Baru-baru ini, beberapa pejabat pemerintah, termasuk Wakil Menteri Tenaga Kerja Afriansyah Noor dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, menyampaikan pandangan mereka terkait meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia. Pernyataan-pernyataan tersebut perlu dikritisi. Bahwa argumentasi yang mereka sampaikan terlalu simplistik dan mengabaikan faktor-faktor yang lebih mendasar, terutama dampak dari kebijakan-kebijakan yang cenderung memanjakan pengusaha.
Dalam kesempatan ini saya mau bilang, alih-alih mencari kambing hitam terkait dengan maraknya PHK, yang dilakukan seharusnya pemerintah adalah mengevaluasi kebijakan yang sudah dikeluarkannya. Jangan-jangan, PHK-PHK itu semakin sering terjadi akibat dari regulasi yang salah arah.
Relokasi Bukan Alasan Utama Terjadinya PHK
Wamenaker menyatakan bahwa relokasi pabrik dari Jawa Barat ke Jawa Tengah menjadi salah satu penyebab tingginya angka PHK. Pernyataan ini tampaknya menyesatkan karena realitas di lapangan menunjukkan bahwa relokasi bukanlah penyebab utama PHK. Faktanya, di daerah dengan upah rendah seperti Jawa Tengah, PHK dan penutupan pabrik juga terjadi. Hal ini menandakan bahwa bukan relokasi yang menjadi masalah utama, melainkan ada masalah struktural yang lebih mendalam yang mempengaruhi keberlanjutan pabrik dan lapangan kerja di Indonesia.
Relokasi sering kali dipandang sebagai strategi perusahaan untuk menekan biaya operasional, namun pada kenyataannya, relokasi tidak selalu memberikan solusi yang diharapkan. Banyak perusahaan yang telah melakukan relokasi masih harus menghadapi tantangan seperti persaingan global yang ketat, biaya produksi yang terus meningkat, jalur transportasi yang semakin panjang, dan ketidakpastian pasar. Oleh karena itu, relokasi bukanlah jawaban yang dapat mengatasi semua masalah ekonomi perusahaan, apalagi jika hal ini justru diiringi dengan peningkatan angka PHK di daerah baru.
Produktivitas Bukan Penyebab Utama PHK
Menteri Bahlil Lahadalia menyebutkan bahwa PHK dipicu oleh masalah produktivitas. Namun, klaim ini juga tidak sepenuhnya tepat. Ada banyak kasus di mana pekerja dengan produktivitas yang baik juga mengalami PHK. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi keputusan PHK.
Produktivitas pekerja memang penting, namun dalam banyak kasus, PHK terjadi bukan karena pekerja tidak produktif, melainkan karena adanya kebijakan perusahaan yang lebih mementingkan efisiensi biaya, bahkan jika itu berarti mengorbankan pekerja yang sudah bekerja dengan baik. Faktor-faktor seperti perampingan perusahaan, otomatisasi, dan beberapa hal lain seringkali menjadi alasan di balik PHK, yang tidak ada hubungannya dengan produktivitas pekerja.
Penurunan Permintaan Global Bukan Satu-satunya Penyebab Penurunan Nilai Pabrik
Pernyataan bahwa “perekonomian dunia memang jumlah permintaan kepada mereka itu memang berkurang sehingga pabrik-pabrik yang tadinya menyiapkan untuk ekspor itu menurun nilainya” juga perlu dikritisi. Penurunan nilai pabrik-pabrik yang berorientasi ekspor tidak semata-mata disebabkan oleh penurunan permintaan global. Ada banyak faktor lain yang memainkan peran penting, seperti kemampuan manajemen untuk berinovasi, efisiensi operasional, kebijakan pemerintah, dan adaptasi terhadap tren permintaan yang dinamis.
Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa perusahaan yang mengandalkan ekspor seharusnya memiliki strategi diversifikasi pasar dan produk. Penurunan permintaan di satu pasar tidak seharusnya langsung berdampak drastis pada seluruh operasi perusahaan. Perusahaan yang tangguh akan mencari pasar alternatif atau mengembangkan produk yang sesuai dengan permintaan global yang berubah. Jika nilai pabrik-pabrik menurun, mungkin ini menunjukkan kegagalan manajemen dalam melakukan diversifikasi dan inovasi yang diperlukan untuk bertahan dalam situasi pasar yang dinamis. Pertanyaannya kemudian, apakah pantas kegagalan manajemen ditimpakan kepada buruh?
Faktor lain yang sering kali diabaikan adalah pengaruh kebijakan pemerintah dan lingkungan bisnis domestik terhadap nilai pabrik-pabrik. Misalnya, kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung pertumbuhan industri, infrastruktur yang kurang memadai, atau regulasi yang tidak jelas bisa berkontribusi terhadap penurunan daya saing pabrik-pabrik di Indonesia. Selain itu, ketidakstabilan politik dan hukum juga bisa menjadi faktor yang menyebabkan investor dan perusahaan enggan berinvestasi lebih lanjut atau memperluas operasinya, sehingga nilai pabrik pun menurun.
Dampak Buruk UU Cipta Kerja
Yang perlu ditekankan adalah bahwa PHK yang meningkat ini tidak bisa dilepaskan dari dampak buruk UU Cipta Kerja. UU ini telah memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada pengusaha untuk memecat pekerja tanpa harus mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi yang dialami oleh pekerja. UU Cipta Kerja telah memudahkan pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan-alasan yang lebih fleksibel, sehingga perlindungan terhadap pekerja menjadi semakin lemah.
UU Cipta Kerja, dengan berbagai ketentuannya, telah menurunkan standar perlindungan pekerja, termasuk dalam hal pesangon dan hak-hak lainnya. Hal ini membuat pengusaha lebih mudah untuk melakukan PHK, bahkan ketika alasan ekonomis atau produktivitas tidak dapat dibuktikan dengan jelas. Akibatnya, pekerja menjadi pihak yang paling dirugikan, kehilangan pekerjaan tanpa jaminan yang memadai. Pendek kata, dengan nilai pesangon yang kecil, perusahaan tidak berfikir dua kali untuk melakukan PHK.
Peningkatan angka PHK di Indonesia tidak dapat disederhanakan hanya sebagai akibat dari relokasi pabrik, masalah produktivitas, atau penurunan permintaan global. Masalah yang lebih mendasar adalah kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan pengusaha, seperti UU Cipta Kerja, yang justru mempermudah PHK. Jika pemerintah benar-benar ingin melindungi pekerja dan menekan angka pengangguran, yang diperlukan adalah mencabut undang-undang yang dikenal sebagai omnibus law ini.
Kahar S. Cahyono, Wakil Presiden FSPMI, Wakil Presiden KSPI, dan Pimpinan Redaksi Koran Perdjoeangan