnya Peraturan Pemerintah sebagai Turunan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yaitu Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja, Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan, Pengganti PP 78 Tahun 2015.Karena dinilai oleh Kaum Pekerja sangat merugikan, seperti Pesangon, PKWT, Alih Daya dan lain – lain.
Disamping perlawanan terus berjalan sisi lain Kaum Pekerja melakukan Judicial Review (JR) Uji Formil ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilakukan oleh FSPMI dan Konfederasi Serikat Pekerja yang lainnya dan tetap berjalan.
1. Investor Daily 7 Okt 2020 | Perlawanan meskipun sudah dilakukan JR, dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang isinya adalah Inkonstitusional Bersyarat, UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 yang Cacat Formil harus diperbaiki selambat – lambatnya 2 tahun, artinya UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 tetap berlaku, Tetapi jika Maksimal selama 2 Tahun belum di perbaiki maka UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 Inkonstutsional Permanen. Adapun inti dari Keputusan Nomor 91/PUU-XVIII//2020 adalah :
(1) Pembentukan UU No. 11/2020 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan”;
(2) UU No. 11/2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukannya perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana telah ditentukan dalam putusan ini;
(3) Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu itu tidak dilakukan perbaikan, maka UU No. 11/2020 menjadi inkonstitusional secara permanen;
(4) Apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU No. 11/2020, maka undang- undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU No. 11/2020 dinyatakan berlaku kembali;dan
(5) Menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang bertentangan dengan UU No. 11/2020.
Adanya putusan seperti itu secara umum menunjukkan bahwa UU No. 11/2020 bertentangan dengan UUD 1945. Meski demikian, perlu dicatat bahwa
2. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak serta merta membatalkan keberlakuan UU No.11/2020. Sebab, adanya frasa “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan” menunjukkan bahwa UU No. 11/2020 masih memiliki kekuatan hukum mengikat hingga dua tahun kedepan.
Akan tetapi yang diharapkan berdasarkan keputusan MK tersebut ternyata tidak sesuai yang diinginkan oleh Kaum Pekerja/buruh, tetapi justru Pemerintah mengundangkannya lagi, karena dianggap adanya kekosongan Hukum dalam hal – hal tertentu termasuk Ketenagakerjaan maka Pemerintah menerbitkan PERPU Nomor 2 Tahun 2022 pada tanggal 12 Desember 2022 Tentang UU Cipta Kerja yang isinya sama yang ada di dalam UU Nomor 11 Tahun 2020. Seiringnya waktu karena UU 11 tahun 2020 dianggap Inskontitusional bersyarat secara Formil.
Maka tindak lanjut berikut Pemerintah telah mengubah ke dua tentang UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan, tepatnya pada tanggal 16 Juni 2022 menjadi UU No 13 Tahun 2022 Tentang UU PPP terbaru. Dan Selanjutnya untuk mengantikan Perpu Nomor 2 tahun 2022 maka Pemerintah telah memutuskan untuk mengundangkan UU Nomor 6 Tahun 2023 pada tanggal 31 Maret 2023.
Maka dengan demikian, sudah sahlah secara permananen Pasca Pemerintah telah mengundangkannya Cipta Kerja dengan Lembaran Negara Nomor 6 Tahun 2023. Padahal isi terutama untuk Klaster Ketenagakerjaannya masih sama dengan sebelumnya. Maka lagi – lagi Nasib Buruh tetap belum mendapatkan keadilan dan nasibnya selalu terbelenggu.
Dengan akibat diundangkannya UU Nomor 6 Tahun 2023 kaum Pekerja atau Buruh, Tidak berhenti begitu saja Perlawanan, kali ini Sehubungan dengan Kaum Pekerja sudah mempunyai Partai yaitu Partai Buruh yang telah Lolos dan ikut Kontestasi dalam Pemilu Legeslatif tahun 2024 namun belum Lolos di Parlemen karena Suara Sah Nasional belum mencapai paling sedikit 4% berdasarkan pada Pasal 414 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Parta Buruh hanya mendapatkan Suara Sah secara Nasional sebesar 972.910 atau sebesar 0.64%. Telah mengajukan Gugatan Uji Materiil ke MK, yang mengajukan Permohonan selain Partai Buruh juga ada dari Serikat Pekerja yaitu Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) ,
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan
Federasi lainnya. Yang intinya meminta MK menguji Materiil Konstitusionalitas
pasal – pasal klaster Ketenagakerjaan dalam UU No 6/2023 ( UU Cipta Kerja ) dengan Nomor Perkara 168/PUU-XXI/2023.
