Jakarta, KPonline – Lahirnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2018 tentang Pengenaan urun biaya dan selisih biaya dalam program jaminan kesehatan terus menuai pro kontra di masyarakat.
Permenkes yang lahir dari amanah pasal 81 ayat 4 Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dikuatirkan membuat kerugian terhadap pasien peserta BPJS Kesehatan yang mendapatkan rawat inap dan melakukan peningkatan kelas perawatan yang lebih tinggi dari haknya.
Direktur advokasi Jamkeswatch Dariyus menjelaskan, “Dengan sistem JKN BPJS ini seharusnya meminimalisir adanya kemungkinan naik kelas perawatan dan timbulnya urun biaya dari peserta, ini akan membebani peserta sebab setiap bulan mereka sudah membayar iuran.”
“Kebijakan urun biaya ini bisa jadi celah diarahkannya peserta oleh oknum apabila kamar sesuai haknya tidak tersedia atau penuh. Celah urun biaya ini berpotensi menjebak dan menambah beban peserta ketika membutuhkan perawatan yang seharusnya tidak perlu dan peserta tidak mengetahui,” tambahnya.
Perpres 82/2018 mengamanahkan setidaknya ada 25 peraturan menteri, namun kementrian ternyata lebih memfokuskan kepada urun biaya akibat peningkatan pelayanan. Padahal ada hal-hal yang lebih urgent yang seharusnya segera diterbitkannya peraturan lanjutan seperti pembayaran iuran bagi perangkat desa atau mekanisme penerimaan pajak rokok yang bisa mengurangi defisit BPJS kesehatan.
Peningkatan rawat inap ini dibatasi hanya satu tingkat diatas kelas yang menjadi hak peserta, kebijakan ini terasa berat sebelah karena ketersediaan kamar rawat inap sesuai Permenkes Nomor 56 tahun 2014 belum sepenuhnya dijalankan oleh rumah sakit. Seharusnya ketersediaan kamar rawat inap sesuai aturan itu dipersiapkan agar peserta tidak perlu naik kelas perawatan.
Dari Permenkes 51/2018 ini tim pemantau jaminan sosial Jamkeswatch menggarisbawahi beberapa hal berikut :
1. Kategori jenis pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan (fraud) jaminan kesehatan hanya terkait peningkatan kelas perawatan dan urun biaya serta dikecualikan bagi peserta PBI.
Padahal fraud bisa saja terjadi dan bermacam hal, bisa karena tidak prosedural, tidak kompeten dan tidak tersedianya sarana dan prasarana di fasilitas kesehatan. Realitanya dengan banyaknya peserta PBI dan peserta mandiri kelas 3 ternyata tidak ditunjang dengan ketersediaan kamar kelas 3 sesuai aturan Permenkes minimal 20 % dari jumlah total tempat rawat inap.
Banyak rumah sakit yang lebih memilih membangun kamar VIP dan VVIP dari pada kamar kelas 3 atau kelas 2 yang secara kalkulasi lebih banyak pesertanya dari segment ini. Merujuk dari Permenkes ini juga kemungkinan besar kamar VVIP bisa dihapuskan.
2. Pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan fraud didasarkan dari usulan BPJS kesehatan, organisasi profesi dan atau asosiasi faskes. Usulan itu disampaikan ke Kemenkes dan Kemenkes berhak menolak usulan tersebut.
Ini berarti Kemenkes tidak mempunyai data dan masih sedang melakukan survey. Meski sama-sama dibawah presiden namun secara eksplisit BPJS kesehatan dibawah Kemenkes padahal disana ada DJSN yang bisa memberikan masukan/solusi.
3. Kewajiban faskes menginformasikan jenis pelayanan yang dikenakan urun biaya dan estimasi biaya kepada peserta/keluarganya serta meminta persetujuan ketersediaan membayar urun biaya sebelum mendapatkan pelayanan.
Tidak hanya itu, seharusnya faskes juga wajib mengarahkan kepada peserta berbagai upaya agar tidak terjadi urun biaya serta kondisi tertentu yang tidak dikenakannya urun biaya sebelum peserta memastikan memutuskan bersedia naik kelas dan membayar urun biaya.
Realitanya di lapangan, begitu kamar hak kelas peserta penuh atau tidak tersedia, peserta langsung diarahkan naik kelas tanpa diberikan penjelasan dan solusinya.
4. Besaran urun biaya bukan hanya untuk rawat inap saja tetapi juga rawat jalan . Untuk rawat jalan berkisar antara 10.000 sampai 20.000 sesuai kelas RS dalam sekali kunjungan atau paling tinggi 350.000 untuk paling banyak 20 kunjungan dalam 3 bulan. Untuk rawat inap dikenakan 10% setiap rawat inap dihitung dari total tarif INA-CBG’s atau maksimal 30 juta rupiah.
Jenis pelayanan yang dapat menimbulkan fraud itu ditetapkan Kemenkes yang nantinya peserta diharuskan melakukan urun biaya.
Ini berarti ada pengeluaran dana lebih bagi peserta BPJS kesehatan selain iuran yang dibayar setiap bulan atau ketika mendapatkan denda akibat menunggak iuran. Jaminan sosial semakin jauh dari filosofinya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan malah bisa memiskinkan masyarakat.
5. Peserta dapat meningkatkan kelas perawatan di rumah sakit maksimal satu tingkat lebih tinggi dari kelas kamar hak peserta dan dikenakan pembayaran selisih biaya atas kenaikan itu.
Regulasi ini juga membuka peluang adanya pelayanan rawat jalan eksklusif dalam fasilitas khusus yang terpadu diatas standart tanpa harus menginap di rumah sakit. Kenaikan kelas itu dikecualikan bagi peserta PBIN, PBID dan peserta PPU yang terPHK beserta anggota keluarganya.
Hanya naik satu tingkat tentu sangat merugikan bagi peserta PPU yang perawatannya bisa sampai ke kelas VIP dengan menggunakan sistem CoB yang telah disepakati dengan perusahaan.
Aturan ini juga semakin membuka celah pemanfaatan oknum untuk menjebak peserta agar naik kelas dan bersedia membayar urun biaya. Oknum bisa saja memanfaatkan kepanikan, ketidaktahuan atau kesalahan peserta untuk naik kelas yang sebenarnya bisa dihindari.
Selisih biaya bisa juga dijadikan jalan pintas bagi fasilitas kesehatan untuk menangguk untung demi menutup biaya operasional atas keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS kesehatan.
Adanya pelayanan khusus yang bersifat eksklusif juga menjadikan BPJS tidak bisa melakukan monitoring serta menjadikan tingginya kesenjangan hak kesehatan, yang di era SJSN ini tujuannya menstandarisasi pelayanan kesehatan. Peserta terPHK PPU beserta keluarganya perlu mewaspadai dan mengantisipasi karena sudah terbiasanya di mendapatkan kamar kelas 2.
Meskipun Permenkes ini bertujuan untuk kendali mutu, kendali biaya dan pencegahan fraud di BPJS Kesehatan namun filosofi, semangat dan tujuan jaminan sosial haruslah tetap dikawal agar masyarakat tidak sekedar dijadikan ajang coba-coba atau alat pengerukan keuntungan semata.
Apalagi selain pelayanan, penanganan persoalan BPJS juga harus difokuskan belitan defisit dan moral hazard. Jaminan sosial adalah ujian komitmen dan koordinasi antar lembaga& instansi pemerintah dalam menjalankan program publik bukan tugas BPJS semata.
Kemenkes sendiri juga perlu melakukan evaluasi diri karena kebijakan yang diambil berdampak luas ke masyarakat dan berpengaruh terhadap keberadaan BPJS serta Marwah jaminan sosial. Disadari atau tidak rerata fasilitas kesehatan adalah dimiliki oleh orang-orang kesehatan, ini berpotensi terjadinya intrik atau konflik kepentingan dan harus dihindari.
Untuk itu, Jamkeswatch akan menyampaikan somasi ke Kementerian Kesehatan guna mengingatkan hal itu. Jamkeswatch sebagai salah satu pilar pergerakan kaum buruh yang ikut serta membidani lahirnya jaminan sosial merasa terpanggil untuk bersama-sama memperbaiki dan membenahi sistem jaminan sosial menuju masyarakat yang sehat, adil, makmur dan sejahtera.