Pemerintah baru-baru ini mengemukakan target ambisius untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Dari perspektif kelas pekerja, ini bukan sekadar angka yang indah di atas kertas. Pertumbuhan ekonomi, bagi buruh, harus dilihat melalui kacamata distribusi kekayaan, kesejahteraan, dan pemenuhan hak-hak dasar. Apakah target ini akan benar-benar membawa perubahan signifikan bagi buruh, atau justru memperdalam ketimpangan ekonomi yang selama ini menjadi masalah utama di Indonesia?
Sebelum membahas apakah target pertumbuhan ekonomi 8% bisa tercapai, kita perlu memahami bahwa pertumbuhan ekonomi selama ini seringkali hanya dinikmati oleh segelintir elite ekonomi dan korporasi besar. Bagi kelas pekerja, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu berarti perbaikan kesejahteraan. Dalam banyak kasus, pertumbuhan ini justru didorong oleh eksploitasi buruh dengan upah rendah, kondisi kerja yang tidak aman, dan maraknya sistem kerja kontrak atau outsourcing yang merugikan.
Kelas pekerja tidak hanya sekadar bertanya apakah pertumbuhan ekonomi ini mungkin dicapai, tetapi juga, siapa yang akan menikmati hasilnya? Tanpa kebijakan yang benar-benar berpihak pada buruh, pertumbuhan ekonomi yang digembar-gemborkan pemerintah bisa jadi hanya memperkaya segelintir orang, sementara buruh tetap terjebak dalam kemiskinan struktural. Dalam konteks ini, pertumbuhan ekonomi 8% harus dilihat dengan skeptis karena sejarah telah menunjukkan bahwa kebijakan neoliberal yang mendorong pertumbuhan sering kali mengorbankan hak-hak buruh.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Agar pertumbuhan ekonomi 8% benar-benar berdampak positif bagi buruh, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah, khususnya dalam mengubah kebijakan tenaga kerja yang selama ini cenderung pro-kapital. Buruh adalah penggerak utama ekonomi, dan tanpa perbaikan kondisi mereka, target pertumbuhan yang ambisius akan sulit tercapai. Berikut beberapa langkah yang perlu diambil:
Pertama, menghentikan fleksibilisasi tenaga kerja. Pemerintah harus menghentikan kebijakan yang memungkinkan fleksibilisasi tenaga kerja yang merugikan buruh, seperti sistem kontrak dan outsourcing. Fleksibilisasi ini hanya menguntungkan pemilik modal karena mereka bisa terus mengeksploitasi buruh dengan biaya rendah, tanpa jaminan pekerjaan yang layak. Sebaliknya, pemerintah harus memperkuat posisi buruh dengan kebijakan yang mendukung pekerjaan tetap dan perlindungan sosial yang lebih baik.
Kedua, membuat kebijakan upah layak. Dalam skema pertumbuhan ekonomi, salah satu instrumen penting adalah upah. Upah yang layak tidak hanya meningkatkan kesejahteraan buruh, tetapi juga mendorong daya beli masyarakat secara umum. Jika buruh mendapatkan upah yang layak, konsumsi domestik akan meningkat, yang pada akhirnya akan memperkuat pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Pemerintah harus memastikan bahwa penetapan upah minimum berdasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang sesungguhnya, bukan sekadar angka kompromi yang menguntungkan pemodal.
Ketiga, mengutamakan kesejahteraan sosial dan jaminan pekerjaan. Kelas pekerja membutuhkan jaminan sosial yang memadai untuk menghadapi berbagai tantangan, termasuk dampak dari perubahan iklim dan teknologi. Pemerintah harus mengalokasikan sumber daya yang lebih besar untuk memperbaiki sistem jaminan sosial, seperti jaminan kesehatan dan pensiun, yang mencakup seluruh pekerja, termasuk mereka yang berada di sektor informal.
Keempat, mendorong industrialisasi berbasis buruh. Pertumbuhan ekonomi yang hanya mengandalkan sektor jasa atau finansial seringkali tidak menciptakan lapangan kerja yang cukup. Oleh karena itu, pemerintah harus mendorong industrialisasi berbasis buruh yang tidak hanya fokus pada efisiensi, tetapi juga kesejahteraan pekerja. Model pembangunan yang berorientasi pada ekspor sering kali merugikan buruh lokal karena fokusnya adalah menekan biaya produksi. Sebaliknya, industrialisasi yang berfokus pada produksi dalam negeri dan pasar lokal akan lebih adil bagi buruh.
Salah satu indikator keberhasilan ekonomi adalah meningkatnya jumlah kelas menengah. Namun, dalam konteks ekonomi neoliberal, kelas menengah seringkali hanya dinikmati oleh mereka yang memiliki akses lebih besar terhadap pendidikan dan peluang ekonomi. Untuk meningkatkan jumlah kelas menengah dari kalangan buruh, pemerintah harus memfokuskan diri pada peningkatan kualitas hidup buruh dan memberikan akses yang lebih luas terhadap pendidikan dan keterampilan.
Pendidikan dan pelatihan adalah kunci untuk meningkatkan mobilitas ekonomi buruh. Pemerintah harus menyediakan akses pendidikan gratis, tidak hanya pada tingkat dasar, tetapi juga pelatihan vokasional yang relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja di era digitalisasi dan otomatisasi. Dengan demikian, buruh dapat meningkatkan keterampilan mereka dan naik kelas, dari buruh yang hanya bekerja di sektor informal menjadi pekerja formal yang memiliki perlindungan lebih baik.
Selain itu, untuk menciptakan kelas menengah yang kuat, pemerintah juga perlu memperbaiki sistem perpajakan yang selama ini lebih banyak membebani buruh dan rakyat kecil. Pajak konsumsi, seperti PPN, secara tidak langsung mengurangi daya beli buruh. Sebaliknya, pajak terhadap korporasi besar dan orang kaya harus ditingkatkan untuk menciptakan redistribusi kekayaan yang lebih adil.
Oleh karena itu, rencana pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% harus dilihat dengan kritis oleh kelas pekerja. Pertumbuhan ekonomi hanya akan bermakna jika disertai dengan distribusi kekayaan yang lebih adil, perlindungan sosial yang lebih kuat, dan penghentian eksploitasi terhadap buruh. Jika tidak, angka tersebut hanya akan menjadi mimpi kosong yang memperdalam ketidakadilan struktural yang selama ini menghantui ekonomi Indonesia.
Kaum buruh menginginkan pertumbuhan ekonomi yang bukan hanya sekadar pertumbuhan angka, tetapi juga pertumbuhan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat, terutama kelas pekerja.