PERNYATAAN DAN TUNTUTAN AKSI 12 APRIL 2021
“TOLAK DAN CABUT OMNIBUSLAW CIPTAKERJA”
1. TOLAK DAN CABUT UU NO 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
Hari ini perkara gugatan ini telah teregistrasi pada 12 November 2020 dengan Nomor Perkara:
101/PUU-XVIII/2020 kembali di gelar sidang Di Mahkamah Konstitusi.
Seperti kita ketahui Bersama bahwa kenapa kita menolak dan meminta UU 11 Tahun 2020 dicabut adalah Pertama dihilangkan ketentuan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003.dengan dihilangkannya UMSK dan UMSP sangat jelas sekali menyebabkan ketidakadilan.
Kedua, PKWT atau Karyawan Kontrak Seumur Hidup. UU No 11 Tahun 2020 menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU No 13 Tahun 2003.
Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode menggunakan PKWT atau karyawan, dengan demikian, PKWT (karyawan kontrak) bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi PKWTT (karyawan tetap). Hal ini
berarti, tidak ada job security atau kepastian bekerja. Padahal dalam UU No 13 Tahun 2003, PKWT atau karyawan kontrak batas waktu kontraknya dibatasi maksimal 5 tahun dan maksimal 3 periode kontrak.
Ketiga, Outsourcing Seumur Hidup. UU No 11 Tahun 2020 mengapus Pasal 64 dan 65 UU
No 13 Tahun 2003. Selain itu, juga menghapus batasan 5 (lima) jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya untuk cleaning service, cattering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan. Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing.
Bahwa Negara melegalkan tenaga kerja diperjual belikan oleh agen penyalur. Padahal di dunia
internasional, outsourcing disebut dengan istilah modern slavery (perbudakan modern).
Dengan sistem kerja outsourcing, seorang buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya. Karena dalam praktik, agen outsourcing sering berlepas tangan untuk bertanggungjawab terhadap masa depan pekerjanya.
Keempat, Nilai Pesangon Dikurangi. UU No 11 tahun 2020 mengurangi nilai pesangon buruh serta dalam UU No 11 Tahun 2020 adalah PHK menjadi mudah dengan hilangnya frasa “batal demi hukum” terhadap PHK yang belum ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Namun pada awal tahun ini pemerintah justru kembali menerbitkan 49 PP sebagai aturan turunan dari UU 11 Tahun 2020 dan lagi -lagi aturan ini telah mendegradasi kesejahteraan buruh.
Serikat buruh menyoroti 4 peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan yang belum lama ini diterbitkan pemerintah. Keempat peraturan pelaksana tersebut yakni PP No.34 Tahun 2021 tentang Tenaga Kerja Asing (PP TKA); PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK); PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan; dan PP No.37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (PP JKP).
Pertama, PP No.34 Tahun 2021 tentang TKA, perubahan mekanisme pengawasan terhadap TKA
yang sebelumnya menggunakan izin untuk bisa bekerja di Indonesia sekarang diganti
dengan pengesahan dalam bentuk rencana penggunaan TKA (RPTKA). Ketentuan ini semakin memudahkan TKA terutama yang kompetensi dan keterampilannya rendah masuk ke Indonesia.
Kedua, PP No.35 Tahun 2021 tentang PKWT-PHK, yang mengubah ketentuan batas PKWT menjadi 5 tahun, tapi tidak mengatur periode perjanjian. Sebelumnya, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan paling lama 2 tahun dan boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.
Soal alih daya atau outsourcing pengaturannya makin merugikan buruh karena sekarang tidak ada pembatasan jenis kegiatan yang bisa dilakukan alih daya. Sebelumnya, UU No.13 Tahun 2003 mengatur jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sifatnya harus penunjang dan tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Tapi, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan tersebut dan PP No.35 Tahun 2011 menegaskan alih daya dapat untuk semua jenis kegiatan.perubahan lain ialah ketentuan istirahat panjang dalam UU Cipta Kerja dan PP No.35 Tahun 2021 yang tidak mengatur jangka waktu istirahat panjang.
Hal ini berpotensi menghilangkan istirahat panjang yang selama ini dinikmati. Yang menjadi ketakutan buruh yang lain adalah alasan yang digunakan untuk melakukan PHK juga tidak jelas, misalnya alasan PHK karena force majeure,tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan force majeure.
Ketiga, PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. UU Cipta Kerja yang menghapus upah minimum sektoral. Hal ini akan memunculkan ketidakadilan upah minimum antar industri karena besaran upah minimum dipatok sama untuk seluruh sektor industri. Padahal, harus dibedakan upah minimum bagi industri besar yang padat modal dan industri kecil. formula perhitungan upah minimum sangat rumit dan tidak riil Idealnya yang menjadi acuan perhitungan upah minimum menggunakan komponen kebutuhan hidup layak (KHL) yang terdiri dari beragam barang kebutuhan buruh setiap hari.
Keempat, PP No.37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP ) yang pelaksanaanya tidak sama dengan yang dikampanyekan , kalo ada iuran lagi itu artinya dana bersumber dari pekerja juga.
Melalui aksi ini Pekerja Buruh Sidoarjo menuntut Pemerintah Sidoarjo mendukung Gerakan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam memperjuangkan hak hak Pekerja.
2. PEMBERIAN TUNJANGAN HARI RAYA (THR) TAHUN 2021.
Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) bagi pekerja/buruh adalah merupakan tradisi dan sebagai salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan pekerja/buruh dan keluarganya dalam merayakan HariRaya Keagamaan. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan aspek kesejahteraan dan perlindungan bagi para pekerja. Sesuai dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker)
Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, THR Keagamaan merupakan pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh
menjelang Hari Raya Keagamaan.
Berdasarkan Permenaker No.6/2016 pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 bulan berhak
mendapatkan THR Keagamaan dari perusahaan. Pekerja/buruh yang bermasa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih maka mendapat THR sebesar satu bulan upah.
Sedangkan Pekerja/buruh yang bermasa kerja minimal 1 bulan secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan THR secara proporsional, dengan menghitung jumlah masa kerja dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan yang di dalamnya mengatur sanksi
tegas bagi perusahaan yang lalai membayar THR.
THR harus diberikan paling lambat tujuh hari sebelum lebaran (H-7) hari keagamaan pekerja
agar memberi keleluasaan bagi pekerja menikmatinya bersama keluarga.
Permenaker No.6/2016 pasal 10, pengusaha yang terlambat membayar THR kepada pekerja/buruh akan dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar.
Apalagi di tengah Pandemi ini, dengan adanya wacana Surat Edaran Menaker yang memfasilitasi pengusaha untuk mencicil pemberian THR, ini tentunya membuat ketidakpastian Hak Pekerja Akan Tunjangan Hari Raya tersebut sebab SE tersebut akan dibuat pedoman pengusaha untuk tidak memberikan THR sesuai dengan aturan yang berlaku.
Untuk itu, kami meminta pemerintah Kabupaten Sidoarjo untuk memberikan perlindungan bagi para pekerja untuk tetap mendapatkan hak mendapat THR dengan melakukan monitoring dan edukasi kepada Setiap perusahaan di Sidoarjo dengan menerbitkan Surat Edaran yang ditujukan kepada perusahaan perusahaan di Sidoarjo untuk tetap memberikan THR kepada pekerjanya sesuai aturan yang berlaku ditengah pandemi ini.
MELALUI AKSI INI PEKERJA BURUH SIDOARJO MENUNTUT Pemerintah Kabupaten Sidoarjo memastikan, Setiap Pekerja berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya tahun 2021 dengan mendirikan Posko pengaduan pelanggaran pemberian Tunjangan Hari Raya tahun 2021 di Disnaker Sidoarjo.
3. JAMINAN SOSIAL MENYELURUH BAGI PARA PEKERJA
Berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 45 pasal 28H dan pasal 34 dan Undang-Undang (UU)
No.39/2009 menegaskan bahwa setiap orang punya hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sebaliknya, setiap orang juga mempunyai kewajiban turut serta dalam program jaminan kesehatan sosial.
Kita ketahui bersama bahwa system jaminan sosial di Indonesia bertujuan untuk mempertahankan derajat hidup rakyat Indonesia. Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan yang bersifat mandatory atau wajib di ikuti oleh seluruh warga Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat secara layak yang diberikan kepada setiap warga
yang telah membayar premi/iuran atau bagi warga yang tidak mampu akan dibayarkan premi nya oleh Pemerintah.Dalam Sistem jaminan sosial Indonesia ada beberapa program yaitu,
1. Jaminan kesehatan Nasional ( JKN ),
2. Jaminan Hari Tua ( JHT ),
3. Jaminan Kematian ( JKM ),
4. Jaminan Kecelakaan Kerja ( JKK ),
5. Jaminan Pensiun ( JP ) dan
6. Satu lagi yang baru di terbitkan oleh pemerintah lewat peraturan pemerintah No. 37 tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan ( JKP ).
Namun masih banyak kita jumpai dilapangan, banyak pekerja yang bekerja tanpa adanya jaminan sosial. Sebenarnya ini ironis dengan banyaknya regulasi yang dibuat oleh pemerintah mulai dari Undang undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Surat Edaran Gubernur sampai Peraturan Bupati namun tidak membuat jera para pengusaha untuk tidak mendaftarkan pekerjanya pada program jaminan sosial.
Sidoarjo yang notabebenya adalah daerah industri yang tentunya jumlah pekerjanya juga sangat banyak, diperlukan komitmen dan upaya yang sungguh sungguh dari semua pihak untuk
mewujudkan jaminan sosial ini dapat dinikmati oleh para pekerja yang mencari nafkah di
Sidoarjo.
Dari data di lapangan yang kami ketahui, bahwa masih banyak perusahaan yang
mendaftarkan sebagian pekerja, sebagian program dan daftar sebagian upah.Tentunya ini berdampak
pada pekerja yang belum diikutkan program jaminan sosial ini.
Ada ketidak sinkronan data antara BPJS Kesehatan selaku pelaksana program di jaminan kesehatan, BPJS ketenagakerjaan sebagai pelaksana pada program JHT,JKM,JKK,JP,JKP dan Dinas Tenaga Kerja selaku regulator Ketenagakerjaan.
Ada pekerja yang diikutkan pada program jaminan Kesehatan namun tidak diikutkan pada program BPJS Ketenagakerjaan demikian pula sebaliknya.
Sebenarnya dalam proses penegakan hukum untuk jaminan sosial ini ada pengawas ketenagakerjaan di Disnaker dan Pengawas Pemeriksa ( Wasrik ) di BPJS, namun kedua bidang ini masih belum mampu dalam penegakan hukumnya. Ibarat kata punya pistol namun idak bisa untuk digunakan untuk menembak.
Bahwa harus ada sistem kesehatan yang memastikan setiap warga dalam memiliki akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif bermutu dengan biaya terjangkau.implementasikan penyelenggaraan program JKN.
Sebagus apapun programnya,sebagus apapun regulasinya kunci dari program jaminan sosial ini adalah pada kepesertaan,karena kalo peserta minim siapa yang akan menikmatinya.
Untuk itu diperlukan komitmen Pemerintah dalam hal ini Disnaker, BPJS kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan untuk lebih berani melakukan tindakan kepada pengusaha yang tidak mau
mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan sosial.
MELALUI AKSI INI PEKERJA BURUH SIDOARJO MENUNTUT :
• Pemerintah Kabupaten Sidoarjo berkomitmen untuk memberikan Jaminan Kesehatan secara
menyuluruh kepada Masyarakat Sidoarjo.
• Pemerintah Kabupaten Sidoarjo berkomitmen melaksanakan Inpres No. 2 tahun 2021 dengan
memerintahkan UPT terkait dalam hal ini Dinas Tenaga kerja, Dinas perijinan dan 4
Penanaman Modal,Dinas kependudukan dan catatan sipil kabupaten Sidoarjo untuk segera
melakukan kerjasama dengan BPJS Kesehatan Dan BPJS Ketenagakerjaan untuk pengoptimalan kepesertaan untuk mewujudkan jaminan Sosial ( social security) secara menyeluruh kepada Setiap pekerja yang berada di Wilayah hukum Sidoarjo.
4. PEMBINAAN DAN PENERTIBAN OUTSOURCHING
Sidoarjo sebagai kota penyangga Surabaya dan daerah dengan daerah industry yang cukup besar tentunya menyimpan berbagai macam masalah ketenagakerjaan.Salah satunya adalah keberadaan OUTSOURCING yang saat ini semakin banyak dengan jumlah pekerja juga sangat banyak.
Namun dengan banyaknya pekerja yang bekerja dengan status OUTSORCING ini tidak dibarengi
dengan pemberian hak normatif yang seharusnya diterima oleh seorang pekerja. Dari masalah upah,jaminan sosial dan status hubungan kerja.Ini tidak lepas dari pengawasan dan pembiaran praktik outsourcing yang memberikan upah di bawah ketentuan dan tidak diikutkan pada program jaminan sosial, bahkan jam kerja Panjang tanpa upah lembur
Tentunya ini tidak adil bagi Pekerja, dalam hal ini pemerintah harus berani membuat sebuah regulasi yang benar benar bisa melindungi Job Security, Social Security dan Incame Security
MELALUI AKSI INI PEKERJA BURUH SIDOARJO MENUNTUT Pemerintah kabupaten
Sidoarjo akan membina dan memberi sanksi setiap Perusahaan Penerima Jasa Pekerjaan ( PPJP ) dan atau Perusahaan Outsourching yang tidak memberikan hak normatif kepada para pekerjanya
Sidoarjo 12 April 2021
KONSULAT CABANG FSPMI KABUPATEN SIDOARJO
PIMPINAN CABANG SPL FSPMI KABUPATEN SIDOARJO
PIMPINAN CABANG SP AI FSPMI KABUPATEN SIDOARJO