Perjalanan panjang terhadap perjuangan terhadap Perlawanan UU Cipta Kerja telah dipusatkan oleh MK pada tanggal 31 Oktober 2024. Karena telah dikabulkannya sebagian dari Permohonan Pengujian.Terdapat 21 Norma dalam Amar Putusan MK tersebut.
Berikut adalah Putusan MK dengan Persandinganya :
PERSANDINGAN MATERI MUATAN UU KETENAGAKERJAAN DALAM UU CIPTA KERJA YANG DIMAKNAI HAKIM MK DALAM PUTUSAN NOMOR 168/PUU-XXI/2023
NO
NORMA LAMA
NORMA BARU
Pasal 42 ayat (1) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023
Setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 42 ayat (1) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023
Setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh menteri yang bertanggungjawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu Menteri Tenaga Kerja.
Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023
Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023
Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Pasal 56 ayat (3) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU 6/2023
Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja.
Pasal 56 ayat (3) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU 6/2023
Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan.
Pasal 57 ayat (1) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 13 Lampiran UU 6/2023
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
Pasal 57 ayat (1) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 13 Lampiran UU 6/2023
Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
Pasal 64 ayat (2) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU 6/2023
Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 64 ayat (2) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU 6/2023
Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya.
Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023
Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:
b. Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023
Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:
b. Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Pasal 79 ayat (5) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023
Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 79 ayat (5) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023
Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan tertentu memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023
Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023
Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Pasal 88 ayat (2) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja/Buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 88 ayat (2) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja/Buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.
Pasal 88 ayat (3) huruf b UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023
Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
b. Struktur dan skala upah;
Pasal 88 ayat (3) huruf b UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023
Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
b. Struktur dan skala upah yang proporsional;
Pasal 88C UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023
Gubernur wajib menetapkan Upah minimum Provinsi.
Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Penetapan Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal hasil penghitungan Upah minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari Upah minimum provinsi.
Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan.
Kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
Dalam hal kabupaten/kota belum memiliki Upah minimum dan akan menetapkan Upah minimum, penetapan Upah minimum harus memenuhi syarat tertentu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara. penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 88C UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023
Gubernur wajib menetapkan Upah minimum provinsi.
Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Penetapan Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal hasil penghitungan Upah minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari Upah minimum provinsi.
Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan.
Kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
Dalam hal kabupaten/kota belum memiliki Upah minimum dan akan menetapkan Upah minimum, penetapan Upah minimum harus memenuhi syarat tertentu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara. penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah. termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota.
Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023
Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023
Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh.
Pasal 88F UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023
Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).
Pasal 88F UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023
Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).
Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 90A UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran UU 6/2023
Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan.
Pasal 90A UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran UU 6/2023
Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Perusahaan.
Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 33 Lampiran UU 6/2023
Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas.
Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 33 Lampiran UU 6/2023
Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
Pasal 95 ayat (3) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 36 Lampiran UU 6/2023
Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
Pasal 95 ayat (3) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 36 Lampiran UU 6/2023
Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan
Pasal 98 ayat (1) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 39 Lampiran UU 6/2023
Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan.
Pasal 98 ayat (1) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 39 Lampiran UU 6/2023
Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif.
Pasal 151 ayat (3) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023
Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 151 ayat (3) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023
Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 151 ayat (4) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023
Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Pasal 151 ayat (4) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023
Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran UU 6/2023
Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran UU 6/2023
Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit:
Pasal 157A ayat (3) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 49 Lampiran UU 6/2023
Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai tingkatannya.
Pasal 157A ayat (3) UU 13/2003
dalam Pasal 81 angka 49 Lampiran UU 6/2023
Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai tingkatannya, sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI.
Itulah hasil persandingan anatara norma Norma Lama dan Norma Baru, selanjutnya ada Point yang menurut Pendapat Partai Buruh dalam siaran Pers adalah sebagai Berikut :
Terkait Keputusan MK, berikut penjelasan Partai Buruh mengenai pasal-pasal atau norma hukum yang berlaku.
I. Upah
1. Dengan dicabutnya Pasal 88 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 27 UU No. 6 Tahun 2023, maka PP No. 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan otomatis tidak berlaku lagi dan tidak dapat dijadikan acuan dalam penetapan upah minimum tahun 2025.
2. Mulai tahun 2025, akan ada upah minimum sektoral yang nilainya di atas upah minimum provinsi atau kabupaten/kota (UMP/UMK).
3. Ketentuan mengenai nilai indeks tertentu (α) yang sebelumnya ditetapkan sebesar 0,1 hingga 0,3, tidak lagi berlaku seiring dicabutnya Pasal 88D ayat 2 dalam Pasal 81 angka 28 UU No. 6 Tahun 2023. Besaran nilai indeks tertentu untuk upah minimum tahun 2025 harus dirundingkan dengan serikat pekerja.
4. Karena PP 51/2023 tidak lagi berlaku, maka tidak ada lagi batas bawah dan batas atas upah minimum.
5. Kenaikan upah minimum tahun 2025 diusulkan sebesar inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, dengan usulan serikat pekerja bahwa nilai indeks tertentu (α) adalah sebesar 1,0 hingga 2,0.
II. Outsourcing
1. Jenis pekerjaan yang dapat menggunakan pekerja outsourcing akan dibatasi oleh Menteri Ketenagakerjaan, sehingga tidak bisa lagi sembarangan diterapkan.
2. Penggunaan pekerja outsourcing tidak boleh berlaku seumur hidup.
III. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
1. PHK tidak lagi dapat dilakukan secara mudah (misalnya hanya melalui pesan WhatsApp atau pengumuman di selembar kertas). PHK harus melalui proses bipartit, mediasi di Disnaker, dan pengadilan hubungan industrial (PHI).
2. Selama belum ada putusan dari PHI, upah dan jaminan sosial pekerja harus tetap dibayarkan.
IV. Pesangon
1. Nilai pesangon dikembalikan sesuai aturan lama (UU No. 13 Tahun 2003).
2. Nilai pesangon dapat dibayarkan melebihi ketentuan undang-undang, sepanjang ada kesepakatan antara serikat pekerja dengan pengusaha.
V. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)/Karyawan Kontrak PKWT hanya boleh berlaku paling lama 5 tahun. Jika pekerja tersebut masih dibutuhkan setelah itu, maka harus diangkat menjadi karyawan tetap.
VI. Cuti
Istirahat panjang atau cuti panjang diberikan kepada pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun di perusahaan yang sama.
VII. Tenaga Kerja Asing (TKA)
1. Tenaga Kerja Asing yang tidak memiliki keahlian khusus (unskilled workers) tidak boleh dipekerjakan di Indonesia. Perusahaan wajib mengutamakan mempekerjakan pekerja lokal.
2. Tenaga Kerja Asing dengan keahlian khusus (skilled workers) harus mendapatkan izin tertulis dari Menteri sebelum bekerja di Indonesia.
Oleh karena itu maka Negara harus melindungi rakyatnya untuk menegakkan aturan termasuk ketaatan terhadap Putusan MK NO 168/PUU-XXI/2023, jangan samapai Pemerintah membuat penafsian sendiri apalagi jauh dari isi Putusan MK tersebut.
Said Iqbal Presiden Partai Buruh
Narahubung: Ketua Departemen Infokom dan Propaganda Partai Buruh, Kahar S. Cahyono
E-Mail: kahar.mis@gmail.com
WhatsApp: 0811-1148-981
#unma
#pascasarjanaunma
#firmancandra
#perjuanganpanjangperlawananuuciptakerjaomnibuslaw
#lawscience
#banten
#serang
#pandeglang
#eko.p depeprovbanten
#fspmi cilegon
#fspmibanten