Pimpinan Pusat SPL FSPMI : 8 Catatan Kritis UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA)

Pimpinan Pusat SPL FSPMI : 8 Catatan Kritis  UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA)

Bekasi, KPonline – Bertempat di Prembize Hotel, Cikarang, KSPI menyelenggarakan seminar UU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang di ikuti oleh anggota Afiliasi KSPI pada Rabu, 14 Agustus 2024.

Hadir sebagai narasumber diantaranya Komnas Perempuan (Tiasri Wiandani), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Rini Handayani), Plh. Deputi Bidang kesetaraan gender), Kemenaker (Dinar) dan perwakilan ILO (Abdul Latief).

Endah Suci Widianingrum, SPd, pengurus PP SPL FSPMI mengapresiasi niat tanggungjawab pemerintah dalam memastikan kesejahteraan ibu & anak.

Namun Endah juga memberikan catatan kritis terkait UU KIA. Ia tidak hanya memandang penambahan jumlah Cuti ibu saja.

Berikut 8 catatan kritisnya :

1. Ego sektoral yang sering kali menjadi hambatan dalam koordinasi, kesulitan untuk pengawasan pelaksanaan kewajiban individual ibu & ayah. Ada persoalan struktural yg menyebabkan individual yang di atur UU itu tidak dapat dilaksanakn, contoh penyediaan gizi seimbang di dalam keluarga miskin.

2. Kecenderungan UU KIA meneguhkan perspektif peran domestik perempuan, salah satunya ditunjukkan dengan perumusan mengenai hak ibu & anak. UU ini hanya menyebutkan hak atas pendidikan pengembangan wawasan pengetahuan & ketrampilan tentang perawatan pengasuhan, pemberian makan & tumbuh kembang anak sebagai hak ibu, tidak menjadi hak ayah.

3. Penambahan hak Cuti pengasuhan anak yang lebih besar bagi perempuan, yaitu 3 bulan wajib dan di tambah 3 bulan dalam kondisi tertentu. Sedangkan Cuti untuk suami/ayah hanya bertambah dari 2 menjadi mungkin ditambah 3 hari/sesuai kesepakatan.

Sementara cuti perempuan di lengkapi dengan skema penggajian, cuti laki-laki menyisakan pertanyaan skema penggajiannya, karena di UU 13/2003 disebut 2 hari. Seorang ayah juga punya hak dalam tumbuh kembang anak. (Perlu ada reorientasi dalam pelaksanaan UU KIA agar pelibatan aktif ayah untuk mendorong kesetaraan gender dalam peran orang tua betul-betul terwujud).

4. Kesenjangan antara perempuan pekerja formal dan informal semakin luas dengan kehadiran UU KIA. Hak normatif tentang cuti disebut UU KIA hanya dapat di nikmati perempuan pekerja formal. Padahal jumlah terbnyk adalah perempuan pekerja informal.

5. Dalam implementasi UU KIA soal hak cuti ini tidak mudah dilaksanakan karenan UU Ketenagakerjaan akan lebih menjadi rujukan oleh pemberi kerja.

6. Memungkinkan Risiko diskriminasi tidak langsung ketika pemberi kerja lebih memilih pekerja laki-laki dgn alasan mengurangi beban pelaksanaan UU & daya jangkau pengawasan lemah.

7. Sanksi untuk pemberi kerja jika tidak memenuhi penyediaan fasilitas & dukungan untuk ibu & anak hanya berupa Pembinaan dan/atau sanksi Administratif.

8. UU ini belum mengatur standar yang harus di patuhi dalam menyediakan Fasilitas dan dukungan. (Yanto